Mengenang The Grand Old Man

Haji Agus Salim yang juga dijuluki “The Grand Old Man” yang berjuang melalui diplomasi agar Indonesia bisa merdeka dan terbebas dari penjajahan

Haji Agus Salim yang juga dijuluki “The Grand Old Man” adalah seorang tokoh islamis, yang berjuang melalui diplomasi agar Indonesia bisa merdeka dan terbebas dari penjajahan

Moch. Ferdi Al Qadri

TANGGAL 8 Oktober 2022 merupakan peringatan hari kelahiran Masyudul Haq yang ke-138. Mungkin di antara kita banyak yang tidak tahu dengan Masjudul Haq. Akan tetapi, saya kira kita semua tahu siapa itu Haji Agus Salim. Ya, ialah si Masjudul Haq.

Haji Agus Salim adalah seorang tokoh nasional dari kalangan umat Islam. Kiprahnya meliputi pelbagai bidang, mulai dari pemimpin berbagai surat kabar (Hindia Baroe, Neratja, Bendera Islam dan Fadjar Asia), tokoh utama SI bersama HOS Tjokroaminoto, pembina organisasi pemuda JIB (Jong Islamieten Bond), anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), tokoh penting yang mewakili Indonesia dalam perjanjian dengan Liga Arab sehingga Republik Indonesia mendapat pengakuan dari negara-negara Islam secara de jure pada tahun 1947, dan masih banyak lagi.

Agus Salim merupakan tokoh sebelum kemerdekaan yang memainkan
peranan penting dan ikut dalam perjuangan melawan penjajah dengan diplomasi politik. Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim menunjukan eksistensinya dengan masuk ke pemerintahan.

Saat Indonesia merdeka, Haji Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepandaiannya dalam berdiplomasi membuatnya dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Syahrir II dan Kabinet Syahrir III.  Selanjutnya Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Amir Sjarifudin I, II dan kabinet Hatta I, II.

Sesudah pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda, Haji Agus Salim ditunjuk sebagai penasihat Menteri Luar Negeri.  Ketika para pejuang lainnya sedang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman kembalinya Belanda, Haji Agus Salim pergi ke luar negeri, berjuang dalam kancah internasional agar negara lain mau mengakui kedaulatan Indonesia.

Ia giat mengunjungi berbagai negara demi mendapat pengakuan atas kedaulatan Indonesia. Haji Agus Salim ditunjuk sebagai ketua misi diplomatik Republik Indonesia untuk negara-negara Islam di Timur Tengah.

Pada kesempatan yang singkat ini, penulis hanya memotret sepotong perjalanan hidup tokoh yang dijuluki oleh dunia internasional sebagai The Grand Old Man beserta pemikiran dan kiprahnya di bidang pendidikan.

Pada mulanya Haji Agus Salim bernama Masyudul Haq yang berarti pembela kebenaran. Ia lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang Jaksa Kepala di Riau dan ibunya merupakan keluarga terpandang. Karena itulah ia memiliki akses pendidikan yang seluas-luasnya pada masa itu.

Penggantian nama menjadi Agus Salim bermula ketika pengasuhnya yang berasal dari suku Jawa selalu memanggilnya dengan sebutan “Den Bagus” yang berarti bagus. Tak disangka panggilan ini menjadi populer sampai keluar rumah. Sedangkan Salim diambil dari nama ayahnya, Soetan Mohammad Salim. Maka jadilah namanya Agus Salim.

Masa sekolah

Sebelum masuk sekolah dasar yang dulu bernama ELS(Europeesche Lagere School), Agus Salim telah menerima pendidikan agama di dalam keluarga dan di surau. Dari lingkungan inilah ia terlebih dahulu mendapatkan pendidikannya. Semasa di ELS, ia telah menunjukkan kecerdasannya yang di atas rata-rata, terutama dala pelajaran bahasa Belanda. dan lulus tahun 1898 tanpa kesulitan. Setelahnya ia melanjutkan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School) di Batavia selama lima tahun. Pada masa ini Agus Salim kembali menunjukkan kecerdasannya dengan menjadi peringkat pertama di seluruh HBS di Hindia-Belanda.

Pada masa bersekolah di ELS ini dia berkesempatan untuk tinggal di dua rumah, ia tinggal di rumah gurunya yang mulai sepulang sekolah hingga makan malam, setelah itu ia pulang ke rumah keluarganya. Gurunya yang bernama Jan Brouwer, meskipun seorang Belanda yang berjiwa revolusioner. Ia tertarik akan kepandaian Agus Salim dan selama tinggal di rumahnya itulah ia memberikan bimbingan langsung kepada si “bibit unggul”.

Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), ada satu kisah menarik ketika Agus Salim telah lulus HBS. Kabar mengenai dirinya sebagai lulusan terbaik HBS di seluruh Hindia-Belanda sampai kepada Raden Ajeng Kartini. Pada waktu itu Kartini tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda karena hambatan tradisi. Maka ketika mendengar kabar tentang pemuda briliyan yang ingin melanjutkan studinya ke Belanda di bidang kedokteran tetapi terkendala biaya, ia lalu mengirim surat kepada Agus Salim yang berisi tawaran bantuan biaya sebesar 4.800 gulden. Jawaban Agus Salim atas tawaran ini adalah tidak, katanya “Kalau pemerintah Belanda mengirim saya hanya karena anjuran Kartini, dan bukan karena kemauan pemerintah, lebih baik tidak.”

Berguru kepada paman

Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan di Belanda, Agus Salim mulai bekerja sebagai penerjemah, pembantu notaris, hingga akhirnya ia direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje untuk bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah. Meskipun awalnya terjadi ketegangan antara ia dan orang tuanya, akhirnya Agus Salim mengiyakan tawaran untuk pergi ke Jeddah.

Selama bekerja pada Konsulat ia berkesempatan berhaji sebanyak 5 kali. Dalam masa 5 tahun itu pula ia berguru kepada pamannya, Syaik Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang bermukim di Mekah. Pamannya ini merupakan guru para ulama besar di Nusantara, antara lain KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Pertemuannya dengan pamannya ini dimanfaatkan untuk banyak berdiskusi dengan tentang berbagai topik baik itu soal agama atau bukan. Pada masa inilah ia memperoleh kembali keyakinannya kepada Islam lebih kuat dari pada sebelumnya. Ia mengatakan sikapnya terhadap agama sebagai, “daripada tidak percaya menjadi syak dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah” (1984).

Pendidikan Belanda

Agus Salim mengakui setelah mendapatkan pendidikan yang diadakan oleh pihak penjajah, ia sempat tidak percaya kepada agama apapun. Alasannya tetap memeluk agama Islam hanya karena tidak tega kepada keluarganya. Pengalaman ini di kemudian hari mempengaruhi pendiriannya tentang pendidikan. Ia tidak ingin anak-anaknya tenggelam dalam “kubangan lumpur” yang sama ketika ia sekolah dulu. Pendidikan Belanda dirasanya tidak memuaskan. Meskipun sangat mendorong perkembangan akal, hasil didikan ini menjadikan Agus Salim sangat jauh dari kata percaya kepada agama, termasuk Islam.

Dalam buku Djedjak Langkah Hadji A. Salim (1954), Agus Salim mengritik pendidikan yang diadakan oleg sekolah-sekolah pemerintah kolonial itu “amat besar ongkosnja besar pula mularatnja.” Para siswa/siswi dari pribumi yang telah tamat belajar, “pahamnja dan perhatiannja dan perasaannja sudah meniru bangsa Belanda, bukannja paham, perhatian dan perasaan Bumiputera.” Salah satu dampaknya ialah pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang mulai terpelajar hanya ingin mencari jodoh dari kalangan bangsa Eropa. Mereka memandang rendah kaum pribumi (kaumnya sendiri) yang belum terpelajar sebagai orang-orang yang hina dan lebih rendah derajatnya dari mereka.

Selain itu, pendidikan kolonial pada hakikatnya diadakan untuk mengekalkan kekuasaan penjajah. Pendidikan hanya diberikan kepada sekelompok pribumi kelas atas yang nanti akan menjadi pegawai penjajah, kaum pribumi kelas bawah yang jumlahnya mayoritas dibiarkan melarat dan dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah. Hasil tamatan sekolah-sekolah Belanda pada mulanya tidak memiliki perhatian yang serius mengenai penderitaan kebanyakan kaumnya, karena mereka telah ter-belanda-kan.

Pendidikan keluarga

Dalam sistem pendidikan seperti ini, teguh pendirian Agus Salim untuk mendidik sendiri anak-anaknya di rumah. Langkah awal yang ia lakukan untuk mempersiapkan itu ialah menganjurkan kepada istrinya, Zainatun Nahar membaca banyak buku untuk menambah pengetahuan dan mengasah kecerdasannya. Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga tentu harus memiliki bekal ilmu yang mencukupi.

Tidak ada waktu khusus yang ditetapkan oleh Agus Salim kepada anak-anaknya untuk digunakan sebagai waktu belajar. Menurutnya, belajar bisa kapan saja dan di mana saja, mulai dari pagi hingga malam hari, bisa di kamar tidur, dapur, ruang tamu, dan tempat lainnya. Agus Salim seringkali berdiskusi dengan anak-anaknya ketika mereka duduk bersama di meja makan. Juga ia rutin menceritakan kisah-kisah sejarah dunia ketika menemani anak-anaknya tidur.

Haji Agus Salim tidak pernah memaksakan pendapat kepada anak-anaknya. Ia justru berdiskusi dengan mereka. Ketika anak-anaknya memiliki pikiran yang berbeda sang ayah, ia akan mendengarkan pendapat mereka dan memancing diskusi yang lebih dalam. Di rumah juga selalu tersedia buku-buku bacaan, mulai dari bacaan anak-anak hingga bacaan dengan topik serius; tidak hanya dalam bahasa Melayu, melainkan juga bahasa Belanda, Inggris, dan lain-lainnya. Buku-buku ini bisa dinikmati sebagai bacaan yang menyenangkan oleh anak-anaknya karena sejak usia 2 bulan Agus Salim dan istrinya selalu mengajak ngobrol anak-anaknya dengan bahasa Belanda (bahasa intelektual pada masa itu). Kemampuan Agus Salim sebagai seorang poliglot (mampu menguasai berbagai bahasa) juga menurun kepada anak-anaknya. Maka tidak heran kalau sejak berumur 4 tahun, anak-anaknya sudah fasih berbahasa Belanda, disusul dengan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya.

Selain itu patje (begitu anak-anak memanggil Agus Salim) selalu menyelipkan candaan setiap berdiskusi. Ia memang seorang yang jenaka. Meskipun Agus Salim dan keluarganya hampir tidak pernah lepas dari kehidupan yang kekurangan (pernah ketika terjadi krisis ekonomi ia sampai menjual arang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari), pembawaannya yang jenaka inilah yang membuat keluarga Agus Salim tetap merasa gembira dan ikhlas. Kondisi kehidupannya yang begitu melarat ini bisa dibaca di buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984) dan Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik (2017). Kedudukannya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Sjahrir II dan III, atau sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sjarifuddin, atau gelar yang mentereng lainnya tidak membuatnya hidup dalam kemewahan.

Mendirikan HIS

Kiprahnya di bidang pendidikan juga besar di luar keluarganya. Ia pernah mendirikan HIS (Hollands Inlandse School), sekolah dasar untuk anak-anak bumi putera di kampung halamannya pada tahun 1912. Menurut keterangan dalam buku Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik (2017), HIS di Koto Gadang ini didirikan Agus Salim setelah berhenti bekerja di Bureau voor Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda) di Batavia. Pengalamannya mengalami dan menyaksikan perlakuan diskriminatif dari pemerintah Belanda kepada masyarakat pribumi, serta ketidakpuasannya dengan HIS yang didirikan oleh Belanda (yang tentu saja sangat ‘berbau’ Belanda), meneguhkan tekadnya untuk mendirikan sekolah ini. Di sekolah inilah Agus Salim menanamkan pendidikan kebangsaan untuk meningkatkan harga diri kaum pribumi. Mereka memiliki kemampuan dan kecerdasan yang bisa melebihi para penjajah, sebagaimana terdapat dalam buku Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya (1985).

Membina pergerakan pemuda

Haji Agus Salim juga aktif menjadi pembina di JIB (Jong Islamieten Bond), organisasi pemuda Islam yang pertama kali tidak terikat dengan sekat-sekat kesukuan. Dalam JIB inilah ia berhasil mendidik tokoh-tokoh besar seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, dan masih banyak lagi. Pengalaman mendapatkan bimbingan dari Agus Salim ini salah satunya diceritakan oleh M. Natsir dalam bukunya Pesan Perjuangan Seorang Bapak (2019). Suatu ketika Pak Natsir dan Prawoto Mangkusasmito menemui Haji Agus Salim untuk mengutarakan satu kesulitan. Setelahnya Agus Salim mengutarakan pendapatnya secara panjang lebar, tetapi tidak mencapai jawaban yang mereka inginkan. Pak Natsir lalu kembali menanyakan jawabannya, tetapi Agus Salim tidak memberikan jawaban. Yang ia berikan ialah cara analisisnya dan mereka berdua yang harus mengambil keputusan. Dari sinilah Pak Natsir mengakui dengan cara ini Agus Salim menanamkan kemandirian dan keberanian dalam berpikir dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan suatu persoalan.

Penutup

Demikian yang dapat saya tuliskan sedikit tentang kehidupan Haji Agus Salim dan perannya di bidang pendidikan. Hari kelahirannya pada tanggal 8 Oktober 2022 M yang bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. pada 12 Rabiul Awal 1444 H, menambah keistimewaan hari ini. Apa yang penulis tuangkan dalam tulisan sederhana ini hanya sedikit dari ungkapan kebahagiaan itu. Semoga dengan tulisan ini kita semua dapat merasakan kebahagiaan yang berlipat ganda: dua manusia istimewa pernah terlahir ke dunia untuk membela manusia dan menegakkan agama Islam dengan caranya masing-masing. Tentu keistimewaan yang utama tetap dicurahkan kepada Baginda Rasulullah saw., manusia terbaik, rahmat kepada seluruh alam.

Tentu saja bagi kita umat Islam yang hidup hari ini, menjadi jelaslah tugas kita ke depannya: mengambil pelajaran dari kehidupan para pendahulu dan melanjutkan perjuangan mereka. Wallahu a’lam.*

Mahasiswa PAI UMS, Pegiat Komunitas SEED Institute

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: