KH As’ad Humam, Pahlawan Pemberantasan Buta Huruf Al Quran

Meskipun tidak bisa membaca, Ibu Lintang senang sekali melihat barisan huruf dan angka di dalam buku Lintang. Beliau tak peduli, atau tak tahu jika melihat sebuah buku secara terbalik. Di beranda rumahnya beliau merasa takjup mengamati rangkaian kata-kata dan terkagum-kagum, bagaimana tulis baca-baca tulis dapat mengubah masa depan seseorang. (Andrea Hirata, dalam Laskar Pelangi).
Fungsi aksara sangatlah penting di dunia ini, bahkan dalam pembelajaran sejarah, sejarah adalah zaman dimana sudah ada tulisan, sementara zaman sebelumnya disebut zaman nirleka, atau zaman prasejarah. Ada persoalan di Indonesia manakala manusia tidak mengenal tulisan, bukan karena ia berada pada zaman nirleka, namun hal itu terjadi karena tulisan yang ada berasal dari bahasa ibu lain bangsa. Parahnya, bahasa tersebut adalah bahasa kitab suci, Al Quran.
Munculnya metode Iqro
Pada awal masyarakat Indonesia terkena Islamisasi, ada yang menyebut pada abad 13 ada pula yang menyebut abad 7, pembelajaran membaca Al Quran sebagian besar menggunakan metode Qowaidul Baghdadiyah. Cara membacanya teramat rumit, untuk menghasilkan bunyi a, seorang harus memulai dari huruf alif yang bersandang atau kharokat fathah, baru dibaca a. Pun demikian jika kharokat itu kasroh, maka harus memulai dengan alif kasroh, barulah berbunyi i. Atau contoh yang biasanya terdengar di surau-surau masa lalu seperti ini: ”alif fathah a, alif kasroh i, alif dhomah u, a-i-u”. Sehingga untuk mampu membaca huruf hijaiyah atau huruf Arab secara keseluruhan, dengan cara seperti itu butuh waktu yang cukup lama. Belum lagi menggandengkan antar huruf, hingga merangkainya dalam ayat Al Quran.
Kesulitan tersebut berhasil dipecahkan oleh KH As’ad Humam. Nama ini tentu populer dikalangan umat Islam diseluruh Indonesia. Hal itu karena jutaan eksemplar buku Iqro karya KH As’ad Humam dipakai oleh sebagian besar umat Islam untuk belajar membaca Al Quran.
Saat itu KH As’ad Humam paling tidak merumuskan 3 faktor mengapa ia perlu menemukan metode baru dalam pembelajaran membaca Al Quran: 1) Salah satu masalah umat Islam yang dihadapi dan cukup mendasar adalah prosentase generasi muda Islam yang tak mampu membaca Al Quran menunjukan indikasi yang meningkat. Generasi muda nampak semakin menjauhi Al Quran dan rumah tangga keluarga muslim terasa semakin sepi dari alunan bacaan ayat-ayat suci Al Quran. Padahal kemampuan dan kecintaan membaca Al Quran adalah merupakan modal dasar bagi upaya pemahaman dan pengamalan Al Quran itu sendiri. 2) Nampak sekali bahwa lembaga-lembaga pengajian dan pengajaran Al Quran yang ada sekarang ini, belum mampu mengatasi masalah meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak mampu membaca Al Quran. Pengajian anak-anak tradisional, yang dulunya berlangsung dengan semarak di kampung-kampungtiap ba’da Mahgrib sampai Isya, kini terlihat semakin kurang kuantitas dan kualitasnya. Hal ini disamping disebabkan oleh guru ngaji yang semakin langka, dana yang terbatas, sistem penyelenggaraan yang apa adanya, juga disebabkan oleh kalah bersaingnya dengan pengaruh-pengaruh dari luar seperti TV, film, video, radio, dan sebagainya. Sedangkan pengajaran membaca Al Quran lewat pendidikan agama di sekolah-sekolah formal, sangat terbatas waktu dan tenaga pengajarnya, sehingga sulit untuk bisa mengantarkan anak didiknya mampu membaca Al Quran. 3) Terasa sekali bahwa metodologi pengajaran membaca Al Quran yang selama ini diterapkan di Indonesia, khususnya metode Juz Amma (Qowaidul Baghdadiyah), sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan disempurnakan (As’ad Humam, 2001: 2-3)
Tahun 1975, KH As’ad Humam menggunakan metode Qiroati yang disusun KH Dachlan Salim Zarkasyi dari Semarang. KH Dachlan Zarkasyi sendiri membukukan Qiroati sejak tahun 1963. Pada saat itu KH Dachlan Zarkasyi melihat pengajaran Al Quran yang tidak tartil, terutama tidak adanya ilmu tajwid (Suara Merdeka, Oktober 2007). Hubungan silaturahmi antara KH Dachlan Zarkasyi dengan KH As’ad Humam pada awalnya berlangsung dengan akrab. Muhammad Jazir mengisahkan bahwa pada tahun 1973 KH As’ad Humam bertemu dengan KH Dachlan Salim Zarkasyi, yang merupakan rekan bisnis KH Humam (Bapak dari KH As’ad Humam) dahulu. KH As’ad Humam gemar pijat, dan kebetulan KH Dachlan juga membuka praktik pijat sehingga berawal dari silaturahim ini kemudian KH As’ad Humam mengenal metode Qiroati.
Dari Qiroati ini pula kemudian muncul gagasan-gagasan KH As’ad Humam untuk mengembangkannya supaya lebih mempermudah penerimaan metode ini bagi santri yang belajar Al Quran. Mulailah KH As’ad Humam bereksperimen, dan hasilnya kemudian ia catat, dan ia usulkan kepada KH Dachlan Zarkasyi.
Namun gagasan-gagasan tersebut seringkali ditolak oleh KH Dachlan Salim Zarkasyi, terutama untuk dimasukkan dalam Qiroati, karena menurutnya Qiroati adalah inayah dari Allah sehingga tidak perlu ada perubahan. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan kedua tokoh ”berkonflik”. Sehingga pada akhirnya muncullah gagasan KH As’ad Humam dan Team Tadarus AMM untuk menyusun sendiri dengan pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca Al-Qur’an melalui metode Iqro.
Pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca Al-Qur’an dengan metode Iqro yang disusun oleh KH As’ad Humam ini pada awalnya hanya perantaraan dari mulut ke mulut atau getok tular, kemudian dengan ketekunan mampu dikembangkan secara luas dan diterima baik oleh masyarakat di Indonesia bahkan di dunia internasional, dengan dibantu aktivis yang tergabung dalam Team Tadrus AMM Yogyakarta.
Selain itu juga pengembangan jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak menjadikan sistem TKA-TPA mampu berkembang, bahkan digunakan oleh lembaga-lembaga lain dalam mensukseskan program mereka. Juga yang tak kalah pentingnya adalah senantiasa melakukan inovasi dalam mengembangkan dan menyebar luaskan sistem TKA-TPA dengan metode Iqro.
Berkat diketemukannya metode Iqro ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al Quran, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al Quran. Demikian pula lembaga baru lainnya yang muncul mengiringinya seperti Taman Pendidikan Al Quran (TPA), TKAL, TPAL, TQA, Majelis Pengajian Al Quran, BKB Iqro, Kursus Tartil, dan lain sebagainya dengan aneka nama, namun memakai metode Iqro.
Kesemuanya itu ternyata mampu menggairahkan kembali umat Islam untuk mempelajari Al Quran. Bahkan dari data yang ada pada Balai Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Lembaga Pengajaran Tartil Quran (LPTQ) Nasional di Yogyakarta, tercatat pada tahun 1995 diseluruh Indonesia kurang lebih telah tumbuh unit-unit TKA-TPA sebanyak 30.000 unit dengan santri mencapai 6 juta anak (Balitbang LPTQ Nasional: 1995). Tak hanya di dalam negeri, buku Iqro ini juga sudah dipakai di luar negeri seperti negeri Jiran Malaysia, Singapura, Bruney Darussalam, Arab Saudi, bahkan Amerika.
Sebenarnya selain metode Iqro dan penyusunnya, masih banyak metode yang lain dari cara belajar membaca Al Quran seperti metode Qiroati, Hattaiyyah, metode Kamali, serta metode Al Barqy. Hanya saja yang paling berpengaruh terhadap masyarakat serta paling banyak digunakan adalah metode Iqro. Berkat disusunnya metode Iqro ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al Quran, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al Quran.
Biografi KH As’ad Humam
Nama asli dari KH As’ad Humam hanyalah As’ad saja, sedangkan nama Humam yang diletakkan dibelakang adalah nama ayahnya, H Humam Siradj. KH As’ad Humam (alm) tinggal di Kampung Selokraman, Kotagede Yogyakarta. Ia adalah anak kedua dari 7 bersaudara. Darah wiraswasta diwariskan benar oleh orang tua mereka, terbukti tak ada satu pun dari mereka yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. KH Asad Humam sendiri berprofesi sebagai pedagang imitasi di pasar Bringharjo, kawasan Malioboro Yogyakarta. Profesi ini mengantarnya berkenalan dengan KH Dachlan Salim Zarkasyi.
Meskipun sebagai orang Muhammadiyah, tidak membuat KH As’ad Humam menutup diri dari kalangan lain, serta membuka pergaulan seluas-luasnya dengan orang lain tanpa memandang organisasi, aliran keagamaan, maupun lembaga yang diikutinya. Ia berpendapat bahwa “Semakin ramai kita berseminar mengenai ukhuwah Islamiah, maka umat Islam akan semakin pecah” (Budiyanto, 2006: 29). Dalam berbagai forum-forum pertemuan, KH As’ad Humam yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan Muhammadiyah tak henti-hentinya mengingatkan bahwa organisasi itu, baik Muhammadiyah, Nadhatul Ulama (NU), Al Irsyasad, Persatuan Islam (Persis) dan lain sebagainya adalah sekadar wasilah (alat) untuk memperjuangkan Islam. Islamlah yang menjadi tujuan, bukan organisasi.
Maka tak aneh ketika ia dengan suka rela menawarkan gagasan tentang metode Iqro yang dimilikinya kepada KH Dachlan Salim Zarkasyi untuk dilaksanakan, serta tidak memilih lembaga-lembaga Muhammadiyah sebagai organisasi mayoritas di lingkungannya, mengingat visinya bukanlah persaingan, namun bagaimana dengan seefektif mungkin memberikan sebuah metode yang dirasakan paling mudah untuk mengembangkan pembelajaran secara cepat kepada anak-anak khususnya.
As’ad Humam bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Kleco, Kotagede, Yogyakarta, dan tamat pada tahun 1948. Serta dididik sendiri oleh Ayahnya terutama dalam pelajaran membaca Al Quran. As’ad Humam kecil melanjutkan sekolah di Muallimin dan hanya bertahan 1 tahun, kemudian ketika beranjak remaja dia pindah ke Ngawi, Jawa Timur, mengikuti kakak iparnya, Kiai Su’aman Habib yang menjadi penghulu di kota ini. Disana ia masuk ke SLTP, hingga lulus. Setelah itu As’ad Humam pindah lagi ke Yogyakarta dan melanjutkan di Sekolah Guru bagian Agama (SGA), namun tidak sampai lulus dikarenakan terserang penyakit pengapuran tulang belakang, dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama satu setengah tahun. Penyakit inilah yang dikemudian hari membuat As’ad Humam tak mampu bergerak secara leluasa sepanjang hidupnya. Hal ini dikarenakan sekujur tubuhnya mengejang dan sulit untuk dibungkukkan. Dalam keseharian, sholatnya pun harus dilakukan dengan duduk lurus, tanpa bisa melakukan posisi ruku’ ataupun sujud. Bahkan untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya.
Meski dalam pendidikan formal nasib As’ad Humam tidak begitu beruntung, namun tidak demikian dengan pendidikan nonformalnya. Hal ini dikarenakan sejak dini As’ad Humam telah dididik sendiri oleh ayahnya, H. Humam. Ketika masa remaja, As’ad Humam belajar Al Quran beserta tajwid dan dasar-dasar ilmu agama pada kakak iparnya, Kiai Su’aman Habib, suami dari kakak perempuan As’ad Humam, Hj. Wasilah. Kiai Su’aman Habib yang asli Magelang, dengan tujuan semula datang ke Kotagede dalam rangka nyantri di pesantren milik Kiai Amir kemudian menikah dengan Hj. Wasilah ketika usia As’ad Humam menjelang remaja (sekitar usia SD kelas 6). Sejak saat itu, As’ad Humam terus menerus berguru pada beliau, sehingga sewaktu kakak iparnya pindah ke Ngawi, maka beliau pun ikut. Bisa dikatakan selain sebagai kakak ipar, Kiai Su’aman Habib adalah guru As’ad Humam yang paling utama dalam bidang agama. Hal ini dikarenakan As’ad Humam mengikuti dan senantiasa berguru kepada Kiai Su’aman Habib bahkan hingga ahir hayat KH As’ad Humam.
Kiai Suaman Habib adalah seorang ulama yang terpandang di Magelang. Ia termasuk andil dalam mendirikan Universitas Muhammadiyah Magelang, dan juga mengajar disana. Ilmu kiai Suaman Habib cukup luas, terutama dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqih. Ia juga sangat menguasai kitab-kitab kuning dan sanggup memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat madzab yang ada, termasuk pendapat dalam keputusan tarjih Muhammadiyah sekalipun (Budiyanto, 2000: 19).
Selain dari kakak iparnya, ilmu-ilmu agama As’ad Humam diperolehnya melalui aktif mengaji di lembaga pendidikan seperti di Masjid Syuhada Yogyakarta, Masjid Besar Kauman, serta di beberapa pondok pesantren. Bahkan untuk mencapai jarak tempat pengajian yang cukup jauh yaitu sekitar 7 kilometer dari Kotagede hingga Gedongkiwo, ia naik sepeda Brofit (sejenis sepeda motor kecil 40 cc) berangkat dari rumah sebelum subuh, kemudian ikut mengaji Al Quran yang diselenggarakan setelah subuh, menumpang mandi di masjid, dan melanjutkan perjalanan ke tempatnya bersekolah di SGA Muhammadiyah Gedongkiwo Yogyakarta (Budiyanto, 2006: 20).
Pada masa usia remaja, As’ad Humam aktif selama dua tahun menjadi santri kalong (santri yang tidak bermukim secara tetap) di Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Di pondok yang didirikan oleh KH Munawir ini, As’ad Humam banyak mendapatkan ilmu-ilmu agama terutama dalam pengajaran membaca Al Quran. Hal ini dikarenakan pondok ini memang dikenal sebagai pondok pesantren Al Quran
Selain berguru, ilmu yang didapatkan oleh KH As’ad Humam juga didapatkan melalui otodidak. Hal ini dikarenakan KH As’ad Humam termasuk memiliki tingkat kegemaran membaca yang tinggi. Ketika 1,5 tahun berbaring di rumah sakit, berbagai buku agama (terutama karangan Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) senantiasa dibacanya. Buku-buku karangan HAMKA yang umumnya berisi nasihat dan ajaran tasawuf, sedikit banyak ikut andil dalam membentuk karakter semangat perjuangan, pantang menyerah, dan juga keikhlasan. Kemana saja ia pergi dalam tasnya tentu akan didapati kitab suci Al Quran dan buku atau majalah. Majalah Al Muslimun, sebuah majalah terbitan pesantren Bangil yang berisi kajian masalah-masalah hukum, menjadi salah satu bacaannya sehari-hari. Sedangkan buku-buku menyangkut akhlak, tasawuf, dan hukum Islam menjadi favoritnya (Budiyanto, 2006: 22). Buku-bukunya inilah yang sangat mungkin sekali mempengaruhi pola pikir serta amal saleh beliau, sehingga dalam kesehariannya secara fungsional KH As’ad Humam telah mengaplikasikan secara konkret apa-apa yang telah dipelajarinya. Hal ini nyaris sepadan dengan apa yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dimana apa yang telah dipelajari sedikit pun lebih baik untuk segera diamalkan (Damami, 2000). Sama juga dengan Hadits Rosululloh yang diriwayatkan Aisyah RA: ia berkata: Rosululloh SAW bersabda: Perbuatan baik yang paling disukai Allah perbuatan yang terus menerus dikerjakan. Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim (dalam Terjemahan Riyadhus Shalihin Imam Nawawi, terjemahan Sunarto, 1999: 176).
KH As’ad Humam wafat di Yogyakarta pada 2 Februari 1996.
Konflik dua kiyai
Sebenarnya agak risi mengungkapkan konflik diantara kedua kyai yang mulia ini. Namun apapun kondisinya, fakta menunjukan bahwa KH Dachlan Salim Zarkasyi semasa hidupnya –terlebih dengan pesatnya metode Iqro berkembang melampaui Qiroati—menganggap bahwa Iqro membajak karyanya. Bahkan dalam surat-surat pribadinya, KH Dachlan Salim Zarkasyi sangat mengecam KH As’ad Humam dan juga Team Tadarus AMM. Di beberapa pelatihan metode belajar membaca Al Quran pun, pengguna kedua metode ini sering kali bersinggungan. Bahkan pernah dalam sebuah pelatihan akhirnya dibatalkan karena pendukung metode Qiroati mempersoalkan keabsahan metode Iqro.
Sampai saat ini, meski kedua penyusun metode telah wafat, pendukung kedua metode ini sepertinya akan terus berpersepsi sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Satu sisi pendukung Qiroati menganggap metode Iqro menjiplak, sementara di sisi lain pendukung metode Iqro merasa bahwa usulan-usulan tentang metode Iqro sudah dikomunikasikan dengan KH Dachlan Salim Zarkasyi, dan bahkan beliau mempersilakan KH As’ad Humam untuk mengembangkan sendiri metode Iqro.
Mungkin perlu kedua pendukung metode ini perlu duduk satu meja, membedah arsip pribadi KH As’ad Humam terkait korespondensi dengan KH Dachlan Salim Zarkasyi, agar niat baik kedua kiyai ini dapat dipahami, sehingga tidak ada lagi prasangka diantara mereka. Namun apapun permasalahannya, sungguh kedua tokoh ini layak dijadikan sebagai Pahlawan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf Al Quran.
Heni Purwono

No comments: