Transformasi Sekuler Istri Mustafa Kemal Attaturk

Mustafa Kemal Ataturk

Mustafa Kemal Ataturk

Foto: tangkapan layar
Kisah Isteri Mustafa Kemal
Uttiek M Panji Astuti, penulis buku dan traveler

Januari lalu, Dündar Abdülkerim Osmanoğlu, pewaris terakhir takhta Kesultanan Utsmaniyah dilaporkan wafat di usianya yang ke 90 tahun di Damaskus, Suriah. 

Ia adalah cucu Pangeran Mehmet Selim Efendi sekaligus cicit Sultan Abdül Hamid II. Seperti tercatat dalam sejarah, Sultan Abdül Hamid II adalah sosok yang begitu keras menghalangi zionisme menyentuh tanah Palestine, meski hanya sejengkal.

Dündar Abdülkerim Osmanoğlu dimakamkan di Damaskus, di tengah kecamuk perang yang tengah melanda negeri itu. 

Seumur hidup ia tak pernah menatap langit biru Istanbul. Melihat sekawanan camar yang terbang rendah di selat Bhosporus.


Begitulah garis nasib keturunan Sultan Muhammad Al Fatih. Semenjak runtuhnya Daulah Utsmani, mereka dipaksa angkat kaki dari negeri yang dibebaskan leluhurnya dengan darah dan air mata ke tanah pengasingan.

Sekalipun di tahun 1952 keturunan perempuan Daulah Utsmani telah diberikan amnesti untuk kembali dan diikuti keturunan laki-laki di tahun 1974, namun banyak yang memilih tak menggunakannya. 

Barangkali masih ada trauma. Barangkali masih terluka. Tersebab intimidasi Mustafa Kemal dan antek-anteknya. 

Pada masa itu segala hal yang berbau Utsmani diberangus. Segala hal tentang Islam harus ditanggalkan. Diganti dengan ideologi sekuler di setiap lini kehidupan.

Mustafa Kemal menyontohkan langsung bagaimana melakukannya melalui kehidupan pribadinya. Ia dikenal sebagai pria flamboyan yang suka bergonta-ganti pasangan, penikmat kehidupan malam, dan perilaku hedon lainnya.

Begitu “parah” gambaran kehidupan pribadinya, bahkan idenya untuk menikahi putri Sultan Mehmed VI pun ditolak Sultan. Padahal secara politik itu bisa “mengamankan” posisi Sultan yang saat itu sudah berada di tepi jurang. 

Apa pasal? Sultan mendengar kabar tentang penyakit kelamin yang diidap Mustafa Kemal akibat gaya hidup bebasnya. Ayah mana yang rela menyerahkan putrinya pada pria semacam itu? Apalagi Sultan Mehmed VI dikenal sebagai pribadi yang baik dan taat beragama.

Mustafa Kemal akhirnya menikah dengan Latife Uşaklıgil. Seorang perempuan dari keluarga kaya dan terhormat yang pada awalnya masih menunjukkan identitas keislamannya.

Ini bisa dilihat dari foto-foto awal pernikahan mereka yang dipublikasikan. Latife terlihat masih mengenakan jilbab panjang dan rapat.

Perlahan, ia mulai menggantinya dengan kain kecil penutup kepala tradisional yang disebut başörtüsü. Hingga akhirnya di foto-foto kenegaraan  terlihat ia tak lagi memakai kerudung dan mengenakan pakaian terbuka.

Lebih parahnya, di forum-forum resmi ia mendesak wanita-wanita Turki untuk mengikutinya. Seperti halnya suaminya, ia mempromosikan gaya hidup sekuler melalui isu-isu emansipasi. Upayanya berhasil. Tak butuh waktu lama, wanita-wanita Turki menanggalkan jilbabnya. Mereka tak sadar, jilbab bukan perkara selembar kain, namun kehormatan mereka yang dicerabut negara.

Sekalipun seiring sejalan mempromosikan ideologi sekuler, namun biduk rumah tangga mereka tak berlangsung lama. Hanya berjalan 5 tahun, keduanya bercerai pada 5 Agustus 1925.

Ada yang menarik sebenarnya, seperti yang tertulis dalam buku “Madam Ataturk”, ada dokumentasi berupa buku harian dan surat-surat yang ditulis Latife yang dilarang pengadilan untuk dipublikasikan.


Pihak keluarga pun menuntut supaya catatan yang kini disimpan oleh Yayasan Sejarah Turki itu tak diungkapkan.

Saya membayangkan kalau dokumen itu bisa dibaca, barangkali ia sempat menuliskan kegundahan hatinya saat menjauh dari agamanya, melepaskan jilbab dan kehormatannya.

Hari ini, 3 Maret, adalah hari kelam dalam kehidupan umat Islam. Tepat 97 tahun lalu untuk terakhir kalinya panji-panji Daulah Utsmani berkibar di muka bumi.

Jakarta, 3/3/2021

No comments: