2 Metode untuk Bisa Menemui Tuhan Menurut Imam Al-Ghazali

2 Metode untuk Bisa Menemui Tuhan Menurut Imam Al-Ghazali
Imam al-Ghazali. Foto/Ilustrasi: Ist

Sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah." Artinya, Imam al-Ghazali mengatakan dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan.

"Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut," ujar al-Ghazali dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" yang diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan ".

Kenyataannya, kata al-Ghazali, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.

Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an : "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?"

Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. "Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut sekalipun," jelas Imam al-Ghazali.

Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu! Jadi, dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta.

Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.

Misalnya, kata al-Ghazali lagi, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan, serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi.

Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang - empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.

Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku."

Dan menurut hadis Nabi (SAW), Allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri, manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah. Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.

Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.

Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta.

Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh indra, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah konsep-konsep indra.

Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan roh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian.

Meskipun demikian, Imam al-Ghazali mengatakan, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas - mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan.

Begitu pulalah roh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus mana pun.

Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya hadis Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Menulis Nama Allah

Imam al-Ghazali melanjutkan, dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat roh, maka akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.

Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh roh-roh vital.

Bentuk kata "Allah" tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya.

Demikian pula, jika Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran rohaniah yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai "Singgasana" (al-'arsy).

Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: