Istilah ‘Kajian Ahlussunnah’ Sudah Ada sejak Zaman Kolonial

Majalah Tjahaja Islam terbit sejak tahun 1930
HARI-hari ini kita sering mendengar istilah ‘kajian-kajian sunnah’, ‘kajian sunnah’ atau juga ‘kajian ahlussunnah’. Dalam sejarah gerakan Islam di Indonesia istilah itu juga bukan hal baru, tapi sudah lama.

Di masa kolonial Belanda, muncul sebuah organisasi, tempat berkumpulnya para ulama untuk kajian-kajian keilmuan. Mereka berada dalam sebuah ‘kajian sunnah’ yang bernama Madjlis Ahli Soennah (MAS) atau dikenal juga sebagai Majelis Ahli Sunnah Cilame (MASC) Garut, organisasi lokal berhaluan reformis yang berdiri di kota Garut, Jawa Barat sekitar tahun 1925.

Munculnya Madjlis Ahli Soennah (MAS), tak bisa dilepaskan dari sosok Mama Zakaria, seorang ulama reforis asal Garut. Salah satu didirikanya Madjlis Ahli Soennah ini untuk menghimpun ahli ilmu.

Berdirinya majelis ini sesungguhnya bermula dari keinginan masyarakat untuk bertanya jawab dan berdebat dengan tokoh Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin oleh pendirinya A. Hasan. Namun karena jarak dan banyaknya pertanyaan untuk dijawab, maka Mama Zakaria berinisiatif membuat dan mendirikan halaqah tanya jawab dan berdebat itu dengan sebutan Madjlis Ahli Soennah (MAS).

Mama Zakaria tidak bermaksud untuk mendirikan Persauan Islam (Persis), tapi terlebih dahulu untuk melalukan tanya jawab dan berdebat dengan Persis. Jadi bentuk dukungan tidak serta merta dengan mendirikan cabang Persis di Garut.

Organisasi yang bernama Madjlis Ahli Soennah (MAS) berpusat di pesantren Cilame, Garut digawangi tokoh-tokoh diantaranya adalah KH Anwar Sanusi, KH Yusuf Tojiri, KH Romli, KH Abdul Qohar, KH Fatah dan Raden Sukantawijaya.

Tokoh-tokoh MAS Garut dikenal memiliki ilmu yang luas. Selaian Mama Zakaria, ulama Cilame yang menjadi Raad Igama Distrik Garut, yang paling vokal adalah KH Raden Anwar Sanusi, tokoh SI yang juga pimpinan Pesantren Biru, Tarogong. Ia adalah Ketua Hoofd Bestuur MAS Garut.

Untuk menyebarkan paham agamanya, tokoh-tokoh MAS Garut ini menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk kitab, buku, artikel lepas pada surat kabar seperti Sipatahoenan dan Atikan Rakjat. Khususnya tulisan kedua tokoh Mama Zakaria dan H. AR Sukantawijaya membahas masalah taqlid dan bid’ah dalam ritual ibadah selalu mendapat respon keras dari ulama Priangan, terutama kiai-kiai dari Sukabumi.

Saking kerasnya perdebatan dan pertntangan tersebut, hingga Mama Zakaria pernah mendapat paket dari pos yang berisi ular dan katak. KH Anwar Sanusi juga pernah menulis tafsir Al-Quran berbahasa Sunda dengan judul Gajatoel Bajan (Katjida Pertelana) Tafsir Qur’an Basa Soenda.

Kitab tafsir ini diterbit MAS tahun 1928 sebanyak 5 jilid. Berikutnya KH Anwar Sanui menerjemahkan kitab Tafsir al-Foerqon karya A. Hasan dalam Bahasa Melayu ke dalam Bahasa Sunda. Penerjemahan ini dilakukan berdua dengan Djoeragan Mh. Djoenaedi.

Di tahun yang sama 1928, Mama Zakaria menyusun 2 kitab fikih berbahasa Arab yaitu Tasyqiq al Ahkam dan Tazakhiq al Bathil. Dan kedua buku ini menjadi fenomenal pada zamannya, dan sempat mengguncangkan para kiai dan santri di daerah Priangan Barat, Bogor, Kerawang hingga Batavia.

Baca: KH. Aceng Dinilai Penulis Produktif PERSIS

Lebih dari itu, MAS Garut di tahun 1930 sudah membuat dan menerbitkan surat kabar/majalah dengan nama Tjahja Islam. Identitas Tjahja Islam tertulis: “Surat Kabar Agama Islam Madzhab Ahli Soennah waldjamaah.”

Dari majalah ini tergambar idiologi agama yang menjadi pegangan, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul (hadits yang shahih). Kedua hal ini sebagai tolok ukur untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang dinilai sangat kritis.

Majalah Tjahja Islam memuat rubrik terjemahan Al-Qur’an dalam beberapa edisi berjudul Ajat-ajat Qoer’an, ayat-ayat qur’ānic. Namun, majalah Tjahja Islam berbeda dengan Al-Imtisal atau

Yang menarik, ada edisi Tjahja Islam terkait perdebatan MAS Garut dan Persis Bandung dengan Nahdlatul Ulama (NU) Cirebon. Majalah Tjahja Islam No 2 tahun 1932 memberitakan dengan judul “Verslag Ringkes Openbare Vergadering Kiai Nadlatoel Oelama Tjirebon Contra Kiai Modern.”

Dari NU yang mewakili perdebatan adalah KH Abdul Khair, sedangkan kubu KH Anwar Sanusi mewakili MAS. Acara perdebatan itu terbuka untuk umum dan terjadi pada 19 Juni 1932 bertempat di HIS PGB Ciledug, Cirebon.

Demikianlah peran MAS dalam mensosialisasi istilah ‘gerakan ahli sunnah’ pada zamannya agar umat kembali ke al-Qur’an dan hadits yang benar sesuai dengan ahli sunnah wa jamaah.*/Akbar Muzakki, bahan buku ‘KH Aceng Zakaria, Ulama Persatuan Islam”

Rep: Akbar Muzakki
Editor: Insan Kamil

No comments: