Kisah Penaklukan Azerbaijan di Era Khalifah Umar bin Khattab

 Kisah Penaklukan Azerbaijan di Era Khalifah Umar bin Khattab

Saya berhadapan dengan musuh yang keras dan terdiri dari berbagai suku bangsa, dan saya samasekali bukan orang Qabaj dan bukan orang Armenia. Ilustrasi: Ist
Azerbaijan adalah negara sekuler dan telah menjadi anggota dari Dewan Eropa sejak 2001. Mayoritas populasi adalah Syiah dan turunan Turki barat, dikenal sebagai Azerbaijani, atau singkatnya Azeri. Negara ini resminya demokrasi, tetapi dengan peraturan otoritas kuat. Azerbaijan juga merupakan negara anggota OKI.

Kerajaan pertama yang muncul di Republik Azerbaijan masa kini ialah Mannae pada abad ke-9 SM, berlangsung hingga 616 SM saat menjadi bagian Kekaisaran Media, yang kemudian menjadi bagian Kekaisaran Persia pada 549 M. Satrapi Atropatene dan Albania Kaukasia didirikan pada abad ke-4 SM dan termasuk kurang lebih wilayah negara kebangsaan Azerbaijan dan bagian selatan Dagestan masa kini.\Islam tersebar cepat di Azerbaijan menyusul futuhat pada abad ke-7–8.

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan oleh Ali Audah menjadi " Umar bin Khattab " (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000) mengisahkan sementara komandan pasukan muslim, Suwaid bin Muqarrin, pergi ke Jurjan dan Tabaristan membuat persetujuan dengan mereka, Nu'aim saudaranya, sedang mengatur urusan kota dengan dibantu oleh Zainabi yang diangkat sebagai wakil di Kota Ray.

Setelah keadaan kota tenteram, Utbah bin Farqad dan Bakir bin Abdullah yang berangkat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab untuk menundukkan Azerbaijan, diperkuat pula dengan Simak bin Kharasyah al-­Ansari dengan kekuatan pasukan yang telah menyerbu Ray.

Sementara Bakir maju dengan kekuatan pasukannya itu tiba-tiba ia dihadapkan kepada Isfandiar Farrukhzad yang kembali membawa pasukannya setelah mengalami kekalahan di Waj Ruz.

Keduanya terlibat dalam bentrok senjata yang seru, dan berakhir dengan kekalahan dan ditawannya Isfandiar. Bakir tidak membunuhnya tetapi ia ditahan di tempatnya.

Ketika itu Isfandiar berkata kepadanya: "Mana yang lebih Anda sukai, perang atau damai?"

Bakir menjawab: "Sudah tentu damai."

Jenderal Persia itu berkata lagi: "Kalau begitu tahanlah saya di tempat Anda. Pihak Azerbaijan itu kalau tidak saya ajak mereka berunding atau saya mendatangi mereka, mereka tidak akan tunduk kepada Anda. Malah mereka menyingkir ke gunung-gunung dan akan bertahan di sana sampai pada waktu tertentu."

Ternyata pertahanan Azerbaijan hancur berantakan ketika Utbah bin Farqad bergerak maju ke markas tempat Bahram saudara Isfandiar, dan dia juga dihancurkan dan terpaksa ia lari.

Ketika itulah Utbah berunding dengan Isfandiar dan ia memberikan surat jaminan keamanan bagi penduduk Azerbaijan dan sekelilingnya, termasuk daerah dataran, pegunungan sampai ke perbatasannya, termasuk masyarakat kelompok-kelompok agama dan para pemeluknya serta upacara-upacara keagamaannya - selama mereka membayar jizyah ala kadarnya.

Haekal mengatakan memang wajar sekali bila pasukan Muslimin terus mengejar mereka di bagian utara Persia supaya tak ada lagi perlawanan.

Di Laut Kaspia yang di sisi Azerbaijan terdapat sebuah bandar yang disebut Bab atau Bab al-Abwab yang sudah diperkuat dengan benteng, di pintu masuk dipasang rantai-rantai yang tak mungkin ada kapal dapat keluar atau masuk tanpa izin.

Kepala Bab itu bernama Syaharbaraz. Setelah mengetahui kedatangan pasukan Muslimin, ia menulis surat kepada komandannya, Abdur-Rahman bin Rabi'ah meminta perlindungan, kemudian setelah menemuinya ia berkata:

"Saya berhadapan dengan musuh yang keras dan terdiri dari berbagai suku bangsa, dan saya samasekali bukan orang Qabaj dan bukan orang Armenia. Kalian sudah mengalahkan negeri saya dan golongan saya, tetapi saya dari kalian dan akan membantu kalian, dan jizyah saya di tangan kalian; kemenangan ada pada kalian dan kalian dapat tinggal sekehendak kalian. Janganlah kami direndahkan dengan membayar jizyah yang berarti kalian merendahkan saya di mata musuh kalian."

Abdur-Rahman mengirim orang ini kepada Suraqah bin Amr. Ketika itu ia adalah panglima pasukan. Tetapi sesudah Syaharbaraz mengulangi kata-katanya itu Abdur-Rahman dapat menerima dan membebaskannya dari tugas dengan pasukan Muslimin dalam memerangi musuh. Tetapi orang yang tinggal dan tidak ikut bertempur akan mendapat sanksi.

Ini sudah dijadikan ketentuan buat orang yang memerangi kaum musyrik. Suraqah sudah membuat laporan kepada Umar bin Khattab mengenai hal ini dan ia mengizinkan dan menerimanya dengan baik.

Selesai dengan Bab itu Suraqah dan kekuatan bersenjatanya menuju ke pegunungan di sekitarnya. Penduduk daerah ini setuju membayar jizyah tanpa perang; kecuali daerah Mukan yang masih bertahan dari Bakir. Tetapi sesudah penduduknya didobrak, kembali mereka mau membayar jizyah.

Dalam pada itu Suraqah sudah meninggal dan digantikan oleh Abdur-Rahman bin Rabi'ah. Kemudian Abdur-Rahman berangkat hendak menyerbu Turki. Tetapi Syaharbaraz berkata: "Kita ingin mereka akan mengundang kita, selain Bab."

Abdur-Rahman menjawab: "Tetapi kami tidak menginginkan itu dari mereka sebelum kami datang ke tempat mereka sendiri. Kami mempunyai sahabat-sahabat, kalau pemimpin kami mengizinkan kami pasti kami mampu mencapai Rumawi!"

Ketika pemimpin Persia itu menanyakan, siapa sahabat-sahabat itu, dijawab: "Sahabat-sahabat yang bersama-sama dengan Rasulursia yang lain, yang terletak di balik Irak-Persia, ke timur dan ke selatan itu tidak memberikan bala bantuan kepada utara."

Adakah ini merupakan pengkhianatan terhadap pihak utara dan mau melepaskan diri dari sana, ataukah mereka sedang sibuk sendiri sehingga tak sempat memikirkan yang lain? Boleh saja kita mencari alasan untuk daerah-daerah yang berdiam diri itu.

Haekal mengisahkan pasukan Muslimin dengan kemenangan-kemenangannya di berbagai kawasan dalam kerajaan mereka itu telah membuat mereka dalam ketakutan.

Rasa takut itu juga yang telah melumpuhkan pikiran mereka untuk memberikan bala bantuan kepada yang lain agar mengadakan perlawanan terhadap kekuatan yang selalu ditakdirkan tak ada kekuatan lain yang dapat menahannya.

Ditambah lagi karena semua kawasan itu sedang bersiap-siap akan menghadapi serangan pasukan Muslimin. Mereka takut karena sudah terbayang oleh mereka pihak musuh itu akan melanda negeri itu.

Di antara mereka ada yang dalam posisi sebagai orang yang takut membela diri dari bahaya, bahaya yang telah menghilangkan harapan mereka untuk dapat menolak. Tak ada orang yang akan meminta bantuan orang yang sedang dalam ketakutan untuk membantu orang lain sementara dia sendiri tak mampu membantu dirinya sendiri.

Bahkan antisipasi mereka terhadap serangan pihak Muslimin itu bukan sekadar prasangka yang dibesar-besarkan oleh khayal mereka endiri.

Keadaan ikut memperkuatnya, dan menjadi kenyataan yang dapat mereka lihat dengan mata kepala dan tak ada yang menguranginya selain waktu untuk menyergap mereka secara tiba-tiba dengan segala akibatnya.

Bagaimana mereka akan berpura-pura melupakan peristiwa-peristiwa itu padahal pihak Muslimin di Khuzistan dan Irak­Persia bertetangga dengan kawasan Persia di utara dan dengan Khurasan di sebelah barat.

Kalau saja mereka melangkah ke Persia dan ke Khurasan, maka terbukalah Kirman dan Mukran di depannya di selatan, dan yang di belakang Khurasan jauh sampai ke perbatasan Persia adalah lapangan untuk dapat mereka menyebar.

Sudah biasa buat Persia melihat musuh datang menyerbu dan membinasakan negeri mereka, seolah-olah itu sudah merupakan nasib yang harus menimpa mereka dan sudah tak dapat dielakkan lagi.

Bahkan penduduk Persia masih ingat ketika beberapa tahun yang lalu Ala' bin al-Hadrami dengan kapal menyeberangi teluk Persia, dengan segala pertempuran yang terjadi di antara mereka dengan pihak Ala', dan nasib baik di pihak mereka ketika itu.

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: