Bagikan artikel ini
Arti ‘mabuk’ di KBBI: 1 berasa pening atau hilang kesadaran (karena terlalu banyak minum – minuman keras, makan gadung dan seterusnya); 2 berbuat di luar kesadaran; lupa diri; 3 sangat gemar (suka); 4 tergila-gila; sangat berahi dan seterusnya.
Nah, keterangan poin 1, 2, 3 dan 4 di atas kita breakdown agar lebih jelas mengenai unsur-unsur mabuk, antara lain:
1 masuknya zat/benda ataupun unsur dari luar ke dalam tubuh secara berlebihan;
2 lupa diri akibat kemasukan zat/benda/unsur luar baik yang sifatnya fisik maupun nonfisik (psikis);
3 berbuat di luar kesadaran.
Minum contohnya, atau makan, ketika dilakukan secara berlebih- lebihan (lupa diri) bisa menyebabkan ‘mabuk’. Timbul pening, misalnya, atau sakit perut, mual dan seterusnya. Bila sudah sampai demikian kondisinya, barangkali mengkonsumsi makanan halal pun bisa haram jika sampai mabuk. Apalagi mengkonsumsi yang haram?
Demikian pula untuk hal-hal psikis seperti suka kepada wanita secara berlebihan, aku tak bisa hidup tanpamu! Ini contoh saja. Ia bisa disebut mabuk jika orang tersebut sampai lupa (diri) kepada ibu bapak, anak istri dan lain-lain mabuk cinta istilahnya, atau mabuk kepayang, cinta sekonyong-konyong koder. Bahkan sampai bunuh diri tatkala merasakan pahitnya bercinta. Dalam agama, itu dilarang. Haram.
Mungkin uraian di atas masih kurang detail. Terlalu singkat atau tidak memuaskan. Silahkan ditambahkan sendiri ataupun didiskusikan agar tidak ada syak wasangka.
Sesuai judul, sekarang ke diksi ‘agama’. Ya. Di KBBI, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sisi lainnya, agama itu berasal dari bahasa sanksekerta. A = tidak; gama = rancu atau kacau. Barang siapa menjalankan agama secara benar maka bakal tidak rancu/kacau baik dalam olah logika, olah rasa, pandangan hidup dan seterusnya. Singkat kata, orang beragama itu hidupnya tidak akan kacau. Kalau beragama tetapi masih rancu atau kacau, itu bukan salah agama tapi manusianya kemungkinan ‘keliru membaca’ ajaran-ajaran agama.
Di Islam, bila orang beragama tetapi masih plin-plan diistilahkan munafik; atau beragama namun suka melanggar aturan itu namanya murtad; atau orang beragama tetapi tak percaya diri, tidak dipercayai oleh lingkungan disebut kafir. Selanjutnya orang yang percaya diri, dipercaya oleh anak buah, atasan, anak istri dan dipercaya oleh lingkungan itulah orang beriman. Uraian di atas, itu penjelasan dalam makna horizonal, bukan makna vertikal (mutlak) yang menjadi kawasan Tuhan.
Dalam Islam, ada empat golongan manusia, yaitu: 1) munafik, 2) kafir, 3) murtad dan 4) beriman. Tidak ada istilah dan/atau tak ada yang lain selain empat istilah di atas.
Ketika muncul istilah ‘mabuk agama’ dan viral maka pertanyaan selidiknya: “Termasuk golongan manakah mabuk agama itu; kelompok munafik, murtad, kafir atau golongan beriman?”
Ya. Asymmetric war (perang nirmiliter) yang berpola isu-tema atau agenda-skema, mengajarkan: bahwa isu ditebar untuk memancing reaksi publik alias test the water; kemudian agenda diluncurkan guna membentuk opini publik. Apabila berhasil, publik menerima dan isu tersebut dianggap benar adanya; dan terakhir ditancapkan skema. Dalam geopolitik, narasi skema biasanya terkait (geo) ekonomi, namun dalam permainan politik praktis, paling minimal ialah meraih pintu masuk menuju kekuasaan.
Dengan demikian, secara asymmetric, maraknya tagar ‘mabuk agama’ merupakan isu awal. Pintu pembuka bagi agenda yang hendak dibentuk di benak publik. Pembahasan singkatnya, bahwa mabuk itu identik dengan candu, narkoba atau miras. Maka analisa prematurnya, bahwa kuat diduga, agenda yang akan dibentuk di publik antara lain: 1) agama itu narkoba, 2) agama itu miras, 3) agama adalah candu. Itulah sinyalir agenda jika isu mabuk agama semakin viral di publik.
Dari paparan ini, tercium bau sangat menyengat darimana sumber isu ‘mabuk agama” berasal dan bermula.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam …
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)