Orientalis Bilang Kebangkitan Islam Menyerupai Kebangkitan Kristen

Orientalis Ini Bilang Kebangkitan Islam Menyerupai Kebangkitan Kristen
William Montgomery Watt. Foto/Ilustrasi: AP/masjidma
Orientalis dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), menyebut gambaran penting dua dekade terakhir adalah kebangkitan Islam . "Sungguhpun kebangkitan Islam ini menyerupai gerakan-gerakan kebangkitan Kristen --meskipun ada perbedaan di antara keduanya-- malahan istilah 'kebangkitan' itu sendiri dapat dipertahankan," ujarnya.

Pernyatakan William Montgomery Watt ini disampaikan dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temua Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama Jakarta, 1996). Menurutnya, kebangkitan Islam juga diberi karakter fundamentalisme atau tradisionalisme.

"Fundamentalisme Islam ini tidak identik dengan fundamentalisme Kristen, terutama merupakan fenomenon Protestan; 'integralisme' - 'integrisme' yang paling dekat dengan terma bahasa Perancis dan Katolik Roma, namun memberi makna yang berbeda juga," jelasnya.

Satu faktor penting yang mendasari timbulnya kebangkitan itu adalah perasaan luas di antara kaum muslimin umumnya yang kehilangan identitas Islam. Kaum muslimin yang kehilangan identitas Islamnya ini melihat kota-kota yang dibanjiri dengan benda-benda kekayaan barat, mulai dari mobil dan televisi sampai kepada kebutuhan akan pakaian baik untuk kaum wanita maupun pria, sementara para penganut Islam terdidik telah mengadopsi gaya hidup barat.

"Bahkan dalam kehidupan publik membawa kaum muslimin sadar akan keterbelakangan negeri-negeri Islam dan ketidakberdayaan mereka untuk melakukan banyak hal seperti yang dilakukan oleh negeri-negeri barat; dan yang mempercepat jatuhnya bangsa manusia biasa," ujar profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979 ini.

Di sana juga mesti ada yang menjadi memori arogan nafsu superior bangsa Eropa si penjajah lebih dari satu abad lamanya itu, telah menjadikan kaum muslimin sebagai rendah terhadap dirinya sendiri dan tidak ada jalan untuk menyamakan kedudukannya sebagai manusia.

Aspek keagamaan juga memberi andil kondisi di atas. Mungkin tidak semua kaum muslimin awam sadar akan kritik-kritik terperinci terhadap Islam sebagai agama. Akan tetapi sebagian besar kaum muslimin mempunyai ide bahwa umat Kristen barat mengasumsikan Islam menjadi sesuatu yang salah dan agama Islam sebagai agama yang rendah dan menolak sebagian terbesar klaim-klaimnya itu.

Ketinggalan Zaman

Sekadar mengingatkan Montgomery Watt adalah pendeta (reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis Terakhir".

Berikut selengkapnya tulisan Montgomery Watt:

Berbeda dengan kritik Kristen terhadap Islam, ada ketegangan dalam pemikiran bangsa Eropa yang memperkenankan ide-ide Pencerahan yang anti-agama dan Islam dianggap sebagai zaman pertengahan, ketinggalan zaman dan tidak berharga.

Sementara di sebagian ulama rupanya juga telah menyadari kejadian ini dan telah terluka secara mendalam lantaran ulama ini menganggap Islam sebagai agama final dan sempurna. Jadi dalam berbagai cara, agama juga merupakan faktor yang mendasari kebangkitan.

Bentuk aliran fundamentalis ini dipegang oleh kebangkitan yang dikaitkan dengan kepemimpinan yang diberikan oleh ulama. Inilah yang rupanya berjasa pada perasaan manusia biasa yang kehilangan identitas dan mereka menjadi lebih sadar akan hina-dinanya Islam. Bahkan malah mereka sadar akan berapa banyak mereka sebagai kelas sosial yang telah menderita karena perubahan-perubahan yang terjadi selama abad belakangan ini.

Terkadang dikatakan dalam pembukaan bab ini tentang perkembangan sistem alternatif dari pendidikan dan hukum di Kerajaan Ottoman. Terkadang seolah akhirnya terjadi di sebagian terbesar negeri Islam yang lain, walaupun ulama dalam hal ini sudah tidak terorganisir secara baik.

Sungguhpun demikian, dimanapun adanya ulama sadar bahwa mereka ini sekarang mempunyai lebih-kurang kekuasaan ketimbang para leluhurnya. Bilamana waktunya menguntungkan, mereka pasti akan berikhtiar untuk mendapatkan kepemimpinan kenegaraan untuk menyetujui bahwa harus ada sekelompok ulama untuk mengecek ciri khas undang-undang Islam yang diidam-idamkan. Namun pada umumnya para negarawan yang menolak itu, mengetahui bahwa kebanyakan ulama itu tidak bersinggungan dengan problema-problema yang terjadi akhir-akhir ini.

Lebih dari itu, ulama mulai menyatakan bahwa semua itu akan baik manakala kaum muslimin kembali kepada praktik Islam yang ideal masa Nabi Muhammad SAW dan zaman Khulafa' al-Rashidin yang pertama.

Sekalipun menyokong program ini, ulama juga bersikeras bahwa kaum muslimin hendaknya secara tegas taat-setia kepada bayangan tradisionalnya sendiri sebagaimana yang dirancang pada zaman pertengahan. Saya hendak menyatakan bahwa bayangan-diri pada waktu yang lama dalam buku saya Islamic Fundamentalism and Modernity [39], dan tidak mungkin akan mengulangi deskripsinya di sini.

Pokok-pokok utama itu adalah finalitas dan kecukupan-diri Islam, bersamaan dengan konsepsi implisit dunia-sejarah dalam jurang pemisah antara dunia Islam dan dunia perang. Juga diasumsikan bahwa hakekat manusia dan masyarakat itu adalah statis dan tidak berubah.

Akibat wajar dari asumsi terakhir itu adalah penegasan bahwa pemulihan "hukuman mati dalam Islam" seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum mati bagi perzinahan akan menguntungkan dan efektif di dunia modern ini.

Sebagian ulama mengakui bahwa dewasa ini ada wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terbuka oleh perluasan perluasan tradisional terhadap Syari'ah, dan oleh karena itu pemikiran segar diperlukan, namun agaknya sedikit yang dapat dicapai. Untuk pengamat dari luar timbul bahwa berfikir ulang itu diperlukan pada skala yang luas dan tak mungkin diselesaikan kurang dari satu generasi.

Di zaman pertengahan problema tersebut secara tegas tampil ke depan. Kaum muslimin dianggap sebagai berada dalam medan perang, dan boleh jadi mengasumsikan bahwa kondisi itu hanya bersifat temporer semata.

Pengalaman Umat Kristen

Pengalaman umat Kristen ternyata berbeda. Selama tiga abad umat Kristen berada di bawah kekuasaan non-Kristen; namun dapat dikatakan bahwa mereka ini secara umum patuh kepada penguasa.

"Silahkan tiap orang menjadi warga negara kepada para penguasa yang lebih tinggi, karena tidak ada kekuasaan selain dari Tuhan semata; kekuasaan-kekuasaan itu dinobatkan dari Tuhan."

Artikel Thomas Merton tentang Perjalanan Cargo Pasifik Selatan memberikan dorongan penting sikap Kristen terhadap golongan non-Kristen yang agaknya relevan dengan sikap Kristen terhadap kebangkitan Islam.

Perjalanan cargo adalah suatu fenomenon keagamaan yang tampak, walaupun tidak bersifat eksklusif, yakni di tengah penduduk kepulauan Pasifik di bawah kekuasaan kolonial.

Penduduk pribumi melihat bangsa penjajah itu rupanya tidak bekerja kecuali duduk-duduk saja di kantor dan menulis di sedikit kertas, kemudian setelah itu suatu saat kapal datang menjemput mereka untuk makan dan minum dan dengan berbagai bentuk hasil kekayaan yang bagus -- cargo.

Penduduk pribumi terheran-heran mengapa para penjajah itu menguasai cargo dan mereka tidak bekerja. Usaha percobaan di luar semua bentuk skema itu dilakukan untuk menguasai cargo.

Pada suatu saat mereka memutuskan bahwa bunga-bunga di atas meja para penjajah itu berhubungan dengan cargo serta rumah dan vila mereka diisi dengan bunga-bunga. Acapkali mereka mencoba membuang sesuatu yang berharga, bahkan barang-barang rumah tangga ataupun peternakan, sebagai kepercayaan kepada masa depan.

Pengamatan serius terhadap gerakan cargo itu diperlihatkan karena jalan mendapatkan kekayaan yang mereka lakukan itu tidak benar, selain identitas penduduk kepulauan itu dan hubungannya dengan para penjajah.

Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa ketika waktu itu hampir menyerang hadirnya cargo dan tidak ada yang terjadi, agar gerakan khusus ini digagalkan, bahkan gerakan lain yang mirip segera tumbuh.

Jadi yang timbul dari pelaksanaan cargo itu sama-sama berfungsi lebih mendalam bagi masyarakat. Penduduk pribumi hendak merasakan bahwa di samping keterbelakangan mereka itu, sesungguhnya mempunyai kedudukan dan hak sama dengan bangsa penjajah sebagai manusia.

Selain ada persamaan pekerjaan para penjajah tidak pernah membawanya dalam praktik. Tentu mereka cenderung bergerak pada asumsi bahwa penduduk pribumi adalah orang yang selalu harus dibantu dan orang tidak pernah mendapatkan persamaan hak bagi dirinya sendiri.

Thomas Merton terus menerapkan ide-ide tersebut terhadap hubungan bangsa Amerika kulit putih dengan bangsa Amerika kulit hitam dan hubungan seluruh bangsa Amerika dengan Dunia Ketiga dan terutama bangsa Vietnam (Thomas Merton ketika menulis buku ini perang Vietnam sedang berkecamuk). Dia memperbandingkan mitos-mimpi pelaksanaan cargo dengan mitos- mimpi bangsa Amerika:

Seperti penduduk pribumi Laut Selatan, kita juga mempunyai mitos-mimpi, namun mitos-mimpi ini acapkali terjadi bukan pada orang Kristen dan sangat tidak manusiawi. Ketika kita rancang untuk mempertahankan penduduk kulit non-hitam sebagai manusia, maka kita masih mempertahankan mereka sebagai manusia yang rendah martabatnya.

Malahan ketika kita berpikir agar menjadi orang yang baik, jujur dan adil, maka kita akan hidup dan bertindak di luar mimpi yang menjadikan kejujuran dan keadilan itu mustahil terjadi ...

Mitos-mimpi kita berhubungan pada kebanggaan diri atas fakta bahwa kita mengetahui bagaimana mendapatkan uang. Kita mempunyai rahasia yang suci ini, rahasia cargo, yang martabat kita tidak rendah. Memang benar, kita berpretensi bahwa kita hendak memberikan kesucian kita kepada semua orang.

Kita hendak membawa semua orang lain ke dalam kekayaan yang sama-sama kita miliki. Namun kita tidak bermaksud mengartikan apa yang kita katakan. Kita hendak menggunakan kerendahan martabat kita ini demi kejayaan kita yang menguntungkan. Kita menobatkan kerendahan ini pada tiap jalan karena negara-negara yang belum maju itu bertahan pada ketundukannya kepada kita.

Sebagian ide-ide di atas relevan dengan hubungan Kristen-Muslim. Satu aspek kebangkitan Islam adalah berhenti dari praktik-praktik tertentu yang diadopsi dari barat -- tidak ada riba, tidak ada alkohol, tidak ada pakaian barat bagi kaum wanita. Kendatipun demikian, hal ini belum nampak sebagai anti-barat atau anti-Kristen yang penting melainkan terutama sebagai pro-muslim.

Dalam kebangkitan kaum muslimin yang dikehendaki ini, barangkali secara tidak disadari, karena mereka menghendaki diakuinya persamaan kedudukan seperti bangsa barat dan umat Kristen, baik secara kemanusiaan maupun secara keagamaan.

Pokok persoalan terakhir itu yang sulit, karena umat Kristen memikirkan agamanya sebagai yang unggul di atas agama-agama lain (tentu saja sebagaimana yang juga dilakukan oleh kaum muslimin).

Dengan dasar ini barangkali dapat dikatakan bahwa serangan-serangan penting terhadap Islam rupanya hanya untuk memperkuat trend-trend fundamentalis.

Dalam kasus penduduk pribumi yang memenuhi rumahnya dengan bunga-bunga, bangsa Eropa membuat kebijakan untuk merusak bunga-bunga itu sebab menurut mereka cara ini menentang mereka sendiri; namun cara ini hanya meyakinkan penduduk pribumi bahwa bunga-bunga itu berkaitan dengan perjalanan cargo.

Juga ada kesejajaran antara cargo dan janji bahwa kaum muslimin akan mengalami kehidupan yang baik manakala kaum muslimin kembali kepada cita-cita Islam periode awal.

Menurut pengamat dari luar Islam, cita-cita ini rupanya mustahil kalau semua problem mereka itu akan diselesaikan oleh metode ini. Namun kebangkitan perjalanan cargo setelah gagal memperlihatkan, jika tidak terpenuhinya janji itu, tidak perlu membawa berkurangnya entusiasme bagi kebangkitan Islam.

Persamaan Hak

Penjelasan Merton tentang diperolehnya persamaan hak lewat kekuatan sendiri apabila diterapkan untuk Islam, akan menjadi daya dorong pada kebangkitan Islam untuk memulihkan jati-diri dengan menunjukkan bahwa kaum muslimin mampu memperoleh persamaan hak bagi kaum muslimin sendiri dan tidak perlu menunggu orang Kristen barat mengakui persamaan itu di masa-masa yang akan datang.

Ini akan membawa kita sebagai dirinya sendiri untuk dengan akrab melihat pada motif kita sendiri, karena dalam buku Islamic Fundamentalism and Modernity dan dalam karya terbarunya yang dapat saya nasehatkan kepada kaum muslimin.

Melalui jalan pembelaan diri, saya harus katakan bahwa saya tidak berupaya berbuat pada jalan paternalistik. Secara mendasar apa yang saya upayakan untuk menarik perhatian kaum muslimin akan fakta- fakta tertentu dimana saya sebagai pengamat dari luar Islam telah menyadari, seperti bahaya terhadap desakan atas kecukupan-diri Islam itu barangkali menjadikannya mustahil bagi kaum muslimin untuk berasosiasi dengan bangsa lain, baik Kristen maupun non-Kristen, lalu untuk memberikan sumbangan agar mereka mampu menjadikan bangunan dunia dari seluruh manusia yang diharapkan itu.

Pada kesimpulan, saya mengutip paragraf terakhir Merton:

Apabila mitos-mimpi orang kulit putih Barat, tuntutan-tuntutan kita lantaran secara spiritual kita memperbudak orang lain dalam rangka "menyelamatkan" mereka, maka kita jangan terkejut ketika mitos-mimpi kita sendiri menuntut mereka karena mereka mendapatkan seluruh kebebasan untuk menyelamatkan mereka.

Namun mitos-mimpi orang kulit putih dan orang pribumi hanya merupakan ekspresi yang parsial dan tidak memadai bagi semua kebenaran ... tiap orang membutuhkan orang lain, bekerjasama dalam keberanian semesta untuk membangun keberdayaan dunia bagi kematangan historis manusia.

Hal di atas barangkali secara eksak tidak sesuai dengan hubungan Muslim Kristen, kecuali hanya mendekatkan hubungan-hubungan tersebut. Apabila kita menggantikan "Kristen" dan "Muslim" untuk orang kulit "putih" dan "pribumi", maka hal ini akan mungkin dapat memperoleh jalan bagi hari depan.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: