Makna Kisah Nabi Muhammad SAW Tak Memberi Maaf Pencuri

Makna Kisah Nabi Muhammad SAW Tak Memberi Maaf Pencuri
Berbuat baik melebihi keadilan akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Foto/Ilustrasi: dok. SINDOnews
Kisah Nabi Muhammad SAW tidak memberi maaf kepada pencuri disampaikan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan An-Nasa'i. Muhammad Quraish Shihab menjelaskan mengapa Nabi SAW menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.

Kisahnya, Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi SAW. Beliau memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan memaafkan, maka Nabi SAW bersabda, "Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya kepadaku".

Quraish Shihab mengatakan Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Berbuat baik melebihi keadilan --seperti memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas-- akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat," ujarnya dalam bukunya yang berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" mengatakan

Memang, kata Quraish Shihab, Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan" ( QS Al-Nahl 116] : 90), karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. "Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan," katanya.

Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Ali bin Abi Thalib bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya."

Menurut Quraish Shihab, jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi SAW menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.

Di sisi lain, Quraish Shihab mengatakan hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian ketetapan Ilahi.

"Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, sedangkan yang memberi manfaat bagi manusia itulah yang tetap bertahan di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan". ( QS Al-Raid [13] : 17).

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian ( QS Al-Baqarah [2] : 253). Menurut Quraish Shihab, perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak.

Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat (49) : 13.

Dalam surat Az-Zukhruf (43) ayat 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka (melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]: 148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah".

Di sini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Kata Quraish Shihab, tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini.

"Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan baik..." ( QS Al-Nisa' [4] : 95).

"Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" ( QS Al-Zumar [39] : 9).

Menurut Quraish Shihab, keadilan sosial bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."

Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: