Sudah Mabrurkah Haji Anda? Melihat Kembali Jejak Kita di Arafah

Sudah Mabrurkah Haji Anda? Melihat Kembali Jejak Kita di Arafah
Ketika engkau singgah di Arafah, apakah engkau telah sejenak untuk musyahadah kepada Tuhan? tanya Imam Junaid al-Baghdadi. Foto/Ilustrasi: muslim judicial council
Arafah adalah padang yang sangat luas dan gersang, di tempat inilah seluruh jamaah haji harus wukuf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Karena wukuf di Arafah termasuk salah satu rukun haji .

M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran " menjelaskan bahwa secara harfiyah, wukuf berarti istirahat, selama wukuf di Arafah, manusia mestinya mengistirahatkan tenaga dan pikirannya dari aktivitas duniawi dengan melakukan kontemplasi ber-tafakkur kepada Allah.

Di Padang Arafah inilah semua jamaah haji berkumpul dan tidak ada diskriminasi baik yang kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, tanpa membedakan status jabatan dan status sosialnya. "Mereka semua sama di hadapan Allah dan yang membedakan adalah ketaqwaannya," ujar Quraish Shihab.

Suatu kali Imam Junaid Al-Baghdadi (220-298 H) mendapati seorang lelaki yang baru pulang haji . Beliau banyak bertanya. Salah satunya tentang Arafah.

“Ketika engkau singgah di Arafah, apakah engkau telah sejenak untuk musyahadah kepada Tuhan?” Imam Junaid al-Baghdadi.

“Tidak!” jawab lelaki itu.

“Berarti engkau tidak singgah di Arafah,” ujar Imam Junaid.

Sekadar mengingatkan, Imam Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar yang semasa hidupnya bermukim di Baghdad. Nama lengkapnya Al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandi Al-Baghdadi As-Syafi'i.

Beliau lahir di Nihawand, Persia, tetapi keluarganya bermukim di Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam mazhab Syafi'i , dan akhirnya menjadi qadi kepala di Baghdad. Beliau mempelajari ilmu fiqih kepada Abu Tsur al-Kalbi yang merupakan murid langsung dari Imam Asy-Syafi'i.

Imam Junaid al-Baghdadi mengatakan bagi jamaah haji, ketika menginjakkan kaki di Arafah, singgahlah sejenak untuk musyahadah (bersaksi) kepada Tuhan. Jika itu tidak dilakukan, maka kata Imam Junaid Al-Baghdadi, dianggap belum berhaji.

Nilai Persamaan
Rasulullah SAW dalam salah satu khutbahnya bersabda: ”al-Hajju Arafah,” artinya orang yang beribadah haji harus kumpul (wukuf) di Arafah. Sehingga tidak sah haji bagi orang yang tidak wukuf di Arafah. Dan melalui hadis tersebut, Nabi SAW betul-betul menegaskan agungnya nilai persamaan manusia dan mengajak umatnya untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Jika tawaf bergerak atau berputar mengelilingi Kakbah, maka setelah kehidupan yang diwarnai dengan gerakan, ada suatu saat gerakan itu akan berhenti.

Semua manusia nantinya akan berhenti bergerak setelah mengalami kematian. Jantungnya akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan berkeliat.

Tawaf dan sa’i, keduanya bermuatan filosofis. Tawaf berputar-putar mengelilingi Kakbah, sedangkan sa’i berjalan lurus. Pada tanggal 9 Dzulhijjah Allah menyatukan antara tawaf dengan sa’i di satu titik.

Pada hari itu semua jamaah haji berkumpul di satu titik untuk melakukan wukuf di Arafah, semua harus sudah dalam kondisi makrifat. Ketika berada di titik ma’rifat, laksanakan sekadar kewajibanmu, dan berikanlah kesempatan kepada Tuhan untuk bicara.

Muhammad Zuhri, dalam bukunya berjudul "Tasawuf Transformatif" mengatakan bagi tamu-tamu Allah yang diperkenankan bertemu dengan-Nya, maka akan menerima pesan-pesan Tuhan berupa ilham-Nya ke dalam hati: Ubahlah gaya hidupmu, gantilah cara hidupmu yang destruktif menjadi konstruktif.

"Inilah yang disebut hidayah, hanya dengan menemukkan hidayah, kehendaknya akan senantiasa searah dengan kehendak Allah," ujarnya.

Mengaku Salah
Dan berdoalah kepada Allah dengan mengakui kesalahan dan segala dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya berjudul "Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik" mencontohkan doa itu sebagai berikut:

“Tuhanku, telah lama aku mengabaikan-Mu. Telah lama aku tulikan telingaku untuk mendengarkan seruan-Mu. Aku pusatkan perhatian hanya pada ambisiku. Hatiku dipenuhi kedengkian dan kebengisan. Tanganku berlumuran darah orang-orang yang aku zalimi. Tubuhku sudah penuh dibalut lumpur kebusukan.

Ampunilah semua dosa yang pernah kulakukan. Semua kejelekan yang pernah aku rahasiakan. Bangunkan aku dari ketergelinciranku. Peganglah tanganku, kuatkan kakiku, sehingga walau bertatih-tatih, aku tetap berjalan menuju ridha-Mu.

Bantulah aku menundukkan kehendakku pada kehendakMu, segarkan jiwaku dengan siraman cinta-Mu. Tuhanku sesunggunya kasih sayang-Mu lebih luas dari dosa-dosaku, sekiranya dosa-dosaku di hadapan-Mu sangat besar, kasih sayang-Mu jauh lebih besar dari dosa-dosaku.

Jika aku tidak layak untuk bisa menggapai kasih sayang-Mu, kasih sayang-Mu lebih layak untuk memenuhi dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala suatu wahai Yang paling Pengasih dari segala yang mengasihi."

Pengakuan
Arafah itu sendiri bermakna pengakuan, pengenalan. Ketika di Arafah seorang hamba seharusnya menemukan makrifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanannya, menyadari keagungan Tuhan, menyadari kesalahankesalahannya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya.

Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkan untuk menjadi arif (sadar) dan mengetahui.

Kesadaran yang demikian, menurut Quraish Shihab mengutip Ibnu Sina, akan membentuk manusia yang arif. Yakni manusia yang mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran dan keadilan kepada umat manusia. Kualitas individu yang demikian, akan mampu melihat dan mempersepsikan bahwa yang baik sebagai kebaikan, yang benar sebagai kebenaran, yang jelek sebagai kejelekan dan yang salah sebagai kesalahan.

Hatinya selalu gembira, dan semua makluk dipandangnya sama (karena memang semuanya sama, sama-sama membutuhkan-Nya). Ia tidak akan mencari-cari dan mengintip-intip kelemahan, kejelekan dan kesalahan orang lain. Karena jiwanya selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.

Arafah merupakan refleksi pusaran hidup manusia yang menyimbolkan bahwa manusia kelak akan dikumpulkan di Padang Mahsyar ( QS al-An’am [6] :51) untuk mempertanggungjawabkan seluruh amalnya selama di dunia.

Allah Taala berfirman:

وَاَنۡذِرۡ بِهِ الَّذِيۡنَ يَخَافُوۡنَ اَنۡ يُّحۡشَرُوۡۤا اِلٰى رَبِّهِمۡ‌ لَـيۡسَ لَهُمۡ مِّنۡ دُوۡنِهٖ وَلِىٌّ وَّلَا شَفِيۡعٌ لَّعَلَّهُمۡ يَتَّقُوۡنَ

Artinya: Peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) itu kepada orang yang takut akan dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari Kiamat), tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat (pertolongan) selain Allah, agar mereka bertakwa. ( QS al-An’am [6] :51)

Padang Mahsyar adalah sebuah padang yang sangat panas dan menyengat. Di sana manusia ditimpa perasaan resah dan gelisah, karena akan ditimbang kadar amal perbuatannya. Bagi orang yang timbangan amalnya buruk, mereka berharap bisa hidup kembali ke dunia untuk bersedekah dan beramal saleh.

Allah SWT berfirman:

حَتّٰٓى اِذَا جَآءَ اَحَدَهُمُ الۡمَوۡتُ قَالَ رَبِّ ارۡجِعُوۡنِۙ
لَعَلِّىۡۤ اَعۡمَلُ صَالِحًـا فِيۡمَا تَرَكۡتُ‌ؕ كَلَّا‌ ؕ اِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآٮِٕلُهَا‌ؕ وَمِنۡ وَّرَآٮِٕهِمۡ بَرۡزَخٌ اِلٰى يَوۡمِ يُبۡعَثُوۡنَ
فَاِذَا نُفِخَ فِى الصُّوۡرِ فَلَاۤ اَنۡسَابَ بَيۡنَهُمۡ يَوۡمَٮِٕذٍ وَّلَا يَتَسَآءَلُوۡنَ
فَمَنۡ ثَقُلَتۡ مَوَازِيۡنُهٗ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
وَمَنۡ خَفَّتۡ مَوَازِيۡنُهٗ فَاُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ خَسِرُوۡۤا اَنۡفُسَهُمۡ فِىۡ جَهَـنَّمَ خٰلِدُوۡنَ‌
تَلۡفَحُ وُجُوۡهَهُمُ النَّارُ وَهُمۡ فِيۡهَا كٰلِحُوۡنَ
اَلَمۡ تَكُنۡ اٰيٰتِىۡ تُتۡلٰى عَلَيۡكُمۡ فَكُنۡتُمۡ بِهَا تُكَذِّبُوۡنَ‏
قَالُوۡا رَبَّنَا غَلَبَتۡ عَلَيۡنَا شِقۡوَتُنَا وَكُنَّا قَوۡمًا ضَآلِّيۡنَ‏

Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan." Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan.

Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.

Barangsiapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Dan barang siapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam.

Wajah mereka dibakar api neraka, dan mereka di neraka dalam keadaan muram dengan bibir yang cacat.

Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu, tetapi kamu selalu mendustakannya?

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan kami adalah orang-orang yang sesat. ( QS Al-Mukminun[23] : 99 - 106).
(mhy Miftah H. Yusufpati

No comments: