Kisah Sufi: Wasiat Harta Karun dari Petani kepada Anaknya yang Pemalas

Kisah Sufi: Wasiat Harta Karun dari Petani kepada Anaknya yang Pemalas
Kisah ini berasal dari Hasan dari Basri. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah sufi berikut ini dinukil dari buku berjudul "Tales of The Dervishes, The Octagon" karya Idries Shah yang diterjemahkan Ahmad Bahar menjadi "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi".

Kisah ini diterbitkan oleh seorang Fransiskan, Roger Bacon yang suka mengutip filsafat Sufi dan mengajar di Oxford, dan oleh karena itu ia kemudian dipecat atas perintah Paus dan Boerhaave, ahli kimia abad ketujuh belas.

Versi ini berasal dari Hasan dari Basra, Sufi yang hidup hampir seribu dua ratus tahun yang lalu.

Berikut kisahnya:

Pada zaman dahulu, ada seorang petani yang suka bekerja keras dan murah hati, yang memiliki beberapa anak laki-laki yang malas dan serakah. Menjelang ajalnya, petani itu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mereka mau menggali di suatu ladang tertentu.

Segera setelah orang tua itu meninggal, anak-anaknya bergegas ke ladang tersebut, menggalinya dari satu sisi ke sisi lain, dengan keputusasaan dan konsentrasi yang semakin meningkat manakala tak kunjung mereka temukan emas di tempat yang ayahnya sebut itu.

Mereka sama sekali tidak menemukan emas. Menyadari bahwa karena kemurahan hatinya, ayah mereka pasti telah membagi-bagkan emasnya semasa hidupnya, mereka pun berhenti mencari. Akhirnya, terpikir oleh mereka bahwa, karena ladang itu sudah terlanjur digarap, tak ada salahnya bila ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang menghasilkan panen berlimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan pada tahun itu juga hidup mereka makmur.

Setelah musim panen lewat, mereka berpikir-pikir kembali tentang kemungkinan bahwa harta karun itu terluput dari penggalian mereka. Mereka pun menggali lagi ladang mereka, tetapi hasilnya sama saja.

Setelah bertahun-tahun lamanya, mereka menjadi terbiasa bekerja keras dan mengenali musim, sesuatu yang belum pernah mereka pahami sebelumnya. Sekarang, mereka mengerti cara sang ayah melatih mereka, dan mereka pun menjadi petani yang jujur dan bahagia. Pada akhirnya, mereka memiliki cukup kekayaan sehingga tak lagi risau perihal harta terpendam itu.

Demikianlah ajaran tentang pemahaman terhadap nasib manusia dan takdir kehidupan. Guru, yang menghadapi ketidaksabaran, kebingungan, dan keserakahan murid-murid, harus mengarahkan mereka kepada suatu kegiatan yang diketahuinya bisa bermanfaat dan konstruktif bagi mereka, tetapi yang kegunaan dan tujuannya sering kali tersembunyi dari mereka karena sifat kekanak-kanakan mereka sendiri.

Menurut Idries Shah, kisah ini, yang menggarisbawahi pernyataan bahwa seseorang mungkin mengembangkan kemampuan tertentu meskipun sebenarnya ia bermaksud mengembangkan kemampuannya yang lain, cukup dikenal luas. Hal ini barangkali disebabkan oleh adanya pengantar berikut, "Mereka yang mengulangnya akan mendapatkan lebih dari yang mereka ketahui."

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: