Kisah Tazim Jaffer Pengikut Ajaran Aga Khan yang Selalu Merindukan Masjid

Kisah Tazim Jaffer Pengikut Ajaran Aga Khan yang Selalu Merindukan Masjid
Sejak tahun 1957, pemegang gelar Aga Khan adalah Imam ke-49, Pangeran Shah Karim al-Husseini, Aga Khan IV. Foto/Ilustrasi: Facebook
Tazim Jaffer lahir di Dodoma, Tanzania dan dibesarkan di Dar es Salaam. Ia menikah di Dublin, Ireland. Selanjutnya ia tinggal di Midwestern, Amerika Serikat. Ia dibesarkan dalam keluarga Isma'ili tradisional yang mengikuti ajaran Aga Khan.

Sebagai catatan, Aga Khan adalah pemimpin spiritual dari kelompok Nizari, cabang Isma'ili. Sebutan Aga Khan diberikan kepada Abu-l Hasan 'Ali Shah pada 1818 oleh Shah Persia. Pada 1841, setelah pemberontakan yang gagal melawan Shah, Aga Khan I melarikan diri dari Persia ke Afganistan kemudian ke Bombay. Sejak tahun 1957, pemegang gelar Aga Khan adalah Imam ke-49, Pangeran Shah Karim al-Husseini, Aga Khan IV (lahir 1936).

Pengikut-pengikutnya percaya bahwa dia adalah Imam Isma'ili Nizari yang ke-49 dalam garis keturunan yang tidak terputus. Sekarang mungkin terdapat lebih dari dua juta Isma'ili.

Teologi Ismailiyah pernah menjadi yang terbesar di antara mazhab-mazhab Islam Syi'ah, dan mencapai puncak kekuasaan politiknya pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada abad ke-10 sampai dengan ke-12 Masehi. Ajaran Ismailiyah, yang juga dikenal dengan nama mazhab Tujuh Imam. Ajaran Ismailiyah memiliki ciri penekanan pada aspek batiniah dari agama Islam.

Meskipun terdapat beberapa kelompok pecahan dalam Ismailiyah, seperti Nizari. Mereka adalah pengikut dari Aga Khan, yang merupakan kelompok Ismailiyah dengan jumlah penganut terbesar. Di antara kelompok-kelompok yang ada memang terdapat perbedaan dalam hal kebiasaan ibadah, akan tetapi umumnya secara teologi spiritual tetap sesuai dengan kepercayaan imam-imam awal Ismailiyah.

Kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan di Indonesia, India, Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania, Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Afrika Timur dan Afrika Selatan. Pada beberapa tahun terakhir, sebagian di antara mereka juga beremigrasi ke Eropa, Australia, Selandia Barudan Amerika Utara.

Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menyebut Tazim Jaffer termasuk kelompok minoritas di mana pun dia berada. Nenek moyangnya dibawa ke Afrika untuk membuat jalur kereta api British, dan ketika kemerdekaan Afrika tiba, situasi politik dan ekonomi menjadi tak dapat ditanggulangi oleh keluarganya.

Keadaan ini memaksa mereka untuk berpencar ke seluruh penjuru dunia. Beberapa tahun yang lalu, dia berjumpa dengan sanak keluarganya di bandara Kennedy, Heathrow, dan Bombay. Semuanya terjadi dalam satu hari. Masing-masing tinggal di negara yang berlainan, masing-masing bepergian ke arah yang berlainan. Untuk menenteramkan diri atas keadaannya yang ganjil itu, dia berkesenian. Dia membentuk dan mendefinisikan kembali batas-batasnya sendiri.

Berikut penuturan Tazim Jaffer tentang dirinya selengkapnya sebagaimana dinukil buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995) tersebut.

Saya dibesarkan dalam keluarga Isma'ili tradisional. Suatu kali saya mendapatkan banyak tekanan dari saudara-saudara saya untuk segera menikah. Saya menentang mereka karena saat itu saya sedang jatuh cinta. Calon suami saya pergi melanjutkan sekolah ke bagian kedokteran ketika saya masih di Afrika. Saya memutuskan tidak akan menikahi orang lain; saya akan menanti sampai dia selesai.

Akhirnya ketika dia telah menyelesaikan studinya, kami menikah di kantor catatan sipil di Dublin. Saya mengenakan rok mini dari kulit.

Muslim Isma'ili mengikuti Aga Khan. Aga Khan yang terdahulu menasehati kami untuk menanggalkan pakaian tradisional kami dan mencoba berasimilasi. Beberapa wanita yang lebih tua, ketika saya masih anak-anak, biasa memakai gaun panjang. Aliran Aga Khan benar-benar telah mengangkat status kaum wanita dalam masyarakat Isma'ili.

Salah satu yang dikatakannya adalah, jika Anda mempunyai uang yang cukup untuk menyekolahkan salah satu anggota keluarga Anda, Anda harus mengutamakan menyekolahkan anak perempuan Anda.

Saya ingat ayah saya --dia harus memilih salah satu anaknya untuk disekolahkan-- dia mengirimkan saudara perempuan saya dan bukannya saudara lelaki saya ke Inggris untuk mendapatkan pendidikan.

Keadaan sekarang sudah berbeda, karena para wanita merupakan pemimpin di masyarakat; mereka lebih berpendidikan; mereka pergi ke daerah pedalaman untuk mendidik orang lain, lalu para lelaki mengambil alih masalah keluarga. Pendidikan mereka tidak sederajat. Hal ini menimbulkan masalah pada beberapa kasus.

Ibu saya meninggal dunia ketika saya masih berumur dua tahun. Ayah saya meninggal ketika saya berusia belasan tahun. Saya dibesarkan oleh kakak-kakak saya dan mereka pun masih muda-muda. Saya tidur di bawah kelambu. Saya mempunyai sedikit kenangan tentang tempat saya dilahirkan.

Saat itu rumah kami masih belum sempurna, sangat sederhana. Rumah tersebut dibangun dari batu kapur dan beratapkan seng bergelombang yang dilapisi ilalang di atasnya. Kami bersaudara banyak sekali dan tidur bersama di satu tempat tidur.

Kadang-kadang saya bertanya-tanya apakah saya masih menjalani hidup yang sama atau saya sudah dilahirkan kembali beberapa kali, karena rasanya banyak sekali yang berubah: pemerintahan, falsafah, pertanahan, perekonomian. Dan kami terus berusaha dan memperbaiki kehidupan kami.

Abang-abang saya mengelola sebuah usaha penggilingan padi dan tepung. Mereka memiliki pabrik, tetapi sebagian besar dari itu telah dinasionalisasikan pada 1960-an dan akhirnya mereka meninggalkan semuanya.

Karena Anda ingin mewawancarai saya, saya berusaha untuk mendapatkan beberapa tanggal-tanggal kejadian dan informasi lain dari keluarga saya. Saya menghubungi kakak perempuan saya yang tinggal di Vancouver. Dia berkata bahwa semua keterangan itu disimpan abang saya yang tinggal di London, tetapi kakak perempuan saya yang tinggal di Calgary mungkin masih ingat. Dan ternyata dia masih ingat beberapa tanggal-tanggal kejadian.

Saya menemukan sesuatu yang tidak pernah diberitahukan pada saya: bahwa ibu saya seorang janda (bercerai dari suaminya terdahulu) dan ayah saya menikahinya, dia sudah menikah ketika berumur dua belas tahun. Perkawinan pertamanya adalah hasil perjodohan. Suaminya sangat kejam. Dia memukul ibu sampai terjatuh dan lengannya patah. Lima atau enam orang datang untuk membawanya kembali. Ini cerita yang sangat mengejutkan bagi saya.

Karena kami dibesarkan dalam keluarga tradisional lalu kami mengalami banyak perubahan, suami saya dan saya merasa bahwa kami sangat liberal. Kami ingin anak-anak kami mendapatkan pendidikan yang liberal, yang tidak kami dapatkan.

Saya tidak diizinkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Saya ingin menjadi seorang artis di bidang busana (peragawati) dan saya ingat abang-abang saya berkata pada saya bahwa jika saya mempunyai angan-angan itu dalam pikiran saya, mereka tidak akan mengirim saya ke Inggris, sebab waktu itu mereka hanya menyetujui untuk mengirim saya untuk mengikuti kursus.

Kami tidak menerapkan peraturan yang terlalu keras bagi anak-anak kami. Kami memberi mereka pendidikan yang sangat liberal. Anak-anak saya mempunyai hubungan dengan orang-orang India yang lain, sedikit di antaranya yang Muslim. Orang-orang Muslim yang mereka kenal sebagian besar berasal dari Pakistan --yaitu dari kalangan Sunni dan Syi'i.

Saya sangat terkejut ketika suatu hari teman saya dari Washington datang. Dia berbincang-bincang dengan Parisa, dan Parisa menyatakan bahwa dia tidak keberatan untuk suatu pernikahan yang dijodohkan. Saya tidak dapat mempercayai hal ini!

Dia bertanya pada Parisa apakah dia mendapatkan tekanan dari kami sehingga dia ingin segera menikah. Parisa mengatakan tidak, dia tidak mendapatkan tekanan apa pun. Saya pergi ke studio saya, di mana suami saya berada, dan saya berkata, "Bayangkan. Anak perempuanmu menginginkan perkawinan yang dijodohkan."

Hal itu sangat mengherankan saya. Terutama karena saya telah menentang tradisi. Saya tak dapat membayangkan apa yang menyebabkan dia berpikiran seperti itu.

Sudahkah dia mengatakan alasannya kepadamu?

Tidak. Tetapi saya kira saya tahu jawabannya. Mungkin karena dia terlalu cerdik sehingga dia ingin memindahkan tanggung jawab, jadi jika dia gagal dalam perkawinannya, kamilah yang bertanggung jawab, dan dia tidak perlu memberikan jawaban terhadap hal itu; atau karena kami telah memberikan segala sesuatunya kepadanya, dia ingin untuk lebih tradisional. Maka dia kembali kepada tradisi.

Apakah Anda akan merencanakan perkawinannya?

Jika saya menemukan seseorang yang sesuai, saya akan menjodohkannya. Walaupun begitu, saya telah memberitahunya bahwa jika dia menemukan seseorang yang baik dan menyenangkan, tidak apa-apa.

Jika dia seorang pemuda Isma'ili, itu merupakan pilihan pertama saya; tetapi jika bukan, saya tidak berkeberatan. Saya kira kelompok keturunan akan semakin besar. Saya juga berpikir mungkin ini salah satu cara untuk mengatasi problema perdamaian dunia. Sebab jika seorang Yahudi menikahi seorang Muslim, dan seorang Katolik Irlandia menikahi seorang Protestan, saya pikir kita dapat mengatasi beberapa masalah kita.

Pendapat saya sangat liberal, tetapi untuk beberapa hal saya sangat konservatif.

Apakah Anda lebih menyukai perkawinan yang dijodohkan?

Saya tidak akan mengiklankannya di koran, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang India, tetapi saya akan melakukannya dengan kata-kata. Saya mengatakan ini pada kakak-kakak perempuan saya. Salah seorang dari mereka berkata, "Wah, jangan katakan pada orang-orang bahwa kamu mencari seorang pemuda!"

Akhir-akhir ini di Youngstown mereka membangun sebuah masjid. Di masjid tersebut ada segala jenis Muslim yang berbeda-beda. Sebagian besar tata cara ibadah mereka, sholat dan doa mereka, dan etika mereka berbeda dari yang saya lakukan.

Masjid itu lebih bersifat Internasional. Di sana terdapat orang-orang Muslim dari Timur Tengah, Pakistan, India. Jika kami pergi ke masjid, kami duduk di lantai, tapi kaum wanita Isma'ili tidak perlu menutup kepala mereka. Tapi di Pakistan mereka barus menutup kepala mereka, itu karena adanya perbedaan kode etik untuk wanita.

Ketika saya pergi ke masjid di sini, saya membawa kerudung saya di bahu. Saya pergi ke sana untuk suatu kegiatan sosial. Sholat diadakan di ruang sholat di lantai atas. Kami di lantai bawah sedang makan dan saya masih menyandang kerudung saya di bahu. Rambut saya kelihatan dan saya kira hal itu tidak dapat diterima.

Salah satu dari lelaki di sana berdiri dan membuat pengumuman, "Ada beberapa wanita yang sangat tidak menghormati dan mereka tidak menutup kepala mereka."

Saya menutup kepala saya dan saya mulai mengomel pada orang di samping saya, "Saya pikir ini ruangan umum, bukan ruang sholat."

Setiap orang menanggapinya dengan berbeda-beda.

Tetapi saya masih sering pergi ke sana, sebab saya rindu jika tidak pergi ke masjid.

Mengapa Anda tidak menutup kepala dan kaki Anda?

Aliran Aga khan berusaha untuk mengikuti zaman, dan menjaga tradisi secara tidak berlebihan serta tidak menonjolkannya. Dia menerjemahkan Al-Quran dan dia dapat mengubahnya menurut waktu dan tempat. Isma'ili di Pakistan mempunyai aturan yang berbeda dengan Isma'ili, katakanlah, di Inggris, dan Isma'ili di Afganistan mempunyai estetika kultural yang sangat berbeda.

Saya pikir saya telah terbiasa diperlakukan seperti ini di mana-mana. Tetapi saya tetap merindukan masjid. Ada waktu dan tempat ketika Anda menginginkan makanan Anda sendiri, selera Anda sendiri. Kerinduan itu tidak akan hilang. Anda dapat kehilangan segalanya tetapi ada beberapa hal tertentu yang tetap Anda rindukan.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: