Kisah Heraklius Menolak Pakta Perdamaian yang Diajukan Panglima Perangnya

Kisah Heraklius Menolak Pakta Perdamaian yang Diajukan Panglima Perangnya
Kaisar Romawi Heraklius menolak perjanjian damai yang ditandatangani anak buahnya sendiri. Ilustrasi: Ist
Kisah Kaisar Romawi Heraklius menolak perjanjian perdamaian dengan Amr bin Ash yang diajukan panglima perangnya sendiri, Muqauqis, diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukung berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi Umar bin Khattab "Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).

Dikisahkan, lantaran merasa kalah dalam pertempuran dengan pasukan muslim di Benteng Babilon, Mesir , Muqauqis mengajak berunding Amr bin Ash.

Muqauqis setuju dengan ketentuan bahwa semua orang Kopti di Mesir, yang di hulu dan hilir, yang bangsawan dan yang jelata yang sudah dewasa, dikenakan dua dinar untuk setiap orang - kecuali mereka yang berusia lanjut, anak-anak dan perempuan.

Bagi kaum Muslimin, di tempat mereka berada harus disediakan tempat. Barangsiapa mendapat tamu seorang Muslim atau lebih menjadi kewajiban mereka menerimanya tinggal selama tiga hari.

Mereka boleh tetap mempertahankan tanah mereka, harta, gereja-gereja dan salib-salib mereka, begitu juga daratan dan lautan di daerah-daerah mereka. Mereka tak boleh diserang dan dalam perdagangan tak boleh dilarang mengirim barang-barang ke luar dan menerima dari luar.

Persetujuan itu bisa mulai berlaku dengan jika sudah disetujui Maharaja Heraklius. Muqauqis sendiri yang akan membawa kepada Heraklius.

Kedua pihak setuju bahwa angkatan bersenjata mereka akan tetap tinggal di tempat mereka berada sampai ada jawaban dari Kaisar, begitu juga sampai pada waktu itu benteng tersebut tetap di tangan pihak Romawi.

Muqauqis pergi ke Iskandariah dengan kapal melalui sungai, dan dari sana laporan terinci mengenai segala peristiwa itu dikirimkan ke Konstantinopel dilampiri catatan tambahan dengan permohonan kepada Heraklius pada penutupnya, pengukuhan persetujuan itu, supaya Mesir selamat dari bencana perang dan segala akibatnya.

Heraclius kebingungan saat membaca catatan dan dokumen-dokumen itu. Ia tidak tahu persetujuan itu khusus hanya untuk benteng Babilon saja, atau membiarkan Mesir seluruhnya untuk pihak Arab?

Sesudah menerima jizyah pasukan Arab itu akan tetap di Mesir atau akan pergi. Untuk itu ia memanggil Muqauqis untuk dimintai penjelasan.

Ketika kemudian Muqauqis menemuinya, ia berusaha hendak memperkecil persoalan dengan menyebutkan bahwa pihak Arab nanti akan diusahakan keluar dari Mesir. Sesudah Maharaja itu dalam kebingungan dengan pertanyaan itu, lebih baik ia berkata terus terang menghadapi kenyataan itu:

"Kalau Anda lihat orang-orang Arab itu serta keberaniannya dalam bertempur, Anda akan tahu bahwa mereka adalah orang­-orang yang tak akan dapat dikalahkan. Buat kita tak ada jalan yang lebih baik daripada berdamai dengan Amr sebelum ia mendobrak benteng Babilon dengan kekerasan dan negeri ini jatuh ke tangan mereka."

Menolak Isi Perjanjian

Heraklius bukan orang yang tidak tahu tentang kekuatan dan keberanian Arab. Selama beberapa tahun yang lalu ia sudah mengalaminya sendiri di Syam, yang tak akan membuat dia lupa dan tak mungkin melupakannya.

Akan tetapi sama sekali tidak terbayangkan bahwa kejadian itu akan terulang lagi terhadap pasukannya yang di Mesir, dan akan berlangsung secepat itu. Faktor-faktor ras dan geografi yang ada di Syam tidak terdapat di Lembah Nil itu.

Dia adalah orang yang paling tahu tentang benteng Babilon. Benteng itu begitu kukuh untuk dapat dikalahkan oleh pihak yang mengepungnya, di samping pimpinan yang baik pula untuk mempertahankannya.

Pasukan Romawi di Mesir terdiri atas 100.000 prajurit bertempur melawan 12.000 orang muslim. Bagaimana jumlah yang kecil yang berjalan di padang pasir ini dapat mengalahkan kekuatan yang begitu besar, yang bertahan di balik tembok-tembok yang begitu kuat dan benteng-benteng yang penuh dengan segala perlengkapan perang?

Dalam hal ini tentu ada suatu rahasia yang sampai menimbulkan bencana yang begitu parah menimpa jantung kerajaannya. Oleh karena itu timbul amarahnya dan menuduh Muqauqis bahwa dia telah mengkhianati kerajaan dan menyerahkan Mesir kepada Arab.

Ia telah memvonisnya sebagai penjahat dan pelaku kejahatan dan dilukiskan sebagai pengecut dan kafir. Dia diserahkan kepada penguasa kota yang kemudian dicemarkan namanya dan dihina. Setelah itu dikeluarkan dari negerinya sebagai orang buangan.

Haekal mengatakan sebenarnya Heraklius tidak berlebihan ketika timbul berbagai macam perasaan dalam hatinya dan timbul rasa curiga mengenai sebab-sebab kekalahan pasukannya.

Dengan kata-kata ini kita tidak bermaksud memvonis Muqauqis bahwa dia sengaja berkhianat kepada kerajaan, tetapi maksud kita bahwa ketika itu benteng itu mampu mengadakan perlawanan, garnisun dan pengawalnya tidak akan mengalami kekalahan jika komandannya mampu dan tidak melepaskan penghuni benteng untuk menghadapi pasukan Arab di medan terbuka, cukup dengan menghujani lawan dengan panah dan manjaniq.

Untuk itu, bukti yang paling jelas ialah peristiwa yang terjadi setelah Muqauqis diasingkan.

Heraklius menolak mengukuhkan perdamaian dengan Amr itu. Pihak Muslimin di Mesir mengetahui penolakan itu pada hari-hari terakhir bulan Desember tahun 640.

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: