Dualisme Kepahlawanan Teuku Umar dan Manipulasi Sejarah Aceh

1384421926798930093
Teuku Umar (Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/00/Teuku_Umar.png)
NAMANYA begitu tenar di Aceh. Hampir pada setiap acara perhelatan yang berkaitan dengan sejarah Aceh, nama orang yang satu ini nyaris tidak pernah ketinggalan. Teukoe Oemar Djohan Pahlawan. Kira-kira begitulah gelar yang diberikan oleh kolonial Belanda kepadanya. Hingga kini, ia pun masih tetap menjadi salah satu ”Pahlawan” Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. Gelar Teuku yang ada di depan nama Umar, menunjukkan bahwa ia memiliki ”pertalian” dengan Uleebalang (orang yang diangkat oleh Sultan Aceh dan Ulama/Mufti untuk menjadi pemimpin di daerah sebagai kepanjangan tangan Sultan berdasarkan Sarakata Cap Sikureung). Penulis mencoba menelusuri jasa-jasa apa saja yang pernah dilakukan oleh Umar. Sebab, disamping kelihaian Umar dalam mengelabui Belanda hingga keberhasilannya merampas sebagian senjata penjajah tersebut, tidak sedikit jumlah kerusakan dan korban jiwa di pihak rakyat Aceh yang diakibatkan oleh Umar beserta pasukannya saat dia menjadi ”pahlawan” musuh. Ini semua terjadi ketika Umar bekerjasama dengan kolonial Belanda.
Menarik untuk kembali melihat sepak terjang Umar semasa hidupnya, hingga ia dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia dari Bumoe Aceh. Apakah semua kisah ”heroik” Umar berdasarkan fakta atau hasil manipulasi sejarah Aceh?
BERDARAH MINANG
Teuku Umar Bin Teuku Ahmad Mahmud, lahir di Meulaboh (Aceh Barat) pada tahun 1854. Sejak kecil, Umar dikenal sebagai anak yang cerdas dan pemberani. Meski demikian, ia juga memiliki watak yang keras dan sesekali suka terlibat perkelahian dengan teman-teman sebayanya. Dibidang pendidikan, Umar tidak pernah mengecap pendidikan formal. Namun, Umar memiliki kefasihan dan gemar membaca koran dalam bahasa Belanda dan Inggris (Aceh: Dari Iskandar Muda Ke Helsinki, 2008, 127).
Bila melihat dari silsilah, Umar memiliki hubungan darah dengan etnis Minangkabau di Sumatera Barat. Leluhur Umar adalah Datuk Makhudum Sati yang berasal dari Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi (sagoe) yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Dari Teuku Nan Ranceh inilah lahir dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud.
Di Aceh memang berlaku sistem keterbukaan yang memungkinkan orang asing (non-Aceh) berpeluang menjadi pemimpin. Seperti yang pernah terjadi dimasa suksesi kepemimpinan Iskandar Thani menggantikan Sultan Iskandar Muda yang telah mangkat. Iskandar Thani bukanlah orang asli Aceh dan juga tidak dilahirkan di wilayah ini.
Keterbukaan, menjadikan Aceh sebagai wilayah kosmopolit yang memiliki hubungan dengan berbagai bangsa di dunia kala itu. Keberagaman yang dimiliki Aceh terlihat jelas pada wajah-wajah masyarakatnya. Ada yang mirip Arab, India, China bahkan Eropa. Tak heran, bila nama Aceh bisa diplesetkan sebagai singkatan dari Arab China Eropa Hindia (ACEH).
PERANG ACEH TAHUN 1873
Tatkala perang Aceh meletus pada 26 Maret 1873, Umar berusia 19 tahun. Di usia semuda itu, Umar sudah diangkat menjadi Keuchik (Kepala Desa) di Gampong wilayah Daya Meulaboh.
Pada umur 20 tahun, Umar menikah dengan Cut Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Ini dilakukan untuk meningkatkan derajat dirinya (secara hirarkis feodalistis), Umar kemudian menikah lagi dengan Cut Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Andil Umar dalam Perang Aceh tidak seperti apa yang banyak ”disanjung-sanjung” oleh kalangan tertentu di Aceh. Sebab, Gubernur Kolonial Belanda di Aceh kala itu, Laging Tobias, pernah menugaskan Umar untuk misi khusus membebaskan awak kapal Nisero yang disandera oleh Teuku Imam di Teunom (Aceh Jaya). Belanda berupaya keras agar seluruh awak kapal Nisero berhasil dibebaskan sebelum Inggris mengambil tindakan. Bila hal ini terjadi, maka hubungan Inggris-Belanda dikhawatirkan akan merenggang. Karena Inggris kemungkinan akan menganggap Belanda tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan awak kapal Nisero yang berkebangsaan Inggris. Ini bisa menjadi sangat fatal akibatnya bagi Belanda. Apalagi, penyanderaan ini telah menjadi berita yang menggemparkan di tingkat internasional.
Umar adalah orang yang dipilih oleh Laging Tobias untuk misi pembebasan sandera. Belanda melihat Umar memiliki pengaruh besar di kalangan orang Aceh. sebagai oportunis brilian, Umar bersama pasukan partisan lengkap dengan senjata berat, membawa uang tebusan untuk membebaskan awak kapal Nisero, Umar berlayar dengan kapal perang Belanda pada 3 Juli 1883. (lihat Aceh: Dari Iskandar Muda Ke Helsinki, 2008, 114).
Menurut Antony Reid dalam bukunya, Umar dikategorikan sebagai ”oportunis brilian yang memilih saat-saat seperti ini untuk berpihak kepada Belanda.” Reid mendiskripsikan perilaku Umar tersebut pada peristiwa S.S Nisero. Lebih jauh, Reid juga memberi catatan “Teuku Umar adalah sebuah contoh klasik dari seorang petualang berbakat yang melihat perang sebagai sebuah peluang besar” (Reid, 2005 : catatan kaki bab 7 no.65).
Sebelumnya, Umar pernah bermain ”kucing-kucingan” dengan Belanda. Tapi siapa sangka, pada akhirnya, Teuku Umar beserta pasukannya ”berdamai” dengan Belanda tahun 1883 (Rusdi Sufi, 1994 : 88) dan menyerah secara resmi pada Maret 1884 (Reid, 2005 : 256). Hal ini menimbulkan kemarahan besar dari pihak pejuang Aceh.
Penyerahan tersebut sangat menyakinkan karena Teuku Umar akhirnya ikut aktif bertempur untuk Belanda. Dan, sebagai bukti kesetiaannya kepada Belanda, Umar telah membumihanguskan 116 Mukim kala itu. Tragis!
Sejak peristiwa pasukan komando S.S Nisero, Umar menerapkan strategi ”dua muka” untuk meraih keuntungan pribadi. Ini masuk akal karena Umar mempunyai naluri bisnis yang kuat, ”di beberapa daerah ia (Umar) mempersatukan ekspor lada yang menguntungkan itu dalam satu tangan, yakni tangannya sendiri; di daerah lain ia memungut hasil sebesar $0,25 per pikul, di atas kertas, atas nama Sultan. Kekayaan ini dengan murah hati ia bagi-bagikan kepada para pengikutnya, dan juga kepada istana dan kaum ulama di Keumala” (Reid, 2005 : 282). Reid juga menjelaskan bahwa kapal Hok Kanton membuang sauh di Rigas pada 14 Juni 1886, ”untuk berdagang seperti biasa dengan Umar.”
Dari penjelasan Reid setidaknya kita tahu bahwa Umar terbiasa berdagang di pantai Barat Aceh. Padahal Belanda menerapkan blokade yang cukup ketat atas perdagangan. Hanya orang-orang yang pro Belanda – atau setidaknya yang bermain mata – yang bisa berdagang bebas seperti itu. Itulah kecerdikan Umar.
Pada tahun 1891, Aceh berduka karena Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia (diracun oleh seorang janda suruhan Belanda yang bekerja sebagai juru masak pasukan gerilya). Serangan gerilya oleh pasukan Aceh berkurang.
Aceh mengalami krisis kepemimpinan. Habib Samalanga yang memperoleh wewenang dari Sultan gagal menggalang kekuatan. Begitu juga usaha Mat Amin, putra Teungku Chik Ditiro. Semua dikalahkan oleh raja-raja kecil setempat hingga timbul perpecahan,” (Kawilarang, 2008 : 119).
Siapakah raja-raja kecil itu? Tidak lain adalah Uleebalang yang bersedia melakukan kompromi dengan Belanda melalui Kornte Verklaring (pernyataan menyerah) yang telah mereka sepakati.
Dalam situasi seperti ini, Umar pada akhirnya kembali menyerah pada Belanda pada 30 September 1893 beserta 13 orang panglima bawahan dan 250 pasukannya. Buku sejarah kita menyebutkan bahwa penyerahan ini hanya “pura-pura” untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda (bertentangan dengan realita).
Setelah melakukan tugas-tugas penumpasan perlawanan Aceh dan melakukan sumpah setia pada tanggal 1 Januari 1894, Umar memperoleh gelar Teukoe Djohan Pahlawan, dengan jabatan Panglima Besar Belanda. Rumahnya di Lampisang juga diperindah oleh Belanda. Sejak itu, pakaian yang dikenakan adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang emas didadanya (www.acehprov.go.id/T.umar mengutip Hazil, 1955:97).
Paul van T. Veer dalam buku Perang Aceh penerbit Grafitti Press, menceritakan bahwa Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam bahasa Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang Baron Eropa. Lebih jauh Paul van T.Veer juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.
Hal ini membuktikan bahwa Umar punya ambisi politik. Melihat situasi saat itu, hanya Belanda yang mampu mewujudkan ambisi tersebut. Hal ini penting untuk diketahui, untuk menelaah lebih lanjut motif Umar sebenarnya.
Benarkah Umar hanya ”pura-pura” menyerah? Atau sebenarnya itu adalah cerminan jiwa oportunis? Atau ingin menjadi Sultan Aceh dengan bantuan Belanda? Tidak ada kepastian, yang jelas, sumber sejarah resmi kita dari SD sampai perguruan tinggi berisi tentang Umar yang hanya ”pura-pura” menyerah untuk memperoleh senjata dan mempelajari siasat Belanda.
Tetapi segera timbul pertanyaan? Apakah Belanda sebodoh itu sehingga bisa ditipu Umar berkali-kali?
Setelah memperoleh jabatan Jenderal, Umar diberi senjata dan uang untuk membersihkan musuh-musuh Belanda di bagian wilayah XXV Mukim dan XXVI Mukim (Aceh Besar). Umar sukses, sebagian memang bukan karena kemampuan bertempur tetapi lebih karena kemampuan diplomasi.
Umar membentuk persekutuan dengan Teungku Chik Kutakarang (guru sekaligus pelindungnya), guru agama terkemuka XXV Mukim. Umar dan Kutakarang sangat menentang kelompok-kelompok gerilya pimpinan putra-putra Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman yang berusaha menegakkan hak sabil (Pajak perang) di XXV Mukim, yang merugikan Teungku Chik Kutakarang. Teungku inilah yang menyebarkan fatwa bahwa melawan Umar tidak dapat dianggap sebagai perang suci dan memperoleh mati syahid.
Dukungan fatwa inilah kiranya yang menyebabkan pasukan Aceh setengah hati melawan Teuku Umar, sehingga Umar berhasil menaklukkan sebelas benteng/pos pasukan Aceh yang digunakan untuk melawan Belanda (Reid, 2005 : 296-297). Melihat prestasi tersebut Deijkerhoff—Gubernur Sipil dan Militer Aceh periode 1892-1896—memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada Umar.
Hal tersebut memicu rasa iri dari tokoh Aceh yang terlebih dahulu menyerah, seperti Teuku Maharaja Panglima Muhammad Tibang (Panglima Tibang) dan Teuku Nek Meuraxa. Namun ada perkembangan situasi di lapangan, pada November 1895 Teungku Chik Kutakarang meninggal dunia, ini adalah pukulan berat bagi Teuku Umar, karena sejak itu para ulama di XXV Mukim mulai berani memprotes cara-cara Umar.
Baru setelah Teungku Chik Kuta Karang meninggal dunia, pasukan Aceh berani melawan Teuku Umar. Teungku Chik Husin Tanoh Abee, pengganti Teungku Chik Kuta Karang, mengeluarkan fatwa bahwa membunuh Teuku Umar sama artinya dengan membunuh seratus orang kafir Belanda. Semangat jihad berkobar lagi dan para pejuang menjadikan Teuku Umar sebagai target utama untuk dihabisi.
AKHIR RIWAYAT TEUKU UMAR
Pada suatu hari Umar mengajukan proposal untuk menaklukkan benteng Lam Krak (Aceh Besar), benteng yang dipertahankan oleh pejuang perempuan Aceh. Proposal disetujui, dan Teuku Umar beserta pasukannya mendapatkan perlengkapan berupa 880 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg peledak dan uang tunai 18.000 gulden.
Tetapi rupanya pihak Aceh telah menyebarkan perang urat syaraf berupa ramalan, bahwa Umar akan tewas saat penyerbuan ke benteng perempuan. Saya bisa memahami jika Umar terkejut bukan main, terkait dengan hubungan proposal dan ramalan itu.
Dari mana orang Aceh tahu tentang proposal Lam Krak itu? Umar yang seorang muslim dan kuyup tradisi Aceh tentu percaya akan ramalan tersebut, apalagi konon ramalan tersebut datang dari ulama besar.
Umar tentu berpikir keras dan menyimpulkan, amatlah celaka jika ia sebagai muslim mati saat membela Belanda (kafir).
Akhirnya, Teuku Umar membelot dari Belanda dan berbalik kepada pasukan Aceh pada tanggal 30 Maret 1896. Belanda meradang. Sejak itu prestasi tempur Teuku Umar sungguh mengagumkan. Anthony Reid sendiri mencatat bahwa sejak itu perlawanan Aceh berada dalam satu komando, yakni Teuku Umar. Dalam literatur sejarah, Belanda menamakan peristiwa ini sebagai ”Het verrad van Teukoe Oemar” (penghianatan Teuku Umar).
Sejak pembangkangannya tanggal 30 Maret 1896, Belanda memutuskan Teuku Umar tidak bisa dipercaya lagi. Pemimpin Teunom, Teuku Imam akhirnya memperoleh uang tebusan $10.000 dalam insiden S.S Nisero, dan sejak itu menjadi kaki tangan setia Belanda.
Pada 10 Februari 1899, Van Heutsz memberi perintah kepada satu detasemen untuk meyergap perkemahan Umar. Ternyata Umar sudah tahu, karena malam sebelumnya dia memutar di Meulaboh untuk menyerbu kota itu. Van Heutsz menyebarkan mata-mata untuk melacak keberadaan Umar. Hasilnya, seorang informan, yakni Leubeh membocorkan posisi Umar (Kawilarang: 2008, 127)
Naluri Van Heutsz sangat tajam. Malam itu juga, dia memerintahkan satu regu pasukan yang terdiri dari 18 prajurit Marechausse turunan Jawa dan dua sersan Eropa yang dipimpin oleh Letnan Verburgh berjalan sejauh rentang waktu 20 menit dari Meulaboh untuk memasang jebakan. Verburgh menempatkan pasukan detasemen kecil di pantai (Suak Ujong Kalak). Beberapa jam kemudian, Verburgh melihat dalam kegelapan muncul kerumunan orang. Tembakan serentak dilepaskan, yang menimbulkan kepanikan. Lalu, Verburgh menarik mundur pasukan untuk mencegah kekuatan yang jauh lebih besar. Esok paginya, 11 Februari 1899, Belanda menyaksikan jenazah bergelimpangan di pantai. Sedangkan jenazah Teuku Umar dibawa kabur oleh anak buah untuk disemayamkan di hutan.
Itulah sekilas kisah sepak terjang Teuku Umar. Perjalanan hidupnya yang agak ”plin-plan” dalam mengambil sikap terhadap kolonial Belanda, menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa tipe orang-orang oportunis seperti Umar, kerap mencari kesempatan untuk meraih untung disaat situasi sedang gawat darurat, seperti Perang Aceh.
Namun, apapun motif dan ambisi Umar dibalik ”pergi dan kembali” pada pasukan Aceh, kita tetap tidak bisa melupakan peran positifnya dan harus kita hargai. Disaat tokoh lain dari berbagai wilayah di nusantara (Indonesia) selalu dikibuli oleh Belanda, Umarlah satu-satunya yang mampu menipu Belanda, bukan sekali, tetapi beberapa kali. Disinilah letak kehebatannya.
Akhirnya, andalah yang berhak menentukan pilihan. Apakah Teuku Umar layak untuk disebut sebagai Pahlawan atau justru sebaliknya? Kenyataannya, apa yang kita lihat hari ini adalah Teuku Umar merupakan salah satu Pahlawan Republik Indonesia.
Ruslan

No comments: