Kesaksian Pejuang Kemerdekaan Papua Barat-Irian Jaya

Tahun 2011 yang lalu saya silaturahmi ke rumah seseorang yang saya anggap sesepuh. Beliau tinggal di kota kecil Jawa Tengah tempat salah satu pusat sejarah kerajaan islam. Beliau adalah pria berusia sekitar 80 tahun dan tinggal dengan istri tercinta. Pada temu-kangen itulah beliau buka “album kenangan” masa perjuangan Papua Barat untuk gabung dengan Republik Indonesia (RI).
Dengan suara agak terbata-bata, dengan luapan semangat berapi-api, dan dengan diiringi rasa bangga sebagai anak bangsa, beliau bercerita.
Sekitar enam bulan sebelum diadakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) Papua Barat tahun 1969, beliau diberi tugas dari Jawa Tengah menuju Manokwari Papua Barat. Tujuannya adalah memberi penerangan kepada masyarakat akar rumput bahwa Indonesia mengajak mereka gabung ke pangkuan nusantara. Ketika itu Belanda masih menjajah Papua. Menurut versi Indonesia mengatakan bahwa Belanda sudah janji untuk menyerahkan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia.
Di mata Indonesia adalah tidak benar bila Belanda mengakali agar Papua Barat lepas dari RI. Karena sama-sama bekas koloni Belanda maka sejak Indonesia merdeka dari Belanda tahun 1945 mestinya Belanda menyerahkan koloni Papua Barat kepada RI. Karena Belanda ngeyel, singkat cerita diadakan pemungutan suara yang diberi nama PEPERA dengan penengah PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).
Untuk memenangkan perolehan suara, otoritas Indonesia mengirim “juru bicara” atau “juru penererang” di antaranya adalah beliau yang sedang saya bahas ini. Beliau adalah anggota pergerakan organisasi pemuda.
Konon beliau amat kaget ketika menapak kaki di Papua Barat yang masih hutan lebat. Namun sebagai pemuda beliau bersama istri sukses menjalankan tugas negara. Dari hutan ke hutan beliau menyusuri jalan dengan fasilitas negara. Beruntunglah warga Papua Barat menyambut hangat kedatangan beliau sebagai sodara sebangsa dari Tanah Jawa. Saking hangat dan akrabnya bikin beliau betah tinggal di Papua Barat yang di kemudian hari ganti nama wilayah menjadi Irian Jaya.
Singkat cerita perolehan suara PEPERA dimenangkan Indonesia sehingga resmi sudah Papua Barat masuk wilayah negara RI. Dan atas sukses besar itu beliau diminta datang ke Istana Negara Jakarta. Konon beliau berpotensi - ada bisik-bisik dari pejabat - untuk menduduki jabatan khusus pada bidang diplomasi negara. Kala itu Adam Malik menjabat Mentri Luar Negeri dan Soeharto menjabat Presiden.
Namun beliau terlanjur betah. Merasa nyaman dan happy ngumpul dengan “sodara ketemu gede” yaitu warga asli Papua Barat. Bahkan konon mereka yang dulunya belum beragama memutuskan menganut agama islam. Sebagai muslim beliau dan istri tambah semangat dengan mengajarkan agama islam. Mungkin atas pertimbangan inilah beliau menolak dengan halus untuk tidak ikut hadir ke istana negara di Jakarta. Jabatan tinggi kurang menarik hati bagi beliau yang biasa bergaya hidup sederhana.
Sejak bergabungnya Papua Barat dengan RI, beliau memperoleh jabatan di kantor Departemen Agama Islam. Sekitar sepuluh tahun kemudian beliau pindah (mutasi) ke Jawa Tengah. Dari sinilah beliau menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Islam dari satu kota ke kota lainnya. Kemudian pulang kampung -masih di Jawa Tengah- setelah pensiuan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Nah mengingat kini beliau sudah sepuh tidak “well informed” mungkin beliau amat sedih andaikat tahu ada yang gencar utak-atik agar Papua Barat lepas dari RI. Entah konflik papua sekarang murni aspirasi warga ataukah ulah intervensi asing, sungguh tidak mudah menilai dengan akurat. Mengapa?
Karena bukan rahasia lagi ada kelompok tertentu yang lebih taat dan setia kepada big boss di luar negeri sana. Bukan rahasia lagi banyak LSM-LSM berkedok aksi kemanusiaan dan keagamaan. Tapi prakteknya melahirkan separatisme demi setor wilayah negara satelit baru kepada big boss di luar negeri sana. Sejarah mereka dari dulu emang begitu.
Semoga Papua Barat dikaruniai kemakmuran dan kemajuan pesat serta dijauhkan dari perangkap kelompok “evil organization” yang hanya mementingkan golongan sendiri.
Ragile

No comments: