Natsir Menjawab Subhat Sesat Isu Palestina

 [Ilustrasi] Hubungan erat: M Natsir bersama Syeikh Muhammad Amin Al-Husaini (Mufti Palestina) dan Hassan Al-Hudaibi adalah Mursyid Am Ikhwanul Muslimin

Dulu ketika Netherland Indies Civil Administration (NICA),  menduduki wilayah Indonesia sebagaian warga mengungsi dan menyelamatkan diri, apa tepat jika dikatakan NICA berhak hidup dan dikasihani?

PADA tahun 1971, Buya Mohammad Natsir menerbitkan buku berjudul “Masalah Palestina”. Merupakan pengalam nyata beliau saat berkunjung ke Timur Tengah atas gagasan Rabithah Alam Islami.

Cerita itu disampaikan secara verbal sebanyak dua kali di Masjid Munawwawah, kemudian diterbitkan menjadi buku atas kerjasama Penerbit Hudaya dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Di dalam buku ini, ada banyak fakta menarik. Di antaranya syubhat-syubhat yang timbul dari cendikiawan atau cerdik pandai yang notabene juga beragama Islam.

Ada yang memposisikan Yahudi secara playing victim. Yahudi perlu dikasihani, mereka ini sejatinya korban.

Karena itu Yahudi berhak hidup. Kalau mereka menyerang bangsa Arab, itu dianggap sebagai mempertahankan diri, bukan genosida. Tokoh bangsa ini menganggap Israel sebagai korban yang dizalimi, bukan penjajah.

Ada juga cendekiawan yang cuek alias masa bodoh dan memposisikan diri bak orang bijak dengan mengatakan, “Ini soal Arab saja.” Artinya, itu konflik internal bangsa Arab.

Karenanya tidak perlu semua orang repot-repot membantu. Kalau bahasa orang sekarang,  “Jangan bawa-bawa agama dalam urusan Palestina!”

Bahkan sekarang ada yang menambahkan: “Udahlah fokus pada negeri kita saja. Banyak tuh masyarakat melarat yang perlu dibantu. “

Untuk menjawab ini, Buya Natsir membuat analogi cerdas. “Dulu ketika Netherland Indies Civil Administration (NICA),  menduduki wilayah Indonesia seperti Semarang dan Surabya, dan bangsa Indonesia berpencaran mengungsi, menyelamatkan diri, apa tepat jika dikatakan; “Wah tentara NICA itu berhak hidup. Kasihan dia, mentang-mentang orang Surabaya dan orang Semarang itu orang Islam, apa kita musti bantu dia itu, dia orang Nica itu berhak hidup!”

NICA adalah lembaga pemerintahan Sipil Hindia Belanda, sebuah organisasi semi-militer yang dibentuk 3 April 1944, bertujuan agar dapat menjadi penghubung pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan Komandan pasukan Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya atau SWPA (South West Pacific Area).

Kira-kita adakah yang akan memakai argumen sama dalam menyikapi masalah tersebut? Besar kemungkinan tidak, sebab sering kali mereka memiliki standar penilain ganda.

M Natsir mempertegas lagi dalam bukunya;

“Djadi supaja pandangan kita djangan dikaburkan oleh orang-orang jang pintar-pintar bagaimana pokok persoalannja, saja berikanlah satu tjontoh jang terang tadi itu. Bagaimana kalau tentara Nica dengan orang-orang Belanda jang dibawanja kedalam menjerbu ke Magelang atau Purwokerto, ke Malang umpamanja, memperluas daerah recombanja itu. Bagaimana itu? Apakah kita harus menganggap recomba itu berhak hidup di sana? Djagan kita ganggu-ganggu. Persis itulah kejadiannya.”

Maka kehadiran buku anggitan Natsir ini salah satunya bisa memberi pencerahan mengenai fakta sebernarnya terhadap orang-orang sinis –meski mengaku Islam– terhadap masalah Palestina.

Apalagi, Natsir tidak berangkat dari ruang hampa. Beliau benar-benar pergi ke Palestina, dan merasakan betapa menderitanya bangsa Palestina saat itu akibat kebiadaban ‘Israel’.

Makin ke sini, orang-orang yang sinis ke Palestina kian menjamur. Bahkan acap kali muncul dari kalangan cendikiawan dan intelektual muslim yang dengan statemen-statemennya bisa menyesatkan fakta sebenarnya. Syubhatnya kian liar dan parah.

Karenanya. dibuatlah isu-isu miring seputar kelompok pembebasan Palestina dan Masjid Al-Aqsha, termasuk Hamas, dibuat berbagai konspirasi tentangnya, dan hal-hal negatif yang melingkupinya.

Bagi umat Islam tentu tak boleh tinggal diam. Ini bukan sekadar masalah kemanusiaan yang direnggut.

Sebagai saudara sesama muslim, umat Islam memang sudah seharusnya peduli kepada mereka bangsa Palestina. Dikotomi masalah pada urusan-urusan parsial, justru mengaburkan fakta yang sebenarnya.*/ Mahmud Budi Setiawan

No comments: