Analisis Maurice Bucaille Perjanjian Lama Tradisi Rakyat yang Tak Punya Sandaran
Maurice Bucaille mengatakan sebelum tersusun menjadi kumpulan pasal-pasal, Perjanjian Lama merupakan tradisi rakyat yang tidak mempunyai sandaran, kecuali dalam ingatan manusia, satu-satunya faktor untuk tersiarnya idea, tradisi-tradisi tersebut selalu dinyanyikan.
Edmond Jacob sebagaimana dikutip Dr Maurice Bucaille dalam bukunya berjudul "La Bible Le Coran Et La Science" yang dilahihbahasakan Prof Dr HM Rasyidi menjadi "Bibel, Qur'an, dan Sains Modern" (Bulan Bintang, 1979) menulis:
"Dalam tahap permulaan, semua orang menyanyi; di Israil seperti di tempat lain, puisi lebih dahulu daripada prosa. Bani Israil menyanyi baik dan banyak. Nyanyian itu mempunyai bermacam-macam ekspresi, tergantung kepada kejadian-kejadian dalam sejarah dengan enthusiasme yang memuncak atau putus asa yang menenggelamkan."
Maurice Bucaille mengaakan mereka menyanyi dalam keadaan yang bermacam-macam, dan Edmond Jacob menyebutkan sebagian di mana nyanyian yang menyertainya terdapat dalam Perjanjian Lama: nyanyian makan pagi, nyanyian akhir panen, nyanyian yang menyertai pekerjaan, seperti nyanyian Sumur (Bilangan 21, 17). Nyanyian perkawinan, nyanyian kematian, nyanyian perang yang sangat banyak dalam Bibel seperti nyanyian Debarah (Hakim-hakim 5, 1-32) yaitu nyanyian yang memuja kemenangan Israil yang dikehendaki oleh Yahweh dalam suatu peperangan yang dipimpin oleh Yahweh sendiri (Bilangan 10, 35).
Ketika Peti Suci sudah pergi, Musa berkata-kata: "Bangunlah Yahweh, mudah-mudahan musuh-musuhmu terserak-serak. Mudah-mudahan mereka yang benci kepadamu akan lari tunggang langgang di hadapan wajahmu."
Nyanyian-nyanyian itu juga merupakan kata-kata mutiara serta perumpamaan kata-kata yang berisi berkat atau laknat, peraturan-peraturan yang dibikin untuk manusia oleh para Nabi sesudah mereka itu menerima perintah Ilahi.
Edmond Jacob mengatakan bahwa kata-kata tersebut diwariskan dengan jalan keluarga atau melalui rumah-rumah ibadat dalam bentuk sejarah Bangsa yang terpilih oleh Tuhan.
Sejarah ini kemudian menjadi dongeng seperti dongengan Jatam (Kitab Hakim-hakim 9, 7-21) di mana tertulis: "Pohon-pohon itu berjalan untuk mengusapkan minyak kasturi kepada raja mereka dan mereka berkata kepada pohon Zaitun, pohon Tien, pohon anggur dan pohon duri."
Hal tersebut mendorong Edmond Jacob untuk menulis "karena dijiwai oleh fungsi dongeng, maka penyajian hikayat seperti tersebut di atas tidak dirasakan janggal karena mengenai soal-soal dan periode-periode yang sejarahnya tak dikenal orang."
Edmond Jacob kemudian menyimpulkan: "Adalah sangat mungkin bahwa apa yang dikisahkan oleh Perjanjian Lama tentang Nabi Musa dan pemimpin-pemimpin agama Yahudi tidak sesuai dengan yang terjadi dalam sejarah, akan tetapi para tukang dongeng dalam masa riwayat secara lisan sudah dapat mengisikan keindahan dan imaginasi untuk merangkai episode yang bermacam-macam, sehingga mereka berhasil menyajikannya sebagai sejarah yang tampak besar kemungkinan kebenarannya bagi pikiran-pikiran yang kritis, yaitu sejarah yang mengenai asal alam dan manusia."
Perlu kita ingat bahwa setelah bangsa Yahudi tinggal di Kan'an, yakni kira-kira pada akhir abad XIII sebelum al Masih, tulisan sudah mulai dipakai untuk memelihara dan meriwayatkan dongeng-dongeng, akan tetapi tidak secara tepat, meskipun yang dikatakan itu mengenai hal-hal yang harus tepat sekali, yakni soal hukum.
Mengenai hukum ini, perlu diterangkan bahwa hukum sepuluh (Dekalog) yang dikatakan telah datang langsung dari tangan Tuhan telah diriwayatkan dalam Perjanjian Lama menurut dua versi yakni:
Kitab Keluaran (Exodus 20, 1-21) dan Kitab Ulangan (Deuteronomy 5, 1-30). Jiwanya sama, tetapi perbedaan tetap ada. Kemudian muncul keinginan untuk menetapkan dokumentasi-dokumentasi penting seperti kontrak, surat-surat, daftar orang-orang (hakim-hakim, pegawai-pegawai tinggi di kota-kota), daftar silsilah keturunan, daftar korban-korban dan daftar harta jarahan.
Dengan begitu, terjadilah arsip-arsip yang berisi dokumen-dokumen yang kemudian mengisi kitab-kitab (fasal-fasal) Perjanjian Lama yang sekarang ini. Dengan begitu dalam tiap-tiap fasal terdapat bentuk literer yang tercampur.
Para ahli kemudian menyelidiki sebab-sebab yang mendorong untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang berbeda-beda menjadi satu.
Adalah sangat menarik untuk membandingkan penyusunan Perjanjian Lama dengan dasar tradisi lisan, dengan apa yang terjadi di bidang lain dan pada zaman yang berlainan, yaitu masa timbulnya kesusasteraan primitif.
"Marilah kita mengambil contoh dari sastra Perancis pada zaman Kerajaan Perancis," ujar Maurice Bucaille. "Tradisi-tradisi lisan telah muncul lebih dahulu sebelum peristiwa sejarah yang besar dicatat dalam sejarah, yakni kejadian seperti perang untuk mempertahankan agama Kristen, drama tentang pahlawan-pahlawan yang kemudian diabadikan oleh pengarang-pengarang dan penulis-penulis sejarah."
Menurutnya, dengan cara begitu mulai abad XI M timbul nyanyian dan tarian di mana yang benar dan yang khayal menjadi satu dan menjadi satu epik (syair kepahlawanan).
Di antara epik itu yang termasyhur adalah syair Roland (Chanson de Roland), tentang pahlawan perang yang bernama Roland yang menjadi komandan penjaga Kaisar Charlemagne (Karl yang Agung) waktu kembali dari berperang di Spanyol.
Pengorbanan Roland bukannya satu dongengan yang dibikin-bikin untuk sekadar dongengan; pengorbanan Roland terjadi pada tanggal 5 Agustus tahun 778, yaitu pada waktu serangan orang Basque (Penduduk pegunungan Pyrenes).
Karya kesusasteraan tidak semata-mata bersifat legenda, tetapi mempunyai dasar sejarah; walaupun begitu ahli-ahli sejarah, tidak-memahaminya secara harafiah.
Persamaan antara lahirnya Bibel dan kesusasteraan yang bukan agama tampaknya memang riil. Maurice Bucaille mengatakan hal ini tidak berarti bahwa kita menolak keseluruhan teks Bibel yang dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai kumpulan buku-buku mitologi, yakni seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan.
Orang dapat percaya kepada kebenaran bahwa Tuhan menciptakan alam, bahwa Tuhan menyerahkan sepuluh perintah kepada Musa, bahwa Tuhan mencampuri urusan-urusan manusia, umpamanya pada ajaran Raja (Nabi) Sulaiman. Orang dapat percaya bahwa essensi dari kejadian-kejadian tersebut telah disampaikan kepada kita, akan tetapi kita harus ingat bahwa rincian penyajian soal tersebut harus diperiksa dengan teliti, dengan kritik yang ketat, karena sumbangan manusia dalam menjadikan tradisi lisan, menjadi buku tertulis adalah sangat besar.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment