MR.Syafruddin Prawiranegara: Tak Ada PDRI, Tak Ada NKRI

Beranda
Belanda sampai kapanpun tak kan pernah terima kemerdekaan Indonesia, segala cara diupayakan untuk membuat bangsa Indonesia tak lepas dari belenggu penjajahan. Pola-pola kekejaman dan kolonialisme mewarnai cara Belanda menjajah dan melanggar aturan hak dasar seorang manusia. Cara itu ingin dihidupkan ketika kemenangan-kemenangan kehidupan sejati ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang.
Mr. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara,merupakan salah satu tokoh dibalik tetap berdirinya Republik ini pada masa awal kemerdekaan. Beliau memiliki nama kecil Kuding lahir di Serang, Banten 28 Februari 1911 memiliki darah Minangkabau dan Sunda Banten. Darah Minangkabau berasal dari buyutnya Sultan Alam Intan masih keturunan raja Pagaruyung Sumatera Barat. Sultan Alam Intan dibuang ke Banten oleh Belanda karena terlibat perang Paderi. Disana ia menikah dengan putri bangsawan Banten dan melahirkan kakeknya R. Arsyad Prawiraatmaja.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO  di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Univesitas Indonesia ) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum). Sebelum terlibat sebagai tokoh nasional, Syafruddin Prawiranegara pernah bekerja sebagai pegawai radio swasta, pegawai departemen Keuangan Belanda, dan pegawai departemen keuangan Jepang.
207 Hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia, Mr Syafruddin Prawiranegara menjabat ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP , yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Setelah itu Mr Syafrudin Prawiranegara  diangkat sebagai Menteri Kemakmuran RI.
19 Desember 1948. Agresi Militer II Belanda terhadap Ibu Kota Yogyakarta menyebabkan Presiden Sukarno ditangkap. Wakil Presiden Mohammad Hatta yang cemas dengan kondisi itu segera mengirimkan tlegram kepada Menteri Kemakmuran RI, Syafrudin Prawiranegara, yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selain itu Telegram juga diberikan kepada yang lain seperti kepada dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di New Delhi (India), untuk membentuk pemerintahan darurat, jika usaha Mr Syafruddin di Sumatera Barat tidak berhasil. Telegram ini ditandatangani M Hatta selaku Wapres, dan Agus Salim sebagai Menlu.
Sayang Mr Syafruddin tidak tahu tentang telegram tersebut, Syafruddin tidak pernah tahu ada mandat kepadanya untuk membentuk pemerintahan darurat. Ia hanya mendengarnya dari siaran radio bahwa ibu kota Yogyakarta telah diduduki Belanda, pada 19 Desember 1949 sore. Ia menemui Teuku Muhammad Hassan dan menyampaikan kemungkinan kevakuman pemerintahan. Ia pun mengusulkan supaya dibentuk sebuah pemerintahan untuk menyelamatkan negara yang sedang dalam bahaya. Setelah berdiskusi panjang lebar, termasuk soal hukum karena tidak ada mandat, maka dibentuklah pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat itu dipimpin Mr Syafruddin dan TM Hasan sebagai wakilnya. Kesepakatan dua tokoh ini merupakan embrio dari pembentukan pemerintahan darurat yang tiga hari kemudian dilaksanakan di Halaban.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan serta kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.
Gunting Syafrudin
Saat menjabat sebagai menteri keuangan dalam kabinet Hatta II, Mr Syafruddin membuat kebijakan moneter yang ditetapkan mulai jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950. Kebijakannya yaitu “uang merah” (uangNICA) dan uang  De Javache Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. “Gunting Sjafruddin” itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bukanlah gerakan separatis, PRRI justru berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunisme. Jika dibaca kalimat-kalimat awal Piagam Perdjuangan Menjelamatkan Negara tertanggal Padang, 10 Februari 1958 yang ditandatangani oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein selaku Ketua Dewan Perjuangan, nyata sekali betapa PRRI lahir didasarkan atas keinginan kuat untuk melindungi republik yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan konstitusi yang berlaku saat itu.
Dakwah
Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
Ditengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral tahun 1951 masih sempat menyusun buku sejarah moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama lembaga keuangan Indonesia, Syafruddin Prawiranegara menunggal pada 15 Februari 1989 dan dimakamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan
Epilog
Langkah Mr. Syafruddin Prawiranegara meyelamatkan republik Indonesia dengan mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia mendapat apresiasi besar saat itu, langkah berani untuk menunjukkan eksistensi negara yang baru merdeka. Sebuah nilai identitas yang mahal andai langkah itu gagal.
Kegemilangan membentuk PDRI terhapus oleh PRRI yang dianggap pemerintah sebagai gerakan separatis yang mengancam nilai-nilai konstitusi dan ideologi. Padahal PRRI berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). GAM dan OPM berangkat dari penolakannya kepada Republik Indonesia sedangkan PRRI merupakan langkah untuk menyelamatkan ideologi serta identitas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan lalu bagaimana jika sebuah bangsa melupakan bertahun-tahun jasa para pahlawannya. Mungkin dunia sedang jungkir balik.
Dari berbagai sumber.
Haendy Busman

No comments: