MR.Syafruddin Prawiranegara: Tak Ada PDRI, Tak Ada NKRI
Beranda
Belanda sampai kapanpun tak kan pernah terima kemerdekaan Indonesia, segala cara diupayakan untuk membuat bangsa Indonesia tak lepas dari belenggu penjajahan. Pola-pola kekejaman dan kolonialisme mewarnai cara Belanda menjajah dan melanggar aturan hak dasar seorang manusia. Cara itu ingin dihidupkan ketika kemenangan-kemenangan kehidupan sejati ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang.
PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bukanlah gerakan separatis, PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme. Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
Dakwah
Epilog
Langkah Mr. Syafruddin Prawiranegara meyelamatkan republik Indonesia dengan mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia mendapat apresiasi besar saat itu, langkah berani untuk menunjukkan eksistensi negara yang baru merdeka. Sebuah nilai identitas yang mahal andai langkah itu gagal.
Kegemilangan membentuk PDRI terhapus oleh PRRI yang dianggap pemerintah sebagai gerakan separatis yang mengancam nilai-nilai konstitusi dan ideologi. Padahal PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia sedangkan PRRI merupakan langkah untuk menyelamatkan ideologi serta identitas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan lalu bagaimana jika sebuah bangsa melupakan bertahun-tahun jasa para pahlawannya. Mungkin dunia sedang jungkir balik.
Dari berbagai sumber.
Haendy Busman
Belanda sampai kapanpun tak kan pernah terima kemerdekaan Indonesia, segala cara diupayakan untuk membuat bangsa Indonesia tak lepas dari belenggu penjajahan. Pola-pola kekejaman dan kolonialisme mewarnai cara Belanda menjajah dan melanggar aturan hak dasar seorang manusia. Cara itu ingin dihidupkan ketika kemenangan-kemenangan kehidupan sejati ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang.
Mr. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara,merupakan salah satu
tokoh dibalik tetap berdirinya Republik ini pada masa awal kemerdekaan.
Beliau memiliki nama kecil Kuding lahir di Serang, Banten 28 Februari
1911 memiliki darah Minangkabau dan Sunda Banten. Darah Minangkabau
berasal dari buyutnya Sultan Alam Intan masih keturunan raja Pagaruyung
Sumatera Barat. Sultan Alam Intan dibuang ke Banten oleh Belanda karena
terlibat perang Paderi. Disana ia menikah dengan putri bangsawan Banten
dan melahirkan kakeknya R. Arsyad Prawiraatmaja.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun
1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung
pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool
(Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Univesitas
Indonesia ) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten
(saat ini setara dengan Magister Hukum). Sebelum terlibat sebagai tokoh
nasional, Syafruddin Prawiranegara pernah bekerja sebagai pegawai radio
swasta, pegawai departemen Keuangan Belanda, dan pegawai departemen
keuangan Jepang.
207 Hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia, Mr
Syafruddin Prawiranegara menjabat ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP ,
yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum
terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Setelah itu Mr Syafrudin
Prawiranegara diangkat sebagai Menteri Kemakmuran RI.
19
Desember 1948. Agresi Militer II Belanda terhadap Ibu Kota Yogyakarta
menyebabkan Presiden Sukarno ditangkap. Wakil Presiden Mohammad Hatta
yang cemas dengan kondisi itu segera mengirimkan tlegram kepada Menteri
Kemakmuran RI, Syafrudin Prawiranegara, yang sedang berada di
Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Selain itu Telegram juga diberikan kepada yang lain
seperti kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi
(India), untuk membentuk pemerintahan darurat, jika usaha Mr Syafruddin
di Sumatera Barat tidak berhasil. Telegram ini ditandatangani M Hatta
selaku Wapres, dan Agus Salim sebagai Menlu.
Sayang Mr Syafruddin tidak tahu tentang telegram
tersebut, Syafruddin tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk
membentuk pemerintahan darurat. Ia hanya mendengarnya dari siaran radio
bahwa ibu kota Yogyakarta telah diduduki Belanda, pada 19 Desember
1949 sore. Ia menemui Teuku Muhammad Hassan dan menyampaikan
kemungkinan kevakuman pemerintahan. Ia pun mengusulkan supaya dibentuk
sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam
bahaya. Setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk soal hukum karena
tidak ada mandat, maka dibentuklah pemerintahan darurat. Pemerintahan
darurat itu dipimpin Mr Syafruddin dan TM Hasan sebagai wakilnya.
Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan
pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa
berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya
Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan serta kembali
ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan
Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua
kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi
terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Gunting Syafrudin
Saat menjabat sebagai menteri keuangan dalam kabinet Hatta II, Mr
Syafruddin membuat kebijakan moneter yang ditetapkan mulai jam 20.00
tanggal 10 Maret 1950. Kebijakannya yaitu “uang merah” (uangNICA) dan
uang De Javache Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting
menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang
sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus
pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus
ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah
ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak
berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat
ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan
akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun.
“Gunting Sjafruddin” itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp
2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI
(Oeang Repoeblik Indonesia).PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bukanlah gerakan separatis, PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme. Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di
dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah
sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah.
Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni
1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya
Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
Ditengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral tahun
1951 masih sempat menyusun buku sejarah moneter, dengan bantuan Oei
Beng To, direktur utama lembaga keuangan Indonesia, Syafruddin
Prawiranegara menunggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di Tanah
Kusir Jakarta SelatanEpilog
Langkah Mr. Syafruddin Prawiranegara meyelamatkan republik Indonesia dengan mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia mendapat apresiasi besar saat itu, langkah berani untuk menunjukkan eksistensi negara yang baru merdeka. Sebuah nilai identitas yang mahal andai langkah itu gagal.
Kegemilangan membentuk PDRI terhapus oleh PRRI yang dianggap pemerintah sebagai gerakan separatis yang mengancam nilai-nilai konstitusi dan ideologi. Padahal PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia sedangkan PRRI merupakan langkah untuk menyelamatkan ideologi serta identitas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan lalu bagaimana jika sebuah bangsa melupakan bertahun-tahun jasa para pahlawannya. Mungkin dunia sedang jungkir balik.
Dari berbagai sumber.
Haendy Busman
No comments:
Post a Comment