Dalil Larangan Mendatangi Dukun dan Peramal

Dalil Larangan Mendatangi Dukun dan Peramal
Dalil larangan mendatangi dukun tercantum di dalam al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Foto/Ilustrasi: pinterest
Dalil larangan mendatangi dukun dan peramal cukup banyak. Hal tersebut tertuang di dalam Al-Qur'an maupun hadis Nabi Muhammad SAW . Risiko orang yang percaya kepada dukun dan peramal amatlah berat, bisa disebut kafir. Sholatnya selama 40 tahun tertolak.

"Barangsiapa mengaku-ngaku mengetahui sesuatu dari hal yang gaib, dia telah kafir,” ujar Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya Syarah Aqidah Washitiyah.

Dr Umar Sulaiman Al-Asyqar dalam ‘Alamus Sihr menjelaskan yang dimaksud perkara gaib yaitu perkara yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia.

Termasuk iman kepada Allah adalah beriman bahwa hanya Allah SWT yang mengetahui seluruh perkara gaib. Allah SWT berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah, ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah..” [An-Naml/27: 65]

Kemudian terkadang Allah memberitahukan sebagian perkara gaib itu kepada rasul yang Dia kehendaki lewat wahyu-Nya. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya“. [QS Al-Jinn/72: 26-27]

Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid menyatakan, barangsiapa mengaku-ngaku (mengetahui) perkara gaib dengan sarana apa saja –selain yang dikecualikan oleh Allah kepada para rasul-Nya (lewat wahyu-Nya)- maka dia pendusta, kafir. Baik hal itu dengan sarana membaca telapak tangan, gelas, perdukunan, sihir, perbintangan/zodiak, atau lainnya.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Barangsiapa mendatangi (yakni menggauli/mengumpuli) wanita haidh atau mendatangi (yakni menggauli/mengumpuli) wanita pada duburnya atau mendatangi kâhin (dukun), maka dia telah kafir kepada (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW“. [HR. Tirmidzi; Abu Dawud; dll]

Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad, dari Shafiyyah binti Abi ‘Ubaid, dari salah seorang isteri Nabi Radhiyallahu anha, bahwasanya beliau SAW bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.

“Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal (orang pintar) lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka sholatnya tidak akan diterima selama 40 malam.” (HR Muslim dan Ahmad)

Kafir di sini maksudnya kafir kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam, dengan dalil sholatnya tidak diterima 40 hari. Karena seandainya kafir besar yang mengeluarkan dari Islam, maka shalatnya seumur hidupnya tidak diterima.

Dukun
Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) dalam "Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah" mengatakan kita tidak mempercayai (ucapan) kahin (dukun) maupun ‘arraf (tukang ramal). "Setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ kaum Muslimin,” katanya.

Pada asalnya, kahin adalah orang yang didatangi oleh setan yang mencuri pendengaran di langit, lalu ia memberitahukannya kepada kahin (dukun).

Allah SWT berfirman:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُتَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pen-dusta.” [QS Asy-Syu’araa’: 221-223]

Kahin (dukun) adalah orang yang mengambil informasi dari setan yang mencuri pendengaran dari langit. Atau dapat dikatakan bahwa dukun adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara gaib yang akan terjadi di masa yang akan datang atau yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang tersimpan dalam hati seseorang.

Sebelum Nabi SAW (bi’tsah) diutus, dukun-dukun tersebut berjumlah sangat banyak, tetapi setelah bi’tsah jumlah mereka berkurang (sedikit), karena Allah menjaga langit dengan adanya bintang-bintang.

Tukang Ramal
Tukang ramal atau ‘arraf yaitu orang yang mengaku mengetahui tentang suatu hal dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian, atau tempat barang hilang dan semacamnya. Sering disebut sebagai tukang ramal, ahli nujum, peramal nasib dan sejenisnya.

Di dalam Shahiihul Bukhari, dari hadis ‘Aisyah ra bahwa ia pernah berkata: “Abu Bakar ra pernah memiliki seorang budak laki-laki yang makan dari upah yang diberikannya. Suatu hari budak itu datang menemuinya dengan membawa makanan. Lalu Abu Bakar ra memakannya.

Budak itu tiba-tiba berkata kepadanya: ‘Tahukah engkau dari mana aku mendapatkan makanan itu?’ Abu Bakar balik bertanya: ‘Dari mana?’

Budak itu menjawab: ‘Dahulu di masa Jahiliyyah aku pernah berlagak meramal untuk seseorang, padahal aku tidak bisa meramal. Aku sengaja menipunya. Lalu dia menjumpaiku lagi dan memberiku upah itu. Itulah yang engkau makan tadi.’

Serta merta Abu Bakar ra memasukkan jari tangannya ke dalam mulut, sehingga ia memuntahkan seluruh isi perutnya.” (HR Bukhari)

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin dalam Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid menjelaskan bahwa bertanya kepada ‘arrâf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam:

1. Sekadar bertanya saja. Ini hukumnya haram.Berdasarkan hadis: “Barangsiapa mendatangi ‘arrâf…”. Penetapan hukuman terhadap pertanyaannya menunjukkan terhadap keharamannya. Karena tidak ada hukuman kecuali terhadap perkara yang diharamkan.

2. Bertanya kepada dukun, meyakininya, dan menganggap (benar) perkataannya.Ini kekafiran, karena pembenarannya terhadap dukun tentang pengetahuan ghaib, berarti mendustakan terhadap Al-Qur’an.

3. Bertanya kepada dukun untuk mengujinya, apakah dia orang yang benar atau pendusta, bukan untuk mengambil perkataannya.Maka ini tidak mengapa, dan tidak termasuk (larangan) dalam hadis (di atas). Karena Nabi SAW pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad untuk mengujinya.

4. Bertanya kepada dukun untuk menampakkan kelemahan dan kedustaannya. Ini terkadang (hukumnya) wajib atau dituntut.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: