Pengaruh Freemason dalam Wacana Pluralisme Agama (2)

 

The Theosophical Society di India

Dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran.a

PADA tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951) yang kelak menjadi pelopor Filsafat Abadi, masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Guénon bukan saja mulai mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain.

Guénon aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Prancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout his life).

Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.Guénon (m.1951) menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama.

Theosophical Society. Annie Besant, Irving S. Cooper, L. W. Rogers, Max Wardall.

Guénon (m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Bagaimanapun, selama kehidupannya di Prancis, Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.

Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual.

Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu.

Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran.

Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami realitas akhir. Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951) dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. (Robin Waterfield, Rene Guénon and the Future of the West: The life and writings of a 20th-century metaphysician).

Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident. Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun.

Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938. Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami.

Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas.

Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna.

Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya. Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’.

Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui intelek (Intellect). Dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris.

Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris, bukan eksoteris. Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta.

Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatif. Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada dogma esklusifistik (formalistik)–dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. superioritas sebuah “form” terhadap yang lain.

Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya relatif. Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.:

“…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam).”

Schuon juga berpendapat esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik.

Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’agama.

Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence).

Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris. Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme. Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan. (Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions).

Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka dengan para tokoh Freemason dan Teosof. Gagasan pada intinya semua agama sama disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah kuno” (ancient wisdom) ke zaman modern.*

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: