60 Sahabat Nabi : Abdullah Bin Umar (Bagian 1)

Sewaktu telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia ber­bicara: Saya telah bai’at kepada Rasulullah saw Maka sampai saat ini, saya tak pernah belot atau mungkir janji . . . . Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah …. Tidak pula membangunkan orang Mu’min dari tidur­nya…. Dalam kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, me­lebihi usia 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan beroleh tempat dalam deretan para pe­juang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….
semenjak saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubung­an anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasul­ullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin ….
Dan semenjak hari itu, sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, akan kita dapati ia se­bagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat dan mendekat­kan diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya walau agak seujung rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya ….
Keistimewaan-keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit. Ilmunya, keren­dahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, keder­mawanan keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasul­ullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam me­nempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar ….
Dipelajarinya dari bapaknya — Umar bin Khatthab — ber­bagai macam kebaikan; dan bersama bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat mena’jubkan ….
Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan oleh Rasul­ullah mengenai sesuatu urusan, maka ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdu’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdu’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah pernah berdu’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdu’a di sana sambil duduk pula. Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah itu dan tempat itu.
Bahkan ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekah sebelum Rasul­ullah turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksi­kannya … !
Kesetiaannya yang amat sangat dalam mengikuti jejak lang­kah Rasulullah ini, telah mengundang pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan:
“Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat pem­berhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar …
Sungguh, usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdu’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak me­ngetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.
Dan karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.
Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shah abat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”
Demikian pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . . Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah  ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu . . .”
Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa ….
Juga ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakim­an, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… !
Pada suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga, tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak menta’ati perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:
“Sama sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam:
Pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada anda agar dibebaskan dari jabatan itu . .
Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman menyadari se­penuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.
Mungkin pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan ter­sebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.
Maka dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadah­nya kepada Allah.

PE

No comments: