Metafisika, Antara Barat dan Islam

metafisika islam
Bagikan:

Jika kebanyakan ilmuwan Barat meragukan objek-objek metafisika, para ilmuwan Islam malah memiliki kepercayaan yang kuat terhadap objek-objek metafisik yang “gaib” yang disebut ma’qulat.

Bahrul Ulum

 ISLAM merupakan agama yang menjunjung tinggi ilmu. Para ulama tidak pernah menutup diri terhadap ilmu yang ada dan sedang berkembang di masyarakat.

Meski ilmu tersebut berasal dari peradaban lain, mereka tidak langsung menerima atau menolak. Konsep-konsep asing tersebut mereka integrasikan ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam.

Yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.

Konsep tersebut didopsi dan diadaptasi berdasar nash al-Qur’an dan Sunnah. Yang sesuai dengan ajaran Islam diambil dan yang tidak sesuai dibuang. Begitulah cara ulama dan pemikir Islam menyikapi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah islamisasi.

Ketika ilmu filsafat yang berasal dari Yunani masuk ke wilayah Islam, para cendekiawan Muslim melakukan kajian dengan metode tersebut. Salah satu kajian dalam ilu tersebut yaitu metafisika.

Ilmu ini mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada. Metafisika objek kajiannya meliputi “Yang ada sebagai yang ada” dan “Yang ilahi”.

Menariknya, mereka menggunakan istilah yang berbeda dari konsep yang menjadi objek pembahasan sebelumnya. Karenanya tidak salah jika dikatakan secara tak langsung Islam telah memiliki konsep metafisika nya sendiri yang berbeda dengan makna teks Yunani dan lainnya.

Sebagai contoh, dalam literatur bahasa Arab, metafisika sering disebut dengan ungkapan, ma’ba’d al-thabi’ah (sesuatu yang berada setelah alam), al-falsafah al ula (filsafat pertama), illahiyat (teologi, ketuhanan) atau bahkan hikmah (kebijaksanaan).

Jika kebanyakan ilmuwan Barat meragukan objek-objek metafisika, para ilmuwan Islam malah memiliki kepercayaan yang kuat terhadap objek-objek metafisik yang “gaib” yang disebut ma’qulat. Yaitu objek-objek yang tidak bisa ditangkap indra, tetapi dapat dipahami oleh akal manusia.

Metafisika dalam Kajian Filosof Islam

Para filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari filosof-filosof lain. Ini yang membuat mereka tetap memegang prinsip-prinsip agama dan etika masyarakat Islam.

Pertama kali orang yang mempelajari filsafat yaitu Al-Kindi. Ilmuwan Muslim yang lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah berjasa membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dengan memberinya corak Arab keislaman. Selanjutnya muncul Al-Farabi yang lahir tahun 257 H (870 M) dari Turkistan.

Al-Farabi diakui sebagai peletak fondasi filsafat Islam sehingga mendapat gelar al-Mou’allim al-Thani, Sang Guru Kedua setelah Aristoteles sebagai Guru Pertama dalam bidang filsafat. Ia mendapat julukan tersebut karena berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan gurunya, Plato.

Dalam masalah metafisika, pemikiran Al-Farabi sama dengan al-Kindi yang terpengaruh oleh Aristoteteles. Mereka menggunakan penjelasan tentang hubungan Tuhan dan alam dengan menggunakan teori emanasi (al-faid), bukan penciptaan (Abu Nasr al-Farabi, Ara ’ Ahl al-Madinah al Fadilah, hal. 6).

Menurut mereka Tuhan menciptakan alam ini dengan metode emanasi (pancaran) guna mencegah diri-Nya dari sikap yang baru. Konsekuensinya, alam memiliki sifat abadi (qadim) yang sama sebagaimana Tuhan, karena segala sesuatu yang tumpah dari yang qadim juga qadim.

Dengan kata lain, Allah tidak menciptakan alam, akan tetapi sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Tuhan mencipta sesuatu dari yang sudah ada dengan cara pancaran atau emanasi.

Pemikiran ini kemudian juga dilanjutkan oleh filosof Islam berikutnya, yaitu Ibnu Sina. Pemikir yang lahir tahun 370 Hijrah/980 M ini hanya saja memiliki perbedaan sedikit, yaitu karena yang pertama mengalir dari Allah, maka mempunyai aspek ‘ada karena keperluan’ atau ‘ada yang mungkin ada’ dan ‘ada yang wajib ada’.

Pemikiran Al-farabi maupun Ibnu Sina itu berawal dari keyakinan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan zat.

Pemikiran ini mendapat kritikan yang keras dari filsof Islam berikutnya, yaitu Imam Ghazali. Ulama yang lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran) mengktirik pedas pemikiran tersebut karena dianggap dipengaruhi Aristoteles.

Menurut Al-Ghazali paham ini bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam. Alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, kemudian Tuhan menciptakan alam seperti yang sekarang ini.

Bagi al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Menurut Ghazali, sebelum menciptakan alam ini, Tuhan yang berkehendak telah ada, dan kehendak pun telah ada.

Bahkan hubungan kehendak dengan objeknya pun telah ada. Kehendak Tuhan tidak bersifat sementara. Tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Tuhan untuk melakukan sesuatu. (Tahafut al-Falasifah, hal.96).

Begitulah tradisi Islam dalam melihat dan memahami sebuah ilmu. Meski bukan dari Islam, bukan berarti ditolak, tapi diseleksi dulu sesuai dengan ajaran Islam.*

Dosen Filsafat Islam dan Sekretaris MIUMI Jatim

Rep: Admin Hidcom
Editor: Bambang S

No comments: