Cara Al-Fatih Memuliakan Makam Sahabat Nabi SAW Abu Ayyub Al-Anshari

Begini Cara Al-Fatih Memuliakan Makam Sahabat Nabi SAW Abu Ayyub Al-Anshari
Makam Abu Ayyub Al-Ansari di Istambul. Foto/Ilustrasi: Ist
Abu Ayyub Al-Anshari sahid dan dimakamkan di wilayah Konstantinopel . Begitu wilayah Kristen ini ditaklukkan Sultan Muhammad al-Fatih , pada tahun 1453, makam sahabat Nabi Muhammad SAW ini menjadi perhatian utama. Makamnya diperindah dan di sampingnya didirikan masjid.

Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam bukunya berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah" menceritakan begitu memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid.

Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahuanhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan ra .

Ya, pada tahun 48 H/ 669 M, Mu’awiyah mencoba menaklukkan Konstantinopel. Ia mengirim pasukan besar pimpinan Sufyan Ibnu Auf yang ditemani Yazid ibn Mu’awiyah. Kala itu, sejumlah sahabat terkemuka dari Muhajirin dan Anshar ikut serta. Di antara mereka ada Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Zubair dan Abu Ayyub al Anshari.

Khusus Abu Ayyub mencatatkan sejarah yang heroik. Sepanjang hayatnya beliau memang hidup dalam peperangan. Sehingga dikatakan orang, “Abu Ayyub tidak pernah absen dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Rasulullah sampai dia wafat di masa pemerintahan Mu‘awiyah. Kecuali bila dia sedang bertugas dengan suatu tugas penting yang lain.’’

Peperangan terakhir yang ikutinya, ialah ketika Mu’awiyah mengerahkan tentara muslimin merebut kota Konstantinopel. Abu Ayyub seorang prajurit yang patuh dan setia.

Kala itu beliau telah berusia lebih delapan puluh tahun. Suatu usia yang boleh dikatakan sangat tua. Tetapi usia tidak menghalanginya untuk bergabung dengan tentara muslimin di bawah bendera Yazid bin Mu’awiyah.
Dia tidak menolak mengarungi laut, membelah ombak untuk berperang fi sabilillah. Tetapi belum berapa lama dia berada di medan tempur menghadapi musuh, Abu Ayyub jatuh sakit. Beliau terpaksa istirahat di perkemahan, tidak dapat melanjutkan peperangan karena fisiknya sudah lemah.

Ketika Yazid mengunjungi Abu Ayyub yang sakit, panglima ini bertanya, “Adakah sesuatu yang Anda kehendaki, hai Abu Ayyub?”

“Tolong sampaikan salam saya kepada seluruh tentara muslimin. Katakan kepada mereka, Abu Ayyub berpesan supaya kalian semuanya terus maju sampai ke jantung daerah musuh. Bawalah saya beserta kalian. Kalau saya mati, kuburkan saya dekat pilar kota Konstantinopel!” ujarnya.

Tidak lama sesudah ia berkata demikian, Abu Ayyub menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia wafat menemui Tuhannya di tengah-tengah kancah pertempuran. Tentara muslimin memperkenankan keinginan sahabat Rasulullah yang mulia ini.

Mereka berperang dengan gigih, menghalau musuh dari satu medan ke medan tempur yang lain. Sehingga akhirnya mereka berhasil mencapai pilar-pilar kota Konstantinopel, sambil membawa jenazah Abu Ayyub.

Dekat sebuah pilar kota Konstantinopel mereka menggali kuburan, lalu mereka makamkan jenazah Abu Ayyub di sana, sesuai dengan pesan beliau.
Riwayat lain menyebutkan, ketika Abu Ayyub mengetahui balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan.

Dalam pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?"

Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.

Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar.

Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci.

Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."

Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan.

Abu Ayyub adalah tokoh dari golongan Anshar. Nama dan derajatnya dimuliakan Allah di kalangan makhluk, baik di Timur maupun di Barat. Allah telah memilih rumahnya di antara sekalian rumah kaum muslimin, untuk tempat tinggal Rasulullah ketika beliau baru tiba di Madinah sebagai Muhajirin.

Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali tanpa sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan kaum Muslimin.

Pemantik Semangat

Abu Ayyub adalah pematik semangat Al Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel. Kisah itu bermula saat guru Al Fatih, Syaikh Aaq Syamsuddin mengetahui muridnya itu sedang gulana karena kegagalan berulang-ulang dalam menaklukkan Konstantinopel. Ia lalu mengajak Al Fatih ke suatu tempat, yakni makam Abu Ayyub Al Anshari.

Syaikh Aaq Syamsuddin mengatakan, setelah tiga hari bermunajat kepada Allah, ia didatangi oleh Abu Ayyub dalam mimpi yang menuntunnya ke tempatnya dikebumikan. Di dalam mimpi, Abu Ayyub meminta Syaikh Syamsuddin menunjukkan makamnya kepada Al Fatih.

"Seperti yang engkau ketahui anakku, Abu Ayyub, sahabat Rasulullah, ikut berperang dengan pasukan Islam melawan tentara Romawi. Ia tak muda sepertimu. Ia tua dan sakit-sakitan, tapi tetap ingin berperang dan meminta dikuburkan di dekat tembok Konstantinopel agar bisa mendengar suara kuda pasukan penakluk Konstantinopel," kata Syaikh Syamsuddin.

"Percayalah, kau adalah panglima yang dikabarkan Rasulullah. Jika tidak sekarang, kamu tidak akan pernah bisa lagi menaklukkan Konstantinopel."
Nasihat Syaikh Syamsuddin itu membuat Al Fatih tersadar. Lebih-lebih ia menggali sendiri makam Abu Ayyub, sahabat mulia yang rumahnya menjadi tempat tinggal pertama Rasulullah saat hijrah ke Madinah.

Usai peristiwa itu, Al Fatih memiliki ide luar biasa cerdas. Selama ini, pasukannya gagal menembus benteng Konstantinopel lantaran ada rantai raksasa yang membentang di Selat Bosphorus, Rantai-rantai itu yang menghalangi kapal-kapal pasukan Al Fatih untuk menembus sisi lain Benteng Konstantinopel.

Karena tak bisa menembus lewat jalur laut, Al Fatih lalu memerintahkan pasukannya "menggotong" kapal-kapal perang melintasi daratan, melewati hutan belantara dan pegunungan untuk kemudian dikembalikan ke bagian Selat Bosphorus yang terlewati rantai. Keputusan itu menjadi titik balik Al Fatih menguasai peperangan. Setelah itu pasukan Al Fatih yang berada di atas angin, hingga Kota Konstantinopel akhirnya pun jatuh ke tangan umat Muslim.

Setelah penaklukan Kota Konstantinopel yang bersalin nama menjadi Istanbul, Kesultanan Ottoman memindahkan makam Abu Ayyub ke tepi benteng Konstantinopel di Istanbul seperti yang diwasiatkannya. Di samping makam beliau lalu dibangun Masjid EyĆ¼p Sultan.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: