Pertempuran Nahawand Iran: Raja Kisra Mati di Pelarian, Persia Tak Pernah Melawan Lagi
Pertempuran Nahawand terjadi pada tahun 642 antara pasukan Arab Muslim melawan pasukan Kekaisaran Sasania. Pertempuran berakhir dengan kemenangan mutlak bagi pihak Muslim, dan akibatnya pihak Persia kehilangan kota-kota di sekitar wilayah tersebut, termasuk kota penting Sephahan, yang kini bernama Isfahan di Iran .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab" (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan setelah kota Nahawand dibebaskan warga Madinah merasa gembira sekali.
Akan tetapi yang sungguh gembira dengan kemenangan ini warga Kufah, sehingga oleh mereka diberi nama 'kemenangan dari segala kemenangan.'
Menurut Haekal, mereka bersikap demikian barangkali karena prajurit-prajurit di medan pertempuran itu intinya dari orang-orang Kufah, atau karena Kufah lebih dekat ke medan pertempuran daripada Madinah.
Warga Kufah lebih prihatin dan lebih cermat memperkirakan segala akibatnya daripada warga Madinah. Sesudah kemenangan itu pasti, kota itu dinamai demikian sebagai pertanda baik dan ungkapan rasa kepuasan dalam hati mereka alas kota mereka itu.
Akan tetapi apa pun penyebabnya, kata Haekal, kota Nahawand memang merupakan kemenangan dari segala kemenangan, karena sesudah itu pihak Persia tak pernah lagi berdaya. Bahkan pasukan Muslimin menyerangnya di pusat kota mereka sendiri serta menyingkirkan penguasa mereka dari semua kawasan itu.
Di samping itu pemusatan pasukan mereka memang tak berarti apa apa menghadapi membanjirnya pasukan Muslimin ke sana, bahkan berakhir sampai terusirnya Kisra dari Persia sebagai pelarian, mencari bantuan dari mereka yang bukan keluarganya dan menyelamatkan diri ke tempat yang bukan negerinya sendiri.
Akhirnya ia mati di tempat yang jauh, bukan di wilayah kerajaannya. Dia seolah-olah tak pernah ada dan bukan pula pihak yang berkuasa.
Akan tetapi kegembiraan Umar dengan terbebasnya Nahawand itu sudah melebihi warga Kufah. Ia sangat menghargai dan mengagumi ekspedisi ini, sehingga pemberian hagi para pejuang itu ditambah, setiap orang mendapat bonus seribu dirham di luar rampasan perang, sebagai penghormatan kepada mereka.
Betapa ia tak akan begitu gembira mengingat angkatan bersenjata Persia di Nahawand sudah mengumpulkan semua pahlawannya dari pelbagai penjuru negeri itu, pembesar-pembesar dan para pangeran Persia semua sudah mengikat janji akan mengusir semua pasukan Arab dari bumi mereka, biar mereka dalam keadaan terkulai kembali pulang ke Semenanjung! Tetapi sekarang pahlawan-pahlawan militer itu malah melarikan diri, para pembesar dan pangeran-pangeran bertualang mencari perlindungan akibat kekalahan mereka yang sangat memalukan itu. Tetapi sia-sia. Bahkan yang kini mereka saksikan di sana sini hanya pasukan Arab yang berkuasa, yang lebih berpengaruh.
Nama mereka dapat menggetarkan telinga dan jantung di seluruh wilayah Kisra, dari ujung utara ke ujung selatan, dari ujung barat sampai ke ujung timur.
Kita sudah melihat Hamazan dan penguasanya yang begitu cepat meminta damai karena ingin menyelamatkan diri tatkala melihat nasib Nahawand dan Firozan.
Ketika itu Abu Musa Asy'ari sebagai pemimpin pasukan Basrah yang terlibat pertempuran dengan Nahawand. Sesudah pergi meninggalkan kota itu ia singgah di Dinawar, tinggal lima hari di sana, dan baru terjadi pertempuran pada hari terakhir.
Pertempuran itu belum selesai mereka sudah cepat-cepat meminta damai, dan berakhir dengan persetujuan membayar kharaj dan jizyah.
Mereka meminta perlindungan untuk diri mereka, harta benda dan anak-anak mereka. Permintaan itu pun dikabulkan. Juga dengan pihak Sirawan Abu Musa mengadakan persetujuan seperti persetujuan dengan pihak Dinawar.
Juga persetujuan dengan wakil dari Saimarah untuk tidak mengadakan pertumpahan darah, melepaskan tawanan perang, memaafkan semua orang tanpa pilih bulu, membayar jizyah dan pajak tanah serta membuka semua distrik di Mihrajan Qazaf.
Huzaifah bin Yaman mengadakan persetujuan dengan Danbar orang Persia mengenai kota Mah, serta memberikan jaminan kepada penduduknya:
"Keamanan dan keselamatan atas diri mereka, harta benda dan tanah mereka; tidak mencampuri urusan suatu agama, tidak merintangi mereka menjalankan syariat agama masing-masing; mempunyai hak kekebalan selama mereka membayar jizyah setiap tahun kepada pihak Muslimin yang menjadi penanggung jawab mereka serta harta dan nyawa setiap orang dewasa sesuai dengan kemampuannya; menyantuni musafir dan memperbaiki jalan, memperhatikan pasukan Muslimin yang lalu di tempat mereka, memberikan tempat kepada mereka selama sehari semalam, menaati segala perjanjian dan bersikap ikhlas. Jika mereka mengecoh atau menyimpang, maka lepaslah segala pertanggungjawaban kami terhadap mereka."
Karena kekalahan di Nahawand itu pasukan Persia telah dihinggapi rasa takut yang demikian rupa. Keadaan mereka makin kacau balau dan moral mereka pun berangsur merosot, maka dalam menghadapi keadaan mereka demikian itu tak ada jalan lain Khalifah Umar harus segera mengambil langkah.
Ia mengerahkan kekuatannya di wilayah-wilayah itu sampai mereka tunduk semua kepada kekuasaannya dan tak ada lagi sisa-sisa yang akan mengadakan perlawanan, dan jangan pula ada pangeran-pangeran mereka yang akan berangan-angan seperti yang dulu pernah terjadi.
Oleh karena itu dia sendiri yang menyusun brigade-brigade untuk mereka yang diberi tugas menjelajahi seluruh kawasan Persia: pimpinan brigade Khurasan diserahkan kepada Ahnaf bin Qais, brigade Ardasyir dan Shapur kepada Mujasyi' bin Mas'ud as-Sulami, brigade Istakhr kepada Usman bin Abil-As as-Saqafi, brigade Darabgird kepada Sariah bin Zunaim al-Kinani, brigade Kirman kepada Suhail bin Adi, brigade Sijistan kepada Asim bin Amr dan brigade Mukran kepada Hakam bin Amr at-Taglabi - dengan perintah mereka harus bersiap-siap berangkat ke kota-kota dan kawasan-kawasan itu.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment