Konspirasi Yahudi Internasional: Dokumen Pokok-Pokok Pikiran Rothschild yang Berbahaya
Perancis mengalami kehancuran dan kerusuhan akibat Konspirasi Yahudi Internasional yang dikomando konglomerat Yahudi, Mayer Rothschild. Revolusi Perancis itu pecah pada tahun 1781. Ini adalah salah satu hasil dari pertemuan tokoh pemilik modal Yahudi ke Frankfurt pada tahun 1773.
William G. Carr dalam bukunya berjudul "Yahudi Menggenggam Dunia" (Pustaka Kautsar, 1993) membeberkan pikiran Mayer Rothschild secara umum. Dokumen ini, menurutnya, dibacakan Rothschild di hadapan beberapa tokoh Yahudi.
Berikut ini sebagian, atau 5 poin dari 25 poin, dari isi dokumen tersebut:
1. Rothschild menyatakan, suatu kenyataan yang riil adalah, bahwa manusia itu lebih banyak cenderung kepada kejahatan daripada kepada kebaikan. Konsekuensi logisnya, Konspirasi harus bisa mewujudkan cita-citanya, apabila sistem pemerintahan suatu negara berdasarkan pada kekerasan, teror dan petualangan serta pelanggaran hak asasi manusia.
Kalau suatu pemerintahan berdasarkan pada sistem musyawarah, hukum, peraturan, dan undang-undang, maka akan merupakan penghalang bagi cita-cita kekuatan Konspirasi dalam mewujudkannya.
Manusia pada zaman dulu tunduk kepada penguasa, tanpa adanya kritik atau membantah. Kemudian kekuasaan itu berkembang secara bertahap, sampai padatahap yang disebut undang-undang.
Dengan kata lain, undang-undang menurut Rothschild merupakan kekuatan pemuas belaka. Maka dengan demikian, untuk berfilsafat, bahwa undang-undang alam mengajarkan kebenaran adalah kekuatan, atau standar kebenaran hanya bisa diukur dengan kekuatan.
2. Rothschild mengemukakan, yang disebut kebebasan politik (political freedom) pada hakikatnya hanyalah idealisme atau angan-angan yang tidak akan pernah terwujud dalam alam nyata.
Setiap langkah kekuasaan politik, jalan yang terbaik adalah memperalat seseorang atau pergerakan, yang secara diam-diam setia kepada Konspirasi untuk mempropagandakan kebebasan politik di tengah-tengah masyarakat umum.
Kalau idealisme ini telah termakan oleh publik, mereka akan mudah melepaskan hak-hak dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah yang sah kepada mereka, demi memperjuangkan idealisme itu.
Pada saat itulah pihak Konspirasi bisa segera merebut hak dan fasilitas itu. Tidak ada pengaruh idealisme mengenai kebebasan politik itu bagi Konspirasi selain hal itu hanya merupakan idealisme tanpa kenyataan.
3. Rothschild menandaskan, kekuatan uang selalu bisa mengalahkan kekuatan pemerintah merdeka. Agama merupakan faktor yang bisa menguasai masyarakat pada masa tertentu. Kemudian ikatan agama pada masa-masa berikutnya mulai digulung di berbagai wilayah bumi ini, karena alasan kebebasan.
Akan tetapi, orang tidak mengerti bagaimana mereka harus berbuat dengan idealisme kebebasan itu. Yang demikian itu adalah fakta logis bagi kekuatan Konspirasi untuk memperalat idealisme kebebasan, agar menimbulkan perpecahan dalam suatu masyarakat.
Bagi kekuatan tidak penting, apakah yang menumbangkan sebuah pemerintah yang sah itu kekuatan dari dalam sendiri atau pun dari luar. Bagaimanapun proses penumbangan itu, yang dibutuhkan adalah uang.
4. Rothschild menambahkan, demi tujuan, segala cara boleh dilakukan. Kalau penguasa memerintah dengan undang-undang dan nilai moral, berarti ia bukanlah seorang politikus cerdik dalam bermanuver, karena ia merasa terikat oleh norma dan tidak akan bisa mengelabui rakyat, dan tidak bisa sembarangan menindak musuh-musuhnya, kecuali kalau mereka berbuat jahat.
Siapa pun yang berminat untuk berkuasa, ia harus bisa yakin meraih kekuasaan itu dengan tipu daya licik, pemerasan dan pemutarbalikan fakta. Sebab, keluhuran budi dalam etika pergaulan masyarakat, seperti jujur, teguh pendirian, komitmen terhadap nilai-nilai moral merupakan kejahatan atau keburukan dalam dunia politik.
5. Rothschild berfilsafat lebih lanjut, bahwa kebenaran baginya adalah kekuatan Konspirasi. Kata "kebenaran" baginya adalah ungkapan yang bersifat fiktif belaka, tanpa memiliki makna sedikit pun.
la telah menemukan arti kebenaran yang sebenarnya, yaitu bahwa kebenaran itu adalah menyerang dengan kekuatan senjata untuk merobek-robek konsep keadilan dan hukum hingga berkeping-keping.
Kemudian orang harus meletakkan lembaga hukum dan norma-norma susila menurut kehendaknya. Maka, orang akan segera menjadi penguasa atas segenap lapisan masyarakat, yang mereka sendiri akan memberikan hak kekuasaan kepada penguasa itu.
Hal semacam inilah yang perlu dilakukan di Perancis dengan slogan kebebasan palsu.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment