‘Baitul Asyi’ di Ambang Peralihan?

BERITA kedatangan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia, Anggito Abimanyu menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla

Editor: bakri
‘Baitul Asyi’ di Ambang Peralihan?
SALAH satu bangunan pada tanah wakaf Aceh di Mekkah.

Oleh M. Adli Abdullah

BERITA kedatangan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia, Anggito Abimanyu menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, terus viral di media sosial. Alasannya, kedatangan Anggito Abimanyu yang ditemani Alwi Shihab sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), bertemu Jusuf Kalla untuk melaporkan rencana pengelolaan tanah wakaf di Mekkah, yang berlokasi sekitar 400 meter dari Masjidil Haram. Hal ini kemudian dikutip detik.com, “Temui JK, BPKH Lapor Rencana Pengelolaan Tanah Wakaf di Mekkah” (Detiknews, 9/3/2018).

Saat terus viral di media sosial, kebanyakan sangat tidak setuju dan mengutuk rencana peralihan tanah wakaf warisan dimasa kerajaan Aceh tersebut oleh BPKH-RI. Atas permintaan beberapa tokoh Aceh maka saya memberanikan diri menulis opini ini, agar pemerintah sadar dan mengurungkan niat jahat ini.

Sejarah Baitul Asyi
Baitul Asyi yang pengelolaannya sekarang di bawah pengawasan Kementerian Haji dan Wakaf, telah ada pada zaman Mekkah dan Madinah diperintah oleh Turki Utsmani. Setelah Perang Dunia I (1914-1918), yang menyebabkan Turki kalah dan negeri negeri Arab memerdekakan diri, maka pada 1920 Turki menyerahkan pengawasannya terhadap tanah wakaf di Mekkah termasuk di dalamnya tanah-tanah wakaf masa kerajaan Aceh kepada penguasa baru Arab yang dipimpin oleh Ibnu Suud.

Berdasarkan penelusuran saya, di Mekkah terdapat 21 persil tanah wakaf Aceh, yang lokasi awalnya sebagian besar telah terkena perluasan Masjidil Haram dan pembangunan fasilitas haji di Mina yang dimulai sejak 1935 M. Oleh pemerintah Saudi Arabia telah digantirugikan ke tempat lain, dan ini perlu ditelusuri oleh Pemerintah Aceh agar diketahui lokasi pergantiannya, karena walau bagaimanapun Saudi Arabia yang memberlakukan hukum Islam, sangat menjaga keberadaan tanah wakaf sebagai warisan peradaban Islam.

Seperti tanah wakaf Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang awalnya berada di Qasyasyiah yang sekarang telah menjadi Bab Al Fath Masjidil Haram, pada 1935 oleh Raja Suud bin Abdul Azis melakukan pengembangan Masjidil Haram, rumah wakaf Habib Bugak Asyi diganti rugi, kemudian oleh nazir wakafnya Syeikh Mahmud bin Syeikh Abdul Ghani, keturunan Syeikh Abdullah Baid Asyi (Tgk Syik di Ribee) membeli dua lokasi lain seluas 500 meter persegi dan 700 meter persegi di daerah Jiyad bir Balilla.

Manuskrip ikrar wakaf Habib Bugak Asyi dan manuskrip wakaf lainnya sampai sekarang masih tersimpan di kementrian Haji dan Wakaf Saudi Arabia. Dalam kisah Habib Bugak Asyi, beliau datang pada hakim Mahkmah Syar’iyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir 1224 H (1809 M). Di depan hakim, Habib Bugak Asyi menyatakan keinginannya mewakafkan sepetak tanah yang berdiri satu unit rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh (biladil Asyi) yang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan tempat tinggal orang asal Aceh (mukimin min biladil Asyi) yang menetap di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar Jawi (muslimin Asia Tenggara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari muslimin Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah, maka rumah wakaf diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram (lihat Anwar, Al Awqaf al Asyi, Makkah Mukarramah, 1981: 35; lihat juga M. Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2011 hlm 12). Di samping itu, di Mekkah juga terdapat 19 persil tanah wakaf Aceh, yang juga telah terkena penggusuran dan telah mendapat pergantian ke tempat lain, perlu terus ditelusuri dan diurus seperti wakaf Syech Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (Sertifikat No.324) di Qassasyiah; wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng); wakaf Muhammad Abid Asyi, wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi, wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina; wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina; wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina; rumah wakaf di kawasan Baladi di Jeddah; rumah wakaf di Taif; rumah wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah; rumah wakaf di kawasan Hayyi Al Raudhah, Mekkah; rumah wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.

Ada juga wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, di kawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya; rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah; Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk syik di Subung Samalanga) di Syamiah; Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah, dan; Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah (Anwar, Al Awqaf al Asyi, Makkah Mukarramah, 1981: 35, lihat juga M. Adli Abdullah, 2011: 12).

Tidak menyetujuinya
Berkenaan keinginan Pemerintah RI melalui BPKH ingin menguasai aset wakaf Aceh seluas 500 meter persegi dan 700 meter persegi di daerah Jiyad bir Balilla, yang berjarak sekitar 400 meter dari Masjidil Haram. Di kawasan ini, harga tanah mencapai Rp 6 miliar per meter persegi. Harga tanah di Mekkah termahal di dunia, seperti diberitakan media massa dengan bekerja sama dengan IDB (Islamic Development Bank) akan menginvestasikan 20% dari dana haji (www.republika.co.id).

Saya yakin, usaha dari BPKH akan gagal, karena nadhir Baitul Asyi tidak akan menyetujuinya karena bertentangan dengan ikrar wakaf. Apalagi hukum wakaf di Saudi sangat ketat mengikut syara’. Berbeda jauh dengan sistem hukum di Indonesia yang begitu mudah terjadi perubahan. Ditambah lagi tanah wakaf Baitul Asyi yang diincar Pemerintah RI ini bukanlah tanah kosong, tetapi di tempat tersebut telah berdiri hotel mewah Hotel Elaf Mashaer dan Hotel Ramada, hasil kerja sama investor Saudi dengan nazir wakaf Baitul Asyi. Hasilnya pun telah dinikmati oleh jamaah haji Aceh, sesuai dengan pesan ikrar wakaf asal dan tiap tahun jamaah haji Aceh memperoleh 1.200-1.400 rial.

Pada masa masa pemerintahan Soeharto di era 1980-an, Pemerintah RI pernah mengusahakan hal serupa, dengan menunjuk Prof Dr Ismail Suny yang berasal dari Aceh menjadi Duta Besar Indonesia di Saudi Arabia, untuk mengurus aset wakaf Baitul Asyi ini yang sekarang bernilai Rp 12 triliun, tapi tidak disetujui oleh Mahkamah. Bahkan kemudian, untuk mengawasi wakaf ini Mahkamah Syariah Saudi Arabia pada 1981 telah menunjuk Syekh Dr Abdul Lathif Balthu untuk menjaga dan mengawasi harta milik Allah ini dari tangan-tangan jahil yang ingin merebutnya. Sepertinya, ada indikasi bahwa pola ini akan berulang. Seharusnya untuk hal yang jelas manajemen dan pertanggungjawabannya, tidak perlu ada intervensi pihak manapun.

BPKH perlu belajar dari Tabung Haji dalam hal pengelolaan keuangan haji dengan merumuskan kebijakan dan rencana kerja yang strategis, dengan menempatkan dan menginvestasi dana haji ke hal-hal yang produktif, seperti yang dilakukan oleh Tabung Haji Malaysia. Bukan merebut aset wakaf Baitul Asyi yang sudah bagus dan jelas manajemen pengelolaannya. Nah!

* Dr. M. Adli Abdullah, SH, MCL., Dosen Hukum Adat dan Islam Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: bawarith@unsyiah.ac.id /Aceh Tribuns

No comments: