Bisakah Menikmati Kebahagiaan di Akhirat Tanpa Mencintai Allah Taala?

Bisakah Menikmati Kebahagiaan di Akhirat Tanpa Mencintai Allah Taala?
Inti kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah. Foto/Ilustrasi: Ist

Boleh jadi ada orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Allah. "Ini sudah terlalu jauh tersesat," ujar Imam al-Ghazali .

Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan " (Mizan Bandung), Imam al-Ghazali mengatakan inti kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang sudah lama didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang banyaknya.
Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah sebelumnya sangat kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.

Tetapi na'udzu billah, kata Imam al-Ghazali, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaan kehidupan akhirat akan asing baginya. Dan apa-apa yang akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.

Anekdot

Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan.

Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah. Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai.

Ia mendekatkan sampah ke hidung orang itu, maka orang itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan: "Wah, ini baru benar-benar wangi-wangian!"

Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan rohaniah dunia itu akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia roh dan merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya dan tertarik padanya.

Semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur'an: "Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia."

Dosa-dosa dan syahwat langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata: "Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi."

Orang-orang yang dianugerahi wawasan rohaniah telah benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka.

Pencerapan mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter.

Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizat-mukjizat, seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular yang masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: