The Bomber of Masjumi, KH. Isa Anshary

KH Isa Anshari

Banyak julukan diberikan kepada pejuang dakwah KH Isa Anshary, dari “Singa Podium”, “The Bomber of Masjumi”, namun sedikit tahu kehidupan sehari-harinya penuh cobaan

BERBAGAI julukan diberikan pada figur ulama Persis ini, seperti: “Singa Podium” dan “Napoleon Masjumi”. Hanya saja, jarang disebut –sejauh ini bahkan amat sangat sedikit ditemukan sumber tertulis– terkait julukan lain yang disematkan pada beliau, yaitu: “THE BOMBER OF MASJUMI”.

Paling tidak ada 1 buku dan 1 majalah yang bisa dijadikan rujukan untuk sementara ini. Dari buku bisa dibaca dalam karangan Abbas Hassan berjudul “Sukses dalam Pergaulan” (1966: 27), di antara potongan kalimatnya demikian: “Pernahkah saudara djumpa dengan Isa Anshary ? Dia jang pernah diberi gelar: bomber Masjumi ? “

Sedangkan majalah, bisa dibaca dalam Majalah Kiblat (No. 7/XVI/1968: 26) rubrik Sepandjang Djalan dengan judul “LAKSANA SEBUAH LILIN”. Di antara ungkapan kalimatnya seperti ini: “K.H.M. ISA ANSHARY jang pernah mendapat djulukan: The Bombor of Masjumi,” (Selesai Nukilan)

Sayangnya, catatan dalam majalah ini tidak disebut siapa penulisnya. Apakah bisa jadi pencatatnya adalah Abbas Hassan? Perlu penelitian pustaka lebih lanjut.

KH. Isa Anshari saat menjadi Khatib Idul Adha 1372 H/ 1953 M

Setidaknya, fakta ini memberikan informasi menarik tentang julukan lain dari figur KH. Isa Anshary.

Secara makna memang, julukan ini masih terkait dengan karakter dak kiprah beliau selaku orator, agitator dan singa podium ulung. Orasinya selalu dinanti, lapangan-lapangan penuh ketika beliau memimpin kampanye Partai Masjumi, dan hadirin terpukau dengan gaya bicaranya.

Beliau juga vokal dalam lisan dan tulisan di berbagai media. Ada yang menyimpang dan tidak beres, misalkan masalah komunisme dan semacamnya, langsung beliau lawan, beliau hantam dan gempur laksana bom.

Tak peduli, risiko yang bakal dihadapinya. Dan itu memang dialami, saat meringkuk di penjara Madiun.

***

Itu adalah di antara satu sudut pandang melihat kehebatan KH. Isa Anshary. Akan tetapi, kalau kita melihat pintu lain yang sunyi dan jarang diperhatikan kebanyakan orang mengenai sosok besar ini adalah kondisi setahun sebelum akhir hayat beliau.

Beliau meninggal pada 11 Desember 1969. Setahun sebelumnya (pada bulan September 1968), KH. Isa Anshary berkirim surat kepada salah satu sahabatnya sebagaimana disebut tadi dalam Majalah Kiblat (No. 7/XVI/1968: 26).

Kondisinya –sebagaimana judul di dalamnya– laksana sebuah lilin. Menyinari yang lain, sementara dirinya terbakar. Orang tahunya beliau hebat, dengan segenap perjuangan dan orasinya.

Namun, adakah yang tahu seberapa sulit dan susahnya beliau terutama menjelang akhir hayatnya?

“…..hidup kami kini laksana bahtera ketjil dilanggar badai, ombak datang bergulung-gulung, sedangkan bahtera ketjil itu sudah lama dibanting-diempaskan ombak…..!” (petikan surat KH. Isa Anshary).

Dari sudut pandang ini, tergambar betapa berat ujian yang dihadapi beliau menjelang akhir hayatnya. Sejak di penjara Madiun beliau sudah mengalami sakit cukup parah.

Beliau sempat membaik ketika sudah keluar penjara. Tapi hal itu tak berlangsung lama, kemudian kambuh lagi dan tambah parah.

Harusnya kondisi demikian membuatnya mendapatkan perawatan secara teratur. Tapi, justru itu yang tak didapatkan.

Lalu kemana teman-teman beliau? Mereka ada. Kalau diminta, pasti membantu.

Namun jika tak diminta, bantuan pun berhenti. Akhirnya, tak sanggup juga KH. Isa meminta terus-menerus.

Pasca bebas dari penjara dan kembali ke Bandung, sebenarnya beliau sakit. Sedangkan tantangan dan masalah yang dihadapi –tentang masalah keumatan dan ujian yang menimpa dirinya– cukup berat.

Menariknya, beliau tidak mau kalah dengan rasa sakitnya. Bagaimana pun kondisinya beliau tetap terjun ke gelanggang perjuangan.

Sebuah gelanggang hidup untuk mempertahankan rumah tangga, dan gelanggang lain yaitu dakwah untuk membela agama. Tak ayal, hal ini menjadikan pertahanan fisiknya kalah.

Dalam petikan suratnya, ia mengatakan, “Aku kini dirawat, ongkos perawatan luar biasa tingginja, tetapi buat membajar ongkos2 itu aku djadikan ,persoalan nanti’…..!” demikian ceritanya.

Saat surat ini ditulis dalam Majalah Kiblat (No. 7/XVI/1968: 26), sahabat KH. Isa Anshary tidak tahu kondisi  beliau. Pada 11 Desember 1969, satu tahun lebih kemudian beliau wafat dengan sakitnya yang belum sembuh,  tepatnya, pada tanggal 2 Syawal 1389 H.

Uniknya, sehari sebelum meninggal, beliau menyanggupi untuk berkhutbah, menyampaikan dakwah kepada umat. Pikiran kepada umat tak pernah surut dari benak beliau hingga dalam kondisi menjelang ajal.

Materi khutbah hanya baru diketik dua halaman, beliau langsung jatuh sakit. Kemudian pada tanggal 3 Idul Fitri, ‘Sang Mujahid Dakwah’ ini pergi dari dunia menuju keabadian.

***

Demikian kondisi para pejuang Islam di Indonesia. Dengan segala perjuangan dan ketulusannya, mereka sering kali dielukan, di-hero-kan, dinantikan kehadirannya di tengah-tengah umat.

Walaupun sebenarnya, umat sering tidak tahu betapa berat kondisi yang dialami para pejuang itu, utamanya menyangkut diri dan urusan keluarga di rumah.

Kondisi ini persis yang digambarkan dalam majalah Aliran Baroe No. 34 (1941):

“Hampir tiap idealist jang mengoerbankan fikiran dan tenaganja oentoek keperloean rakjat, kebanjakan tidak pernah merasakan kenikmatan hidoep boeat diri sendiri. Dibibir publiek, ia disandjoeng dan dipoedji, sedang hakikatnja penghidoepannja koetjar katjir. Roemah tangganja tidak teratoer, anak isterinja hidoep terlantar.”

Gambaran serupa, juga disampaikan Buya Hamka dalam suratnya kepada AR. Baswedan (Kakek Anies R Baswedan);

“Kita lihat pengandjoer bangsa, pemimpin perkoempoelan agama, pergi ketengah-tengah masjarakat oemmat dan bangsa tampil kemoeka, padahal, badjoe isteri sendiri tak terganti, kadang-kadang penitinja tergadai; kain anak tertoekar, padahal lebaran soedah datang.”

Apakah dengan kondisi itu membuat mundur perjuangan. Kata Hamka, “Akan moendoer? Doeh, pantang laki-laki soeroet poelang! Tida akan mondoer? Dapoer ta berasap, anak ta berbadjoe! Isteri meminta dibelikan kain! Meskipoen ta’ dimintanja kita sendiripoen merasa poela.  Crisis…crisis ibarat orang sakit gigi, kita sadja jang menderita, orang lain ta’tahoe.”

Sesulit apapun kondisinya,  sama sekali tidak membuat mereka mundur dalam berjuang. Mereka tetap maju dengan muka berseri-seri penuh optimis.

Akhirnya, tiada lain, tempat pengaduan terbaik adalah Allah Sang Pencipta, sebagaimana di tulis Buya Hamka. “Mengadoe sadja kepada Allah; ‘ja Toehan, berilah hambamoe ini kelapangan dan ketegoehan!’ Kelapangan itoe poen datanglah!”.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: