Mengenang Kejayaan Sungai Bengawan Solo

Sungai sepanjang hampir 600 km, dengan 2200 anak sungai, ini melewati hampir 20 kota dan kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sungai Bengawan Solo bermata air di daerah Wonogiri menuju muaranya di Laut Jawa, dekat kota Gresik. Sungai ini telah mengukir sejarah peradaban sepanjang alirannya, bahkan sepanjang usianya. Sungai ini telah lama menjadi sarana transportasi dan perdagangan di pedalaman Jawa, mengingat dari seluruh pantai utara Jawa Tengah hingga Surabaya hanya sungai Solo yang layak untuk dilayari sebagai sarana pengangkutan barang-barang konsumsi dan niaga ke pedalaman.



Sejak abad XIII-XIV, ketika Kerajaan Majapahit masih berada pada puncak kekuasaannya di Jawa Timur, transportasi sungai di pedalaman ini telah berlangsung. Pada saat itu Gresik yang masih disebut sebagai pelabuhan Ujung Galuh, menjadi bandar laut terpenting di Jawa Timur bersama Tuban. Sejak masa itu, pelabuhan tersebut merupakan sebuah sarana pendaratan bagi kapal besar dengan jumlah pasukan yang cukup banyak. Lokasi Gresik ini sangat strategis karena terletak di muara sungai besar yang disebut sebagai Bengawan Semanggi atau dikenal sebagai Bengawan Solo.




Istilah bengawan Semanggi atau bengawan Solo menunjuk pada nama daerah Semanggi dan Solo tempat bandar terakhir dari aliran sungai ini berada. Istilah tempat yang digunakan sebagai nama sungai menunjukan bahwa lokasi tersebut merupakan sumber pertama dari aliran sungai, mengingat di sepanjang aliran sungai Solo hingga ke Gresik terdapat 44 bandar sungai. Pada aliran semakin ke timur bisa ditemukan nama bengawan Madiun yang melewati kota Madiun. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa bandar penting atau lokasi penting yang menjadi sumber aliran sungai itu diberikan sebutan bagi nama sungai. Tentang aliran dan jumlah bandar di sungai ini periksa Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia, 2000), halaman 67.



1336529301466572425


(keterangan gambar : bandar-bandar yang berada di sepanjang S Bengawan Solo sejak jaman Majapahit, sumber : Darsiti Soeratman, 2000, maaf scanning agak miring)


Sungai ini menjadi jalur utama bagi perdagangan dan pelayaran sungai yang menghubungkan antara daerah pedalaman Jawa dengan laut, atau juga bisa dikatakan sebagai jalur keluar dan masuknya pertukaran ekonomi dan peradaban antara pedalaman Jawa dan dunia luar.


Karena sumber air sungai tersebut terletak di daerah sekitar Solo, maka sejumlah bandar penting juga bisa ditemukan di lokasi itu. Ini bisa ditemukan di antaranya seperti desa Semanggi yang letaknya di sebelah tenggara desa Solo dan Wuluyu atau Wulayu yang menjadi bandar hidup selama abad XIV-XV. Sebelum itu Semanggi atau Wuluyu juga disinggung dalam prasasti Piagam Penambangan (Ferry Charter) yang dikeluarkan oleh istana Hayam Wuruk tahun 1358 sebagaimana ditelusuri oleh J Noorduyn. Semanggi merupakan Salah satu dari serangkaian bandar di sepanjang Bengawan Solo sejak dari muaranya di Gresik. Tempat itu merupakan penambangan bagi para pelintas, dan pajak diterapkan kepada para pedagang atau orang Kalang (tukang pedati) yang melakukan ekspedisi/pengiriman komoditas.




Di daerah sekitar Solo sendiri kemudian masih bisa disebutkan tentang adanya desa yang berperan aktif dalam perdagangan ketika Kesultanan Pajang memegang kekuasaan, yaitu Laweyan. Jarak antara bandar tersebut biasanya hanya berkisar 4 sampai 15 kilometer dan ditempuh dengan pelayaran sungai. Pasar Laweyan berkembang pesat karena di sana terkenal sebagai pusat perdagangan kain tenun untuk daerah pedalaman Solo. Berkaitan dengan kenyataan itu, semua aktivitas yang berkaitan dengan produksi tekstil tradisional mulai tumbuh dan terpusat di kampung-kampung khusus seperti Mutihan (sebagai lokasi penjualan kain putih), Kabangan (produksi kain merah) dan Klaseman (produk kain coklat). Kecuali itu beberapa produsen pengembang juga mulai berdatangan dan membentuk komunitas sendiri. Mereka kebanyakan berasal dari daerah Bayat, Kartasura, Kleco, Pajang dan Kedunggudel dengan memiliki keahlian masing-masing. Semua pengrajin tersebut kemudian membuka pemukiman tersendiri namun mempunyai ikatan khusus dengan Laweyan sebagai pusat kegiatan perdagangan kain tradisional.


Baik Semanggi maupun Solo merupakan desa yang menjadi bandar bagi perdagangan. Lokasi kedua tempat ini cukup strategis dan sangat penting bagi jaringan transportasi sungai, oleh karena itu di Semanggi selain aktivitas perdagangan dari kalangan para pedagang juga terdapat aktivitas penambangan yakni persewaan perahu untuk menyeberang. Perahu dan rakit ini bergerak sesuai dengan arah angin yang berhembus. Pada saat angin bertiup ke barat maka perahu-perahu dagang ini bertolak dari pelabuhan Gresik menuju ke pedalaman dengan menyinggahi berbagai bandar sampai akhirnya tiba di bandar terakhir yakni Semanggi dan Solo. Pada saat angin berhembus ke timur, perahu-perahu ini kembali berlayar menuju arah muara dengan tujuan akhir ke Gresik. Tentu saja pelayaran sungai ini juga disesuaikan dengan debet air sungai Solo yang tinggi, mengingat beberapa perahu dengan tonase cukup besar tidak akan mampu berlayar pada saat kedangkalan air cukup rendah. Dalam pelayaran sungai ini produk-produk juga dibawa sesuai dengan arah pelayarannya. Dari Gresik dan muara sungai kebanyakan perahu ini mengangkut komoditi impor seperti rempah, peralatan rumah tangga, tembikar, kain sutera dan garam. Ketika berlayar kembali perahu-perahu ini akan membawa produk pertanian seperti beras, kelapa, gula kelapa, bawang, produk hutan seperti rotan, damar, lilin, madu dan sebagainya dengan tujuan diekspor.


Selain pedagang Cina, kelompok pelaku bisnis terkenal pada masa itu di sepanjang Bengawan Solo ini adalah orang Jawa. Para pedagang Jawa pada abad XV-XVII dikenal sebagai produsen dan distributor produk pertanian seperti beras, kelapa, jagung dan buah-buahan. Mereka membawa barang dagangannya dari pedalaman untuk kemudian ditukar atau dijual di setiap bandar persinggahan sampai akhirnya menuju ke muara sungai sebagai tempat penimbunan.


Sungai Bengawan Solo jelas telah memainkan peranan penting dalam sektor perdagangan domestik yang bertumpu pada pelayaran sungai. Pola-pola pelayaran sungai yang menggunakan perahu dan rakit tersebut berkaitan erat dengan persediaan bahan baku bagi pembuatan sarananya. Di daerah sekitar Solo khususnya daerah Sragen, Sukoharjo hingga Ngawi dan Madiun banyak dijumpai persediaan kayu yang cocok untuk pembuatan perahu sungai.


Ketika Surabaya diambil alih oleh VOC dari Mataram pada akhir abad XVII, VOC membangun pelabuhan Surabaya dan memfungsikannya sebagai suatu pelabuhan niaga yang besar. Letak Surabaya yang terlindung oleh pulau Madura di selatnya membuatnya aman bagi kapal-kapal untuk berlabuh dari ancaman terpaan langsung. Akibatnya aliran sungai Solo tidak lagi menguntungkan bagi daerah Gresik melainkan lebih banyak bermanfaat bagi Surabaya dan pedalamannya. Ini juga terus berlangsung sampai abad XIX ketika pedalaman Surabaya selatan berubah menjadi daerah perkebunan tebu yang memanfaatkan air sungai Solo sebagai irigasinya. Namun penggunaan sungai Solo sebagai saluran perdagangan justru meningkat selama abad XVII-XIX mengingat sulitnya jalan darat yang melewati hutan dan kerawanannya dalam bidang transportasi.


13365296131664527771


(Keterangan gambar : Coretan Desa Solo, sumber : RM Sajid, 1900)




VOC sendiri tenyata pada akhirnya memang memiliki kepentingan ekonomi di Sungai Bengawan Solo. Di Solo sendiri, kemudian VOC membangun gudang-gudang untuk mengakomodasi hasil-hasil perkebunannya di daerah hinterland Solo seperti Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Klaten dan Boyolali). Pergudangan VOC berada di daerah Beton, Kampung Sewu, Solo. Mereka juga membangun bandar di sana sebagai saingan bagi bandar Nusupan yang sudah ada sebelumnya. Setelah tahun 1744, VOC membangun benteng (dari kayu) Grootmoedigheid (sekarang bernama Vastenburg), didaerah sekitar pertemuan kali Pepe dan Sungai Bengawan Solo. Artinya daerah ini telah dijamin keamanannya bagi pengembangan kegiatan dagang VOC.


13365296991560707155


1336529745536194503


(Keterangan : 2 foto di atas adalah kampung Beton di Kota Solo, saat ini masih bisa dijumpai artefak yang menunjukkan kekayaan bandar Beton di masa lampau, sumber dokumentasi pribadi)



Selama abad XIX khususnya sejak tahun 1830 telah terjadi proses eksploitasi agraria secara intensif dan besar-besaran atas wilayah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Kondisi pembangunan fisik kota Solo pada era eksploitasi agraris memang tampak pesat relevan dengan meningkatnya kegiatan administrasi dan jasa perdagangan yang maju pesat terutama dari kegiatan perkebunan dan pabrik gula. Kota Solo sebagai pusat kota dagang dan administrasi kota kolonial sangat jelas tercermin dari fasilitas-fasilitas yang dibangun dan tumbuh didalamnya. Juga fasilitas-fasilitas perkotaan modern untuk seni dan rekreasi, klub-klub, taman-taman, dan juga fasilitas transportasi yang mendukung mobilitas cepat bagi kegiatan ekonomi. Jaringan kereta api (lori) yang membentang kewilayah hinterland mengumpul menuju pabrik-pabrik pengolah tebu menjadi komoditas gula dunia, kemudian diteruskan ke stasiun-stasiun yang dibangun beserta pergudangannya dan diteruskan ke bandar-bandar besar untuk kepentingan eksport.



Sejalan dengan perkembangan kereta api untuk mendukung perkebunan, transportasi kereta api juga memainkan peranan penting dalam merubah wajah kehidupan perkotaan Solo pada akhir abad XIX. Ketika usaha perkebunan gula dan pabrik-pabriknya mengalami perluasan yang tak terkendali, tuntutan dan kebutuhan bagi pengangkutan produk gula menjadi semakin meningkat. Sarana transportasi yang ada yaitu dengan pengangkutan perahu di sungai Solo tidak lagi menutup kebutuhan itu mengingat pendangkalan yang telah terjadi di sungai itu sehingga tidak layak lagi digunakan untuk pelayaran perahu besar.


Di samping faktor bertambahnya pemukiman di sepanjang sungai Solo, kondisi ekologi yang berpengaruh pada aliran sungai ini juga terjadi selama Tanam Paksa sebagai akibat dari penguasaan hutan-hutan di Madiun dan Ngawi oleh pemerintah kolonial yang diikuti dengan penebangan secara besar-besaran. Ini mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ekosistem alam di sepanjang aliran sungai tersebut sehingga mengakibatkan tanah longsor. Kelongsoran tanah ini telah menimbuni pinggiran aliran sungai sehingga menambah volume lumpur pada aliran sungai tersebut. Akibatnya penyempitan aliran dan pendangkalan arus terjadi yang sangat mempengaruhi penggunaan aliran sungai ini oleh perahu-perahu yang biasa memakainya.



13365299481055737703



1336530056908457265



(Keterangan gambar : 2 foto di atas adalah aktivitas tambangan, yaitu menyeberangkan orang atau barang menggunakan perahu sederhana, bisa dibayangkan dahulu ketika Bengawan Solo dilewati kapal dengan tonase besar, sumber : dokumentasi pribadi)


Yang memprihatinkan adalah bahwa proses kerusakan ekologi di Sungai Bengawan Solo masih terus berlangsung hingga saat ini, terutama pendagkalan sungai. Permukiman ilegal di bantaran sungai di kota Solo yang mulai sporadis sejak era reformasi turut memberikan kontribusi bagi kerusakan ekologi tersebut. Pemkot Solo saat ini masih dan sedang terus merelokasi permukiman-permukiman tersebut sehingga dampak dan bencana ekologis Sungai Bengawan Solo dapat dikurangi. Bengawan Solo saat ini tak ubahnya seperti jalur pembuangan sampah gratis (kalau tidak ingin dikatakan sebagai septictank). Pemikiran dan perilaku masyarakat masih banyak yang abai terhadap persoalan ekologi sungai. Mestinya kota-kota di sepanjang alirannya perlu memikirkan bentuk edukasi bagi masyarakatnya agar mereka tidak”ngungkuri” (tidak membelakangi, dalam arti yang luas tentunya) sungai lagi.


Maka benar adanya ratapan Gesang dalam lagunya : ”Bengawan Solo….riwayatmu kini….” (duh…apakah kita akan tinggal diam)…

Yusticia Arif

No comments: