Kenangan Darud Dunia

Kenangan Darud Dunia
Peta lokasi Istana Darud Donya Kerajaan Aceh Darussalam dalam sebuah lukisan tahun 1665 oleh Johannes Vingboons.
Kemegahan suatu kerajaan kerap dibuktikan dengan adanya istana. Bagaimana dengan Aceh?

The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend.”

Demikian Peneliti Belanda, Snouck Hougronje menyebutkan sejarah kegemilangan Kerajaan Aceh yang dipenuhi oleh dongeng. Namun hal tersebut dibantah oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda.

Menurut Lombard, Aceh pada masa itu merupakan sebuah negara dengan sistem perkotaan bukan negara pertanian. Aceh sama halnya dengan negara-negara Asia pada umumnya. Aceh memiliki kekuatan materiil dan berwibawa di mata orang asing.

Ekspedisi laut diatur sesuai dengan suatu kebijaksanaan terpadu. Perdagangan berkembang di kota pelabuhan yang juga menjadi pusat kebudayaan di ujung pulau Sumatera.

Sultan Aceh memiliki istana yang indah, mewah disertai pengiring raja yang jumlahnya banyak. Selain itu daerah ini juga memiliki kesusastraan yang terus berkembang dengan pesat, dan ditambah menjadi pusat perdebatan para ulama dari India dan beberapa tempat lainnya. Dengan kata lain, Aceh merupakan sebuah pusat pendidikan agama yang kemudian dikenal dengan kata Zawiyah.

Dalam bukunya tersebut, Denys Lombard sekaligus mematahkan istilah sebagai kaum barbar atau perompak, seperti yang pernah dilontarkan oleh Sir R.O Winstedt dalam History of Malaya, Singapura, Kuala Lumpur, tahun 1962.

Dia mengatakan, ”In 1962…., tired of the fierce fights of cocks, rams and elephants and the “stomackful” encounter of baffles, pastimes of his barbaric court, Makota ‘Alam retook Aru which since the beginning of the century had been a fief of Johor.”

Untuk membedah kata-kata Sir R.O Winstedt tersebut, Denys Lombard menyampaikan sedikit banyaknya kebenaran tentang keberadaan Aceh dan sultan-sultan agungnya. Salah satu bukti kejayaan dan kemegahan Aceh yaitu adanya istana.

Istana atau kerap disebut dengan “Dalam” merupakan pusat sekaligus kerangka semua perayaan dan kebudayaan. Pada abad ke 17, istana sultan sangat megah namun kemegahan ini mulai meredup sejak abad ke 19. Istana itu dinamakan Dar-ud Dunia.

Kemegahan Darud Dunia hancur akibat perang antara Aceh dan Belanda. Bahkan Snouck Hougronje sama sekali tak menyebutkan tentang keberadaan Darud Dunia sebagai bentuk propaganda politik Belanda terhadap Aceh.

Bangunan yang masih tersisa dari Darud Dunia sejak Belanda berhasil menguasai Kuta Radja, dialihfungsikan menjadi tangsi militer. Sejak berhasil merebut pusat kekuasaan Aceh di abad 19, Belanda turut mengubah nama Dalam menjadi Kraton dan mengganti nama tersebut dari dalam peta serta dokumen-dokumen resmi. Belanda ingin menyeragamkan istilah Aceh dengan kerajaan-kerajaan di Jawa.

Sisa kejayaan Kerajaan Aceh hanyalah Pinto Khob dan Gunongan. Kebudayaan peninggalan kerajaan Aceh juga masih terukir jelas di beberapa nisan para raja yang sebagiannya masih asli dan dapat dibaca.

Banyak pihak menanyakan dimana sebenarnya letak Dalam (Istana) Kerajaan Aceh. Di masa Snouck Hougronje bertandang ke Aceh, Dalam berada di tengah-tengah kota. Kawasan ini menjadi pusat daerah yang kemudian dikenal dengan sebutan Banda Aceh. Sementara pada awal abad ke 17, Dalam itu terletak jauh sekali dari pemukiman yang sedikit demi sedikit meluas ke selatan dan akhirnya mengelilingi pemukiman tersebut.

Davis pada tahun 1599 menulis: “His court is from the Citie halfe a mile upon the River.” Satu setengah abad kemudian ditemukan petunjuk bahwa Dalam raja di pusat Kota Banda Aceh.

Menggambarkan bagaimana kondisi Dalam tersebut, bisa dirunut dari kesaksian Beaulieu yang memiliki izin memasuki Dalam Dar-ud Dunia.

“Kelilingnya lebih setengah mil (sekitar 2 kilometer), bentuknya hampir bulat bujur, dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya 25 sampai 30 kaki (10 meter) dan sama lebarnya, agak sukar dilalui karena terjal dan penuh semak. Tanah galiannya dibuang ke arah istana sehingga merupakan tembok; di atasnya ditanami bambu, buluh besar yang tumbuh setinggi pohon frene, dan tegak dan tebalnya sedemikian rupa hingga tak tembus pandang…; bambu itu selalu hijau dan tak bisa dimakan api.”

Beaulieu juga mengemukakan tidak adanya dinding pertahanan di sekeliling kota seperti layaknya di kerajaan-kerajaan Eropa. Bahkan dia tidak menemukan satu pun benteng di sekitar istana.

“Dari luar tak ada tembok atau pun kubu meskipun di sebelah masjid terdapat permulaan jalan-jalan besar; tetapi tidak ada yang rampung. Tak ada jembatan angkat pada pintu gerbangnya…”

Kondisi ini kemudian diperbaharui setelah kejayaan dan wibawa sultan Aceh mulai merosot, terutama setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani. Guna mempertahankan diri dari serangan mendadak, Dalam mulai dikelilingi dinding pertahanan.

Menurut kisah Marsden : “Istana raja…sebuah gedung dengan arsitektur yang kasar dan aneh, yang dimaksudkan untuk bertahan terhadap serangan-serangan musuh dan karena itu dikelilingi tembok-tembok yang kuat tetapi tidak teratur.”

Kembali menurut kesaksian Beaulieu, bagi siapa saja yang berani mengintip dari benteng atau menerobos maka akan dihukum mati. Hal ini pernah dialami oleh salah satu utusan Aceh yang ditugaskan ke Belanda pada tahun 1602. Utusan yang tak disebutkan namanya itu lupa akan kebiasaan negerinya dan mematahkan sebuah batang dari bambu itu.

“Raja seketika itu menyuruh menggoroknya,” ujar Beaulieu.

Masih menurut keterangan Beaulieu, tanah berbenteng itu bisa dimasuki dari sejumlah pintu. Namun ada perbedaan pendapat jumlah pintu yang ada di Darud Dunia tersebut. Menurut keterangan Beaulieu, Dalam Darud Dunia memiliki empat pintu. Sementara menurut Dong Xi Yang Kao, Dalam Darud Dunia memiliki enam buah pintu.

Pintu utara menurut peta yang ada pada masa Denys Lombard seharusnya menghadap ke kota. Di atasnya ada tembok kecil dari batu setinggi 10 sampai 12 kaki atau sekitar 3,50 meter untuk menyangga serambi dengan dua pucuk meriam perunggu pada kedua belah pintu yang diarahkan pada orang yang hendak masuk.

“Pintu-pintu itu tidak terbuat dari papan melainkan dari balok kayu yang disusun setinggi temboknya terbuat dari kayu yang cukup kuat dan ditutup dari dalam selain dengan gerendel juga dengan dua palang melintang yang besar, yang masuk ke dalam tembok dan ditutup dari dalam dengan kunci.”

Setiap pagi dan setiap malam, waktu pintu-pintu istana dibuka. Raja memerintahkan untuk membunyikan meriam. Itu merupakan hak istimewa. Saat Peter Mundy singgah di Aceh pada tahun 1637, dilihatnya salah satu meriam yang ditempatkan di pintu masuk itu adalah hadiah dari Raja James dahulu.

“A great brasse gunne lying by the court gate, sent by King James to the old King, the bore of itt was near 22 or 25 inches diameter,” tulis Peter Mundy.

Melalui pintu besar inilah orang asing masuk ke dalam istana apabila mereka diundang ke Dalam. Hal ini jarang sekali terjadi. Seperti yang pernah dialami Dampier yang mengatakan : “Sang ratu di sini mempunyai istana besar dari batu yang baik bangunannya; saya tidak bisa memasukinya.”

Saat orang asing pertama sekali datang ke Aceh akan diantar dengan gajah istana untuk dijamu ke Dalam. Namun pada saat kedatangan berikutnya mereka akan dilayani dengan cara sederhana, bisa dengan berjalan kaki menuju kota atau dengan perahu yang menyusuri sungai ke arah hulu.

Jika sudah dianggap kerabat Sultan Aceh, para pendatang bisa masuk sesuka hati ke Dalam dan tidak akan diinterogasi oleh para penjaga. Di bagian dalam, pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan diatur pada kedua tepi sebuah sungai kecil yang airnya turun dari pegunungan dan dingin serta jernih sekali. Nama sungai itu yaitu Krueng Daroy yang datang dari selatan, membelah Dalam menurut panjangnya dan bermuara ke Krueng Aceh.

Krueng Daroy pada awalnya tidak membelah Dalam. Namun mengalir ke arah barat. Pada masa Sultan Iskandar Muda, aliran sungai ini dibendung dan dialirkan ke hulu sungai yang melintasi Dalam. Pengalihan aliran sungai ini terjadi pada tahun 1613 sesuai keterangan Best.

Best mengatakan pekerjaan tersebut berjalan selama 20 hari sewaktu ia tinggal di Aceh. “His court at Achen is pleasant, having a goodly branch of the main river (anak sungai besar dari sungai utama) about and throught his pallace, which he cut and brought six or eight miles off in twenty days, which we continued at Achen,” ujar Blest.

Tanggul sungai dipasang dengan baik dan juga dibuat berundak-undak untuk memudahkan orang agar dapat turun sampai ke bawah untuk mandi.

Setelah pintu masuk dilewati maka akan dijumpai pelataran utama yang bisa menampung 4.000 prajurit dan 300 ekor gajah. Di sisinya terdapat gudang senjata, sebuah bangunan dari batu bata yang di atasnya terdapat teras. Teras ini berukuran 50 langkah atau sekitar 40 meter dan diletakkan beberapa meriam kecil.

Di sisi lainnya terdapat empat balai besar dan “semacam baluarti dari batu” dengan apilan dan banyak amunisi. Dari pelataran ini orang masuk pelataran kedua, lalu ke pelataran ketiga, setelah tiap kali melewati pos penjaga. Tetapi rincian Dalam ini sulit sekali digambarkan para penjelajah, terutama inti dari Dalam itu sendiri.

Para penjelajah hanya bisa memasuki ruang-ruang umum, di antaranya di ujung ruang pelataran ketiga. Dimana terdapat pintu yang berlapis bilah-bilah perak, ruang besar pertama tempat mereka harus menanggalkan sepatu. Setelah ruangan ini kemudian baru ditemukan sebuah balai luas yang jauh lebih tinggi dan setiap dindingnya dilapisi kain emas, beludru dan kain damas. Di sinilah mereka kerap bertemu dengan sultan dan dijamu dengan hidangan makanan mewah serta hiburan tarian.

Beaulieu mengatakan setelah balai penghadapan tersebut juga terdapat balai larangan kediaman putri-putri. Di sana diduga juga tempat menyimpan harta karun seperti yang diceritakan Beaulieu. Namun dia tidak dapat memberikan rincian lokasi yang tepat. Menurut Beaulieu, jika meneliti istana tersebut secara rinci akan memakan waktu hingga enam hari lamanya.

Dia mengatakan, di dalam ruangan tersebut terdapat baju sulam emas, senjata yang halus pengerjaannya, peniti dari emas, batu-batu permata yang nilainya tinggi, tiga intan yang bisa ditaksir mencapai 15 sampai 20 karat. Dua batu delima besar sekali dan sebuah zamrud yang diperoleh sultan saat menaklukkan Perak.

Saat ini, Dalam Darud Dunia telah berubah total menjadi Meuligoe Gubernur Aceh. Yunus Jamil dalam bukunya; Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, seperti dikutip Ali Hasjmy menukilkan pada saat Aceh dipimpin Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin tahun 23 Oktober 1675, kerajaan Aceh pernah diserang oleh kaum wujudiyah. Kaum wujudiyah ini sangat menentang wanita menjadi pimpinan tertinggi sebuah negara.

Ratu yang menggantikan Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin tersebut dihadapkan oleh tekanan-tekanan bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda dan Portugis yang hendak menguasai perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Di sisi lain, kekuasaannya turut di rong-rong oleh orang Aceh yang menganut paham Wujudiyah.

Kaum Wujudiyah yang diduga telah menyeleweng dari ajaran Islam tersebut terus meningkatkan serangannya kepada kepemerintahan ratu. Puncaknya, mereka turut membakar Kota Banda Aceh seperti yang dilukiskan oleh Ilyas Sutan Pamenan dalam bukunya: Rencong Aceh di Tangan Wanita.

"....amat sulitlah bagi Nurul Alam untuk memajukan perekonomian rakyat, sungguhpun dalam garis besarnya mencoba menurutkan (mengikuti) jejak Raja (Ratu) Putri Tajul Alam. Tambahan lagi bermacam-macam cobaan ditimpakan kepada ratu itu. Baru saja ia duduk ke atas tahta kerajaan, tiba-tiba terjadi kebakaran yang sangat dan maha mengejutkan."

"Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sultan beserta segala isinya, yang berarti tanda-tanda kebesaran raja habis musnah dimakan api, yang bersimaharajalela dan berkuasa di Banda Aceh beberapa hari lamanya. Segala tenaga dikerahkan untuk memadamkan api itu sia-sia belaka. Sungguh sial raja yang bercita-cita baik untuk rakyatnya."

"Kebakaran di Aceh yang mahadahsyat itu, juga turut menggemparkan Malaka yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677..."

Guna menekan pengaruh oposisi "Kaum Wujudiyah" dan kelompok oposisi lain, Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahannya. Antara lain menyempurnakan Qanun Al Asyi atau Adat Meukuta Alam.

Selain itu, peperangan antara Belanda dengan Kerajaan Aceh juga turut merusak bangunan Dalam Darud Dunia. Peperangan ini berlangsung hingga puluhan tahun. Belanda di bawah pimpinan Gubernur Van Swieten mendirikan kota baru di Banda Aceh. Upaya ini dilakukan untuk menghapus kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.

Van Swieten juga mengganti nama Banda Aceh pada 16 Maret 1874 melalui proklamasinya yang berbunyi : "Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kuta Raja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit bertanggal 16 Maret 1874. Semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan di atas pusaranya ditegaskan Kuta Raja sebagai lambang dari kolonialisme."

Kebijakan Van Swieten menuai kontroversi di kalangan tentara Belanda yang pernah bertugas. Mereka menganggap Van Swieten mencari muka pada Kerajaan Belanda karena berhasil menaklukkan pusat kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka juga meragukan Van Swieten berhasil merebut Aceh pada saat itu yang kemudian dibuktikan dengan adanya perang gerilya oleh pasukan kerajaan Aceh dan ulama setempat.

Setelah Indonesia merdeka dan Aceh berada di dalam wilayahnya, nama Banda Aceh dipulihkan. Kuta Raja yang dilakapkan oleh Van Swieten diubah dengan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Sejak itu, ibukota Aceh kembali disebut dengan nama Banda Aceh.[]

No comments: