Kapak Perlawanan Motang Rua
Dalam rangka
memperingati tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan, kita biasanya
ikut terlibat dalam obrolan, atau membaca dan mendengar berita, atau
bahkan turut serta kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan hari
heroisme nasional itu. Demikian pun hari-hari ini, menjelang dan saat
peringatan Hari Pahlawan 10 November 2012.
Hanya saja, perhatian
kita mungkin lebih tertuju kepada acara-acara seremonial, pada debat
soal pantas atau tidak pantasnya seseorang untuk diberi pahlawan. Atau
kita lebih fokus ke pahlawan-pahlawan beken. Kita juga mungkin terbius
haru dan tergugah dengan cerita miris yang disiarkan media, misalnya,
mengenai kondisi veteran pejuang yang saat ini hidupnya prihatin dan
kisah haru biru lainnya.
Di sini, saya tidak
bicara soal-soal itu. Saya mengajak pembaca untuk menengok ke bagian
Timur Indonesia. Wilayah yang barangkali kerap dilupakan. Tepatnya
daerah Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sini ada cerita
heroisme seorang bernama Guru Amenempung dan bergelar Motang Rua, yang
berani melawan penjajah Belanda pada awal abad ke-20.
Saya mulai dengan
gambaran sekilas kehadiran Belanda di Manggarai. Belanda menguasai
Manggarai, bagian Barat Flores, pada abad ke-16. Namun, penguasaan itu
tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui kerajaan Goa-Makasar,
yang saat itu membawahi wilayah Manggarai. Dengan kata lain, kerajaan
Goa hadir sebagai kaki tangan Belanda di Manggarai. Eskpansi langsung
Belanda ke Manggarai terjadi dalam tiga kali ekspedisi, yaitu tahun
1850, 1890, dan tahun 1905.
Kehadiran Belanda ini
ternyata mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Motang Rua memulai
geliat perlawanan nyata. Ia menghimpun pasukan dan kekuatan. Untuk
melancarkan strategi perlawanannya, maka dibangun benteng pertahanan
di Copu Manggarai Tengah. Aksi Motang Rua ini tercium oleh Belanda.
Lalu pada tahun 1907 Belanda mengirimkan pasukan dari Ende ke Manggarai
untuk melumpuhkan Motang Rua. Terjadilah pertempuran sengit.
Yang mengesankan,
Motang Rua dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Padahal tentara penjajah ini menggunakan senjata modern. Sementara
Motang Rua dan pasukannya hanya menggunakan senjata-senjata tradisional.
Dalam kisah lisan, sering dituturkan bahwa senjata utama Motang Rua
adalah kapak.
Kegagalan ini membuat
Belanda mengirim pasukan lain yang lebih kuat dari Ende. Pasukan ini
langsung menyerang benteng dan pusat pertahanan Motang Rua di Copu.
Terjadilah pertempuran yang berlangsung habis-habisan. Korban di kedua
belah pihak berjatuhan.
Motang Rua akhirnya
kalah dan ditangkap hidup-hidup. Ia kemudian dibawa ke Kupang dan
diadili di sana. Lalu, berturut-turut dibuang ke Bima, Nusa Kembangan,
dan pada tahun 1923 ke Aceh. Di daerah serambi Mekah inilah hidupnya
berakhir.
Cerita mengenai Motang
Rua memang lebih banyak diturunkan dan disebarkan secara lisan. Catatan
dan hasil riset sejarah mengenai kiprahnya minim dan sangat terbatas.
Namun, hal ini tidak menyurutkan rasa bangga masyarakat Manggarai atas
sosok berani ini. Bagi penulis, yang merupakan warga asli Manggarai,
tidak penting apakah Motang Rua diberi gelar pahlawan atau gelar-gelar
sejenis lainnya. Yang penting adalah dia sudah mewakili aspirasi
masyarakat Manggarai zamannya yang tidak ingin dikuasai dan dikendalikan
oleh Belanda. Lebih jauh lagi, perjuangan Motang Rua telah membuat
masyarakat Manggarai mampu dengan kepala tegak mengklaim telah ikut
berjuang untuk Indonesia, walaupun perjuangannya itu bersifat lokal.
Untuk konteks
Indonesia secara keseluruhan, kisah Motang Rua barangkali tidak terlalu
istimewa, sebab sebenarnya ia hanyalah salah satu dari sekian ribu kisah
heroisme di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Namun, bukan itu poin
pentingnya. Yang utama adalah sosok Motang Rua – dan juga
pejuang-pejuang lainnya - telah memberikan inspirasi dan pesan tak
langsung agar kita perlu melawan setiap tindakan yang membelenggu, tidak
mudah tunduk pada tantangan, tidak cepat mudah menyerah pada keadaan
yang kurang baik. Sukses dan gagal baru dilihat belakangan. Asal harus
dimulai dengan keberanian untuk bertindak. Dan mungkin masih banyak
deretan pesan tak langsung lainnya yang bisa kita angkat dari cerita
heroisme ini.
Refleksi seperti ini
barangkali terdengar klise. Memang. Tetapi sebagai manusia, kita sering
lupa atau mungkin kurang peduli. Oleh karena itu, anggap saja kisah yang
saya tulis ini sebagai kisah yang bertujuan untuk membuat kita tidak
lupa, mendorong kita untuk terus menerus merefleksikan pesan-pesan
positif yang bisa kita dapatkan dari kisah-kisah sejarah.
Referensi
Relly Jehato
No comments:
Post a Comment