Kearifan Nyak Arif

Pramoedya Ananta Toer begitu kagum pada semangat juang orang Aceh. Bagi Pram, apa yang ditunjukkan oleh orang Aceh dalam perang melawan Belanda adalah wujud dari jiwa revolusioner. Berbeda dengan Pram, yang revolusionernya diinspirasi oleh Marxisme, orang Aceh mendasarkannya pada agama Islam.
Pandangan Pram adalah sama dengan bapak bangsa kita dahulu. Bahwasanya ideologi sesungguhnya bukan persoalan yang mendasar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terpenting ideologi itu adalah cara atau alat untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Perbedaan yang sering terjadi justru dalam hal metode perjuangan itu sendiri. Apakah harus dengan kekerasan atau tidak. Jika tidak menggunakan kekerasan pertanyaaan selanjutnya adalah: apakah harus bekerja sama dengan Belanda (kooporatif) atau tidak.
Istilah “revolusioner” yang dimaksud oleh Pram tentu kekerasan bersenjata. Untuk cara yang satu ini, Aceh telah melahirkan pejuang-pejuang pemberani di Medan Perang. Teuku Umar dan Istrinya, Cut Nyak Dien; ulama karismatik, Teungku Cik Di Tiro; pejuang wanita Cut Meutia; serta seorang bangsawan bernama Panglima Polim. Gambar wajah mereka menghiasi dinding-dinding kelas di sekolah-sekolah. Dan nama-nama mereka dipakai sebagai nama jalan di seantero Indonesia.
Meski melahirkan pahlawan medan perang, Tanah Rencong juga melahirkan pejuang-pejuang di arena politik. Salah satunya adalah Teuku Nyak Arif. Nama ini memang tidak sepopuler Teuku Umar dan Cik Di Tiro. Tapi jasanya bagi negara Indonesia tidak kurang dibandingkan nama-nama itu.
Teuku Nyak Arif dilahirkan di Kutaraja pada tahun 1899, tahun di mana pistol Belanda menembus dada Teuku Umar di Meulaboh. Ia menempuh pendidikan Pamong Praja di Bukittinggi dan Serang. Gelar “Teuku” di depan namanya menandakan Nyak Arif termasuk golongan bangsawan atau di Aceh dikenal dengan istilah “uleeblang”. Ia adalah anak dari Panglima Sagi XXVI Mukim.
Perlu diketahui, bahwa pada masa Kesultanan Aceh, kekuasaanya secara de facto hanya meliputi wilayah Aceh Besar (sekarang meliputi Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar). Daerah administrasi terkecil di Aceh disebut gampong (kampung atau desa). Kumpulan dari beberapa gampong membentuk mukim. Nah kumpulan beberapa mukim ini berada di bawah sagi atau sago. Tiap sagi membawahi jumlah mukim yang berbeda. Pada zaman Kesultanan dan Belanda terdapat tiga sagi di Aceh Besar: Sagi XXII Mukim, XXV Mukim dan XVI Mukim. Angka Romawi menunjukkan jumlah mukim yang ada di tiap sagi.
Ketika Kesultanan Aceh takluk pada 1903 maka berakhirlah Kesultanan yang pada masa jayanya pernah menguasai separuh Sumatra dan Semenanjung Malaya ini. Belanda lantas bekerjasama dengan kaum bangsawan, seperti lazimnya di wilayah Nusantara lain. Seperti juga Kesultanan Aceh, Belanda juga berkuasa secara de facto di Aceh Besar. Karena itu tiga Panglima Sagi di Aceh Besar otomatis berada di bawah administrasi Belanda. Pada mulaya Belanda tidak berkuasa begitu saja karena timbul perlawanan. Salah satu Panglima Sagi itu adalah yang kita kenal dengan nama Panglima Polim.
Tidak semua sagi ikut angkat senjata. Bahkan kemudian Panglima Polim juga menyerah. Sudah barang tentu para panglima sagi yang terpaksa bekerja sama itu mendapat keistimewaan ala Belanda. Anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah untuk nantinya diangkat menjadi ambtenaar pemerintahan kolonial. Salah satu yang turut disekolahkan itu adalah Nyak Arif.
Belanda tentu berpikir, bahwasanya Nyak Arif yang mengecap pendidikan Belanda termasuk golongan moderat. Maka ketika Volksraad (Dewan Rakyat) dibentuk, Nyak Arif diangkat menjadi anggotanya untuk mewakili rakyat Aceh pada tahun 1927. Tapi nyatanya tingkah polah Nyak Arif tidak seperti yang disangkakan Belanda. Nyak Arif bersama dengan Suroso dan MH Thamrin dianggap vokalis Volksraad. Salah satu tuntutannya adalah meminta agar prajurit KNIL yang beragama Islam juga memiliki pembina kerohaniaan, sebagaimana prajurit yang beragama Kristen. Sikap vokalnya itu membuat dia ditendang tidak dipilih kembali menjadi anggota Volksraad. Nyak Arif pun kembali ke kampung halamannya sebagai Panglima Sagi XXVI Mukim.
Kiprahnya sebagai seorang nasionalis pada zaman Belanda membuat Nyak Arif diangkat menjadi Residen Aceh pada Oktober 1945. Nyak Ariflah yang menjalankan roda pemerintahan yang berpusat di Kutaraja (sekarang: Banda Aceh). Pada masa itu, peran ulama di Aceh sangat besar. Salah satu ulama berpengaruh adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh yang memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh. Proklamasi 17 Agustus 1945 memperoleh legitimasi keagamaanya setelah para ulama di Aceh menyatakan dukungan.
Pengaruh ulama yang besar ini sangat nyata di akar rumput. Pada akhir tahun 1945 terjadi Perang Cumbok di wilayah Aceh Pidie. Ini adalah perang antara ulama dan uleeblang yang diangap mendukung kembalinya Belanda ke Aceh. Perang ini dimenangi tentu saja oleh ulama yang didukung oleh rakyat. Perang Cumbok ini kemudian menyebar hingga ke luar Aceh Pidie. Setiap uleebalang dicurigai dan ditangkapi. Salah satu korban itu adalah Teuku Nyak Arif sendiri yang seorang uleeblang.
Pada awalnya, sebagai residen, Nyak Arif menyatakan dukungannya terhadap Perang Cumbok ini. Para bangsawan di Cumbok dan sekitarnya dianggap mengkhianati perjuangan kemerdekaan. Tapi niat yang awalnya berbau nasionalisme ini bergeser ke motif keagamaaan. Pangkal soalnya adalah pada zaman Belanda kaum ulama dianaktirikan sedangkan kaum bangsawan diberi hak istimewa. Tak jarang, para ulama menjadi korban ketidakadilan oleh bangsawan itu. Karena itu ketika Belanda enyah dari Aceh, para ulama terutama yang tergabung dalam PUSA menyimpan dendam terhadap mereka.
Teuku Nyak Arif pun termasuk korban. Dia ditangkap oleh Teungku Amir Husin Almujahid dari Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) di Kutaraja. Almujahid juga ketua pemuda PUSA. Menurut Muhammad Nur El Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, penangkapan Nyak Arif adalah murni salah paham. Nyak Arif dianggap bekerjasama dengan seorang tentara Belanda, Mayor Knottenbelt pada masa awal kemerdekaan. Knottenbelt adalah perwira NICA yang saat itu ingin mengembalikan kekuasaan Belanda. Seperti juga di Medan, Surabaya, dan daerah lainnya, penolakan Rakyat terhadap NICA begitu gencar.
Tapi dalam buku Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif, penangkapan itu dilatarbelakangi motif Husin Al Mujahid untuk merebut kekuasaan. Nyak Arif yang waktu itu juga berpangkat mayor jenderal membiarkan dirinya ditangkap meski dia bisa memerintahkan Tentara Keamanan Rakyat untuk menghadapi pasukan TPR. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Maret 1946. Katanya waktu itu:
Biarlah saya serahkan jabatan ini asal tidak terjadi pertumpahan darah seperti di Pidie (Perang Cumbok). Buat apa kita berperang dengan bangsa sendiri. Kalau hanya pangkat dan kedudukan kita itu saja yang dikehendakinya, serahkanlah dan jangan dengan mempertahankan pangkat dan kedudukan kita, rakyat yang tidak mengetahui persoalannya dijadikan korban. Kemerdekaan kita baru saja mulai. Banyak pikiran dan tenaga yang diperlukan oleh negara kita di masa yang akan datang. Kalau pengorbanan yang kita berikan dalam perjuangan hanya untuk mencari pangkat dan kedudukan, maka kemerdekaan yang kita inginkan tidak akan tercapai.
Sungguh suatu sifat yang arif dari seorang Nyak Arif. Dia pun segera diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah. Tragis, di kota berhawa sejuk ini dia menghembuskan napasnya yang terakhir karena penyakit diabetes. Ini terjadi pada 4 Mei 1946.
Sikap Nyak Arif betul-betul khas seorang patriot. Dia rela kehilangan jabatan demi kepentingan yang lebih besar. Padahal dia bisa saja mempertahankannya kalau mau. Sebagai seorang bangsawan, ini adalah wujud dari apa yang di Eropa diistilahkan sebagai nobles oblige, semakin mulia jabatan semakin besar tanggung jawabnya. Tanggung jawab itu termasuk melindungi rakyat agar tidak terpecah belah. Sikap ini juga diperlihatkan oleh Bung Karno pasca-G30S yang tak mau mengunakan Marinir untuk berhadapan dengan TNI AD. Baginya, kesatuan dan persatuan bangsa itu lebih penting ketimbang jabatan yang sifatnya sementara.
Teuku Nyak Arif dimakamkan di Lamnyong, Aceh Besar. Letaknya persis di tepi sungai. Saya pernah lewat di makamnya itu. Di situ tertulis papan nama “Makam Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arif: 1899-1946″. Ketika tsunami pada 26 Desember 2004 lalu, makam ini sempat tergenang oleh air sungai yang meluap akibat ombak tsunami.
Sebagai wujud penghormatan atas jasa-jasanya, nama Teuku Nyak Arif dijadikan nama jalan utama di Kota Banda Aceh. Jalan Teuku Nyak Arif sebetulnya sambungan jalan Teungku Muhammad Daud Beureuh. Jalan ini merentang dari Simpang Lima hingga tugu Kopelma Darussalam. Di sisi jalan inilah Kantor DPR Aceh, Gubernur Aceh, RSU Zainal Abidin, Polda Aceh dan perkantoran lainnya berada.
Kalau saya pikir-pikir mengapa jalan ini harus memakai dua nama, padahal cukup satu saja. Mungkin ini adalah simbol bersatunya dua kekuatan sosial politik di Aceh yang dulu pernah bermusuhan. Satu pihak adalah kelompok ulama yang diwakili Teungku Daud Beureueh, sedangkan kelompok uleeblang diwakili oleh Teuku Nyak Arif. Bisa juga dimaknai sebagai simbol rekonsiliasi pribadi  Daud Beureueh dari PUSA yang pernah menangkap dan mengasingkan Nyak Arif. Walau kedua orang ini berteman secara pribadi, tapi sejarah mencatat bahwa Nyak Arif kemudian digantikan oleh Daud Beureuh.
Sementara Daud Beureuh kemudian memimpin pemberontakan DI/TII, Nyak Arif tetap setia kepada Republik Indonesia. Inilah yang membuat dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1974. Bukan semata karena apa yang telah diperjuangkannya di sidang-sidang Volksraad, atau sebagai administator pada awal kemerdekaan. Tapi juga kearifan jiwanya untuk mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa ketimbang pangkat dan jabatan. Yang terakir ini patut dicontoh oleh kita semua.
Selamat Hari Pahlawan!

Samdy Saragih

No comments: