Makkah: Jantung Agama Ulama Nusantara dan Pengobar Perang Kolonial

 

Syeikh Yasin Al-Fadani bersama para guru di Darul Ulum Makkah

Kota Makkah adalah jantung kehidupan agama ulama kepulauan Nusantara, bahkan menjadi pemompa semangat mukikimin Indonesia menggelorakan perlawanan pada panjajah Belanda

Rofiqul-Umam Ahmad

ADANYA kewajiban Muslim pergi haji bagi yang mampu makin mendorong penduduk Nusantara pergi ke Makkah. Dalam catatan sejarah, telah ada penduduk Nusantara yang pergi haji sekitar abad ke-15 yakni Menak Kemala Bumi, muballigh terkenal dari Sumatera Selatan (Siswono, 1991).

Pengamatan Verthema, seorang pengembara Italia, ketika is singgah di Makkah pada tahun 1504 mengamati banyaknya jumlah jamaaah haji dan greater India (Anak Benua India) dari lesser India (Kepulauan Nusantara). (Azyumardi Azra, 1994).

Bahkan bila dibanding jumlah jamaah haji dari negeri lain, jamaah haji Nusantara tergolong cukup menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20, jumlah mereka berkisar antara 10 clan 20 persen dari seluruh haji asing.

Pada dasawarsa 1920-an sekitar 40% dari seluruh jamaah haji berasal dari Nusantara. Dalam catatan pemerintah kolonial ada ketimpangan antara jumlah penduduk Nusantara yang pergi haji dengan mereka yang kembali. Antara tahun 1853 dan 1858, jamaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat naik haji. (Bruinessen, 1991).

Makkah bagi Masyarakat Nusantara

Selain faktor meninggal selama di perjalanan –baik karena penyakit, pembunuhan, atau tenggelam di samudra—umunya masyarakat Nusantara secara sadar tidak mau cepat-cepat kembali pulang.

Setelah menunaikan ibadah haji mereka berproses menjadi bagian masyarakat Nusantara yang tinggal di Tanah Suci (terutama Makkah) dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan nama “Koloni Jawa” atau “Jawa Mukim”.

Istilah Jawa dipakai untuk mengidentifikasi orang yang berasal dari Nusantara. Yang dianggap sebagai pusat wibawa “Koloni Jawa” adalah para ulama, guru dan pejuang yang telah hidup lama di lingkungan kota Makkah.

Jumlah mereka makin lama makin banyak. Menurut pengamatan Van der Plas (Bruinessen, 1991) yang pernah menjabat konsul Belanda di Jeddah, jumlah mereka sekurang-kurangnya 10.000 jiwa pada tahun 1931. Hal ini dapat dibandingkan dengan jumlah jamaah haji yang waktu itu berkisar sekitar 30.000 jiwa.

Ada tiga hal menonjol dalam perilaku penduduk Nusantara yang menjadi anggota “Koloni Jawa” itu. Pertama, kebutuhan untuk terus dapat beribadah di pusat kosmis Islam yang dijanjikan memperoleh pahala berlipat ganda dan tidak sama seperti di tempat-tempat lain.

Kedua, sebagai wujud keinginan penduduk Nusantara untuk melepaskan dari cengkeraman kekuasaan Belanda di Nusantara, yang dalam pandangannya adalah orang kafir. Ketiga, kebutuhan akan memperdalam penguasaan ilmu. Saat itu Makkah dengan pusatnya Masjidil Haram telah beratus-ratus tahun menjadi salah satu corong ilmu di Dunia Islam.

Makkah -dalam pandangan penduduk Nusantara- akhirnya berfung si dalam tiga aspek: (I) aspek ibadah; (2) aspek ilmu; clan (3) aspek politik Tidak mengherankan bila sebelum merdeka banyak sekali penduduk Hindia Belanda yang mencita-citakan anaknya dapat pergi ke Makkah dalam konteks tiga aspek tersebut, dengan biaya berapapun clan rintangan apapun.

Banyak tokoh Islam Indonesia yang pernah nyantri di Makkah dalam waktu lama, baik yang tercatat dalam sejarah maupun tidak. Sebut saja Syekh Yusu41 AI-Makassari (pejuang yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan), Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf AlSinkili, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU).

Kehidupan yang bebas di Makkah dan penjajahan di Indonesia menjadikan para haji merasakan nikmatnva sebagai orang bebas (merdeka). Hubungan dengan ribuan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia dalam jangka waktu cukup lama memberi wawasan, pengetahuan dan cakrawala baru.

Rasa senasib karena menjadi warga jajahan bangsa Eropa non-Muslim mengentalkan jiwa perlawanan mereka. Berbagai tindakan kaum penjajah serta gejolak perlawanan kaum Muslimin menjadi agenda pembicaraan harian.

Makin lama bara patriotisme dan anti-penjajahan di kalangan haji dan mukimin makin membesar dan mencari saluran.

Ulama Nusantara di Makkah

Fenomena ini menjadikan peran ulama yang berasal dari Nusantara mengajar di Makkah sangat besar dalam memperluas wawasan dan memperdalam ilmu para haji dan mukimin. Sebagaimana diketahui, sejak dahulu ulama Hindia Belanda telah menjadi bagian penting dalam kegiatan keilmuan di Tanah Suci, terutama di Makkah dan terpusat di Masjidil Haram.

Sementara di luar Masjidil Haram, banyak terdapat berbagai madrasah yang sebagiannya juga dikelola para ulama asal Hindia Belanda. Mereka punya nama harum di kalangan ulama domestik maupun ulama asing dan kaum mushrnin yang ada di Makkah.

Beberapa ulama asal Hindia Belanda yang tersohor saat itu antara lain Syekkh Nawani Al-Bantani, Syeikh Ahmad khatib, Syeikh Mahfuzh Termas, Syeikh Munsin Ail Musawwa, Syeikh Ali Baniar, Syeikh Syekh Yasin Padang.

Betapa pentingnya peran ulama Hindia Belanda di pentas keilmuan di Makkah memaksa orientalis Snouck Hurgronje menulis khusus mengenai “Ulama Jawa yang ada di Makkah pada Akhir Abad ke-19” (Ahmad Ibrahim dkk, 1989).

Dalam tulisannya yang didasarkan kepada pengamatannya langsung ke daerah itu ia mencatat beberapa nama ulama asal Hindia Belanda yang berkiprah di dunia keilmuan di Makkah. la menyebut: Mufti Jamal, Juneid, Khatib Sambas, Abduigani Bima, Ismail Menangkabo, Mujtaba, Muhammad dan Hasan Mustafa dari Garut dan beberapa nama lagi.

Mereka semua sebelum menjadi guru yang disegani oleh para muridnya yang datang dari berbagai bangsa tentu berproses lebih dahulu sebagai murid yang berguru kepada para ulama sebelumnya di lingkungan Masjidil Haram.

Sederatan ulama ini di antaranya banyak menulis kitab yang menjadi bahan mengajarnya di Makkah. Kitab-kitab karya mereka dalam perkembangannya menjadi bacaan wajib (textbook) di ribuan pesantren di Nusantara hingga kini.

Pada perkembangannya ulama ini membuat jaringan ulama Timur Tengah yang memiliki hubungan erat dengan masyarakat Muslim di Nusantara, dimana sebagiannya adalah murid-muridnya dan sebagian lain menjadi pengikut ajarannya yang makin lama makin berkembang ke berbagai daerah.

Hilir mudik antara Tanah Suci Nusantara yang dilakukan orang Islam yang ada di Tanah Suci maupun penduduk Nusantara ditambah pengiriman kitab-kitab dari Tanah Suci ke Nusantara makin memperbesar keeratan emosi, idologis dan agama mereka.

Jamaah haji dalam persiapan berangkat ke Makkah dari Konsulat Belanda di Jeddah (Sumber: Commons Wikimedia)

Jantung Keagamaan di Nusantara

Para haji dan mukimin (orang yang tinggal di Makkah dalam waktu lama dan hidup dalam komunitas “Koloni Jawa”) pada akhirnya berkembang menjadi orang yang ingin mengamalkan agamanya secara sungguh-sungguh, memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan cukup tinggi sekaligus menyimpan bara anti penjajahan.

Perjalanan haji – dalam pandangan Sartono Kartodirdjo (1984) – telah melahirkan satu benteng solidaritas yang ampuh di dunia Islam clan bahwa orang-orang yang telah menunaikan ibadah itu pulang ke negeri mereka membawa semangat kebesaran dan keagungan Islam. Sesungguhnya, arti yang sangat penting dari perjalanan haji itu harus dicari pada tingkat ideologis.

Pengamatan orientalis Snouck Hurgronje (Aqib Suminto, 1985) sampai pada kesimpulan bahwa di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk muslimin di Indonesia.

la mengkhawatirkan hal ini dapat merupakan gangguan bagi pemerintah kolonial Belanda karena Makkah menjadi jembatan antara kehidupan rohani di Tanah Suci dengan kehidupan beragama di Hindia Belanda.

Harry J Benda (Hamid Alqadri, 1988) memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa sikap permusuhan orang Islam Indonesia terhadap bangsa Belanda sejak kedatangannya ke Indonesia, memperoleh dorongan baru yang datang dari Timur Dekat (maksudnya Timur Tengah, pen.) dengan para haji menjadi pelopornya.

Karena itu kekhawatiran Snouck Hurgronje dan elit kolonial mengenai para haji dan ulama Nusantara yang ada di Makkah semakin hari semakin menjadi kenyataan. Keunggulan para haji – dalam aspek sosial, ekonomi, pendidikan – dibanding anggota masyarakat lainya menjadikan mereka memiliki kedudukan dan kekuatan politik di tengah masyarakat Nusantara dan menjadi pendorong, penggerak, pelaku dan pemimpin aneka macam perlawanan terhadap kaum penjajah.

Persaingan Kekuasaan

Berbagai kerusuhan silih berganti menggoncangkan kedudukan pemerintah kolonial Belanda. Dalam penelitian FGP Jaquet (1980) antara tahun 1816 – 1856 saja ada 35 pemberontakan atau ekspedisi-ekspedisi militer di Indonesia, kira-kira satu penstiwa kekerasan setiap tahun Kampanye-kampanye yang gigih dari: para haji untuk memperkuat sendi-sendi moral keagamaan dan memulihkan cita-cita Islam yang murni seringkali harus berbenturan dengan kebijakan dan situasi politik pemerintah kolonial yang bertentangan. Akibatnya kampanye-kampanye itu seringkali diikuti oleh pemberontakan-pemberontakan yang sesungguhnya terhadap penguasa-penguasa kafir (Sartono Kartodirdjo, 1984).

Sebagai contoh dua perang yang cukup terkenal yakni Perang Padri tahun 1804 dan Pemberontakan Petani di Banten 1888 melibatkan banyak para haji. Perang Padri berkecamuk setelah pulangnya tiga pemimpin setempat dan Tanah Suci.

Pemberontakan Petani di Banten yang mengakibatkan tewasnya 30 orang, 18 di antaranya haji dan dari 13 orang luka-luka terdapat 4 haji. Sedangkan Peristiwa Garut tahun 1919 yang berintikan pembangkangan 116 penduduk untuk menjual sejumlah tertentu hasil padinya kepada pemerintah juga menjadi contoh.

Pemimpin aksi itu H. Hasan akhirnya tewas bersama 3 lainnya.

Berbagai literatur sejarah perjuangan anti penjajahan di berbagai pelosok tanah air – dari yang tercatat sampai yang hanya menjadi cerita lisan – mencatat peran yang menentukan dari orang Islam yang pernah menunaikan haji ataupun pernah lama bermukim di Makkah.

Biasanya di tanah air mereka menjadi kiai atau guru yang memiliki sejumlah pengikut dan mempunyal kewibawaan yang menggerogoti dan menyaingi kekuasaan pemerintah jajahan. Pada satu titik yag tidak lagi dapat dihindari, bertemulah dua kekuasaan itu yang tiada berkesudahan dan berlanjut terus sampai kaum penjajah pergi dari Nusantara.

Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa peran ulama Nusantara yang hidup di Makkah, kaum mukimin yang menetap lama di “Koloni Jawa” maupun para haji yang sukses menggenggam aspek ibadah, ilmu dan politik selama perjalanan panjangnya ke Tanah Suci pada masa kolonial dahulu telah memberi sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan pikiran, mengobarkan perlawanan terhadap penjajah dan menaburkan benih-benih nasionalisme dalam masyarakat Indonesia.*

Alumni Program Pascasarjana (S-2) Universitas Indonesia Bidang Studi Ilmu Hukum. Artikel diambil dari Majalah Mimbar Ulama

No comments: