Atase dari Kampung Rutong

Dikenal sebagai sosok yang ramah, W.J. Latumeten berperan dalam sejumlah perundingan dengan Belanda. Namanya moncer ketika berhasil menggelar Asian Games IV dan Ganefo.
Gurat kesedihan tampak di wajah R. Maladi. Berkalikali suara Menteri Olahraga Kabinet Sukarno ini tertahan. Dia tak kuat menahan haru saat memberikan sambutan dalam upacara pemakaman Wim Jonas Latumeten. “Semasa hidupnya, almarhum selalu menyerahkan jiwa dan raganya pada negara, bangsa, demi kepentingan revolusi Indonesia,” kata Maladi seperti dikutip dari buku W.J. Latumeten: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Mei 1983.
Peristiwa Rabu, 23 Maret 1965 itu, menjadi secuil saksi kesedihan mendalam atas kepergian salah satu sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pembantu Khusus Menteri Olahraga itu meninggal di rumah dinasnya, di Jalan Ki Mangunsarkoro Nomor 27, Jakarta Pusat.
Maladi menyebutkan, nasionalisme Wim dibuktikan dengan kesetiaan dan keberaniannya sebagai pejuang kemerdekaan. Sebagai pejuang, ia juga dikenal ramah dan mudah bergaul. “Pribadinya yang luwes dan supel membuat banyak teman menyenanginya,” kata Maladi dalam buku yang sama.
Wim lahir di Kampung Rutong, Saparua, Maluku Tengah, 4 April 1916. Rutong merupakan perkampungan nelayan yang terletak di kawasan pantai timur Pulau Ambon, satu daerah pemukiman yang berdiri di atas pulau karang. Dia merupakan anak pertama dari perkawinan Jonas Andreas Latumeten dan Leentje Jaomina Tekupeiory. Di masa revolusi fisik, sang ayah dikenal sebagai ahli psikiatri yang pernah memimpin rumah sakit jiwa Bogor, Jawa Barat.
Kendati ahli dalam psikiatri, Jonas tercatat sebagai anggota Jong Ambon. Ia juga menjadi salah satu anggota Perhimpunan Indonesia (PI), pergerakan pemuda Tanah Air di Belanda yang mencita-citakan kemerdekaan bagi Indonesia. Keterlibatannya pada pergerakan kemerdekaan membuatnya dibuang ke Pulau Weh, Sabang.
Hingga ke ujung barat Indonesia, Wim kecil dan ketiga adiknya mengikuti sang ayah di tempat pembuangan. Pada 1929, masa pembuangan ayahnya berakhir. Saat itu, Wim berhasil menamatkan diploma di Europese Lagere School (ELS).
Seperti ayahnya, Wim muda sangat menggemari olahraga. Selain tergabung dalam klub sepakbola Jong Ambon, ia juga aktif dalam perkumpulan tenis Sumber Porong, Jawa Timur. Sejak kecil, sang ayah menanamkan keyakinan bahwa mengikuti kegiatan olahraga dan berprestasi adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan derajat bangsa di mata dunia.
Usai merampungkan pendidikan di HBS, pada 1937, ia dikirim ke Geneeskundige Hogeschool (GHS) di Jakarta. Tak lama di Ibu Kota, ayahnya yang khawatir pada kebijakan ketat pemerintah kolonial pada pergerakan pemuda, mengirimnya ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Surabaya, Jawa Timur. Wim pun bergabung Indonesische Tennis Organisasi Soerabaya (ITOS).
Namun, ketika Jepang membuat Belanda menyerah tanpa syarat, pada 8 Maret 1942, semua kegiatan di negara jajahan dialihkan ke tangan Jepang. NIAS Surabaya ditutup. GHS Jakarta berganti nama menjadi Ika Daigaku. Wim berhasil merampungkan pendidikannya di Ika Daigaku pada 1944.
Kampung Rutong, Batavia, Lawang, Sabang, Bogor, Surabaya, dan terakhir Jakarta, adalah kampung dan kota yang telah menempa Wim. Ketika Indonesia tengah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, pada 1947 – 1949, ia bertugas sebagai anggota pers Pemerintah Republik Indonesia. Perannya menonjol saat ditugaskan sebagai atase pers pemerintah di Jakarta, yang saat itu dikuasai Pemerintah Belanda.
Bersama Yusuf Ronodipuro, pendiri dan pimpinan Radio Republik Indonesia (RRI), ia aktif menjalin kontak dengan kantor-kantor berita asing seperti Reuters dan Associated Press (AP). Saat itu, berita-berita yang dia stensil, disiarkan dari Desa Balong, Gunung Lawu, ke seluruh penjuru nusantara. Upaya dari tangan terampil Wim bahkan dapat dinikmati Soekarno dan Hatta, saat keduanya ditawan tentara Belanda di Pulau Bangka, Juli 1949.
Pada 1959 -1962, Maladi yang saat itu memimpin Departemen Penerangan, memilih Wim menjadi salah satu Kuasa Menteri (Deputi) untuk Bidang Pers dan Publisitas. Posisi tersebut membawa Wim menjadi dekat dengan Soekarno. Peran Wim sangat menonjol setiap kali berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda Tetapi, kecintaan pada dunia olahraga membuat dia mengambil langkah berani untuk pindah dari posisi bergengsi tersebut. Ia memilih pindah ke Departemen Olahraga pada 1962.
Bidang ini, lebih cocok dengan denyut hati nuraninya. Bagi Wim, olahraga memiliki parameter, nilai, dimensi, watak serta sifat yang terbuka. Dalam olahraga, prestasi selalu menjadi ukuran yang disputable. Sementara, sportivitas menjadi norma moral pelakunya.
Nama Wim moncer pada 1963, saat hajatan besar Asian Games IV dan Games of The New Emerging Forces (Ganefo) digelar di Jakarta. Sebagai pelaksana kegiatan, pengorbanan dan dedikasinya membuatnya dikenang dunia olahraga Tanah Air sebagai sosok jenius olahraga. Sebab, di tengah meruncingnya perseteruan blok Barat dan Timur, menyelenggarakan pesta olahraga antarnegara bukan perkara gampang.
Wim dikenang sebagai abdi setia republik, dari masa revolusi fisik hingga masa kemerdekaan. Presiden Sukarno menganugerahinya gelar sebagai pahlawan nasional. Nama pendiri Sekolah Tinggi Olahraga di Jakarta ini juga diabadikan menjadi nama salah satu jalan protokol di bilangan Jakarta Barat: Jalan Latumeten.[] Anom B Prasetyo
 Anom B Prasetyo

No comments: