Kisah Nabi Muhammad SAW Tidur di Depan Pintu Rumah karena Pulang Kemalaman

Kisah Nabi Muhammad SAW Tidur di Depan Pintu Rumah karena Pulang Kemalaman
Kisah Nabi Muhammad tidur di depan pintu rumah karena pulang kemalaman adalah kisah teladan yang patut menjadi pelajaran bagi para suami. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah Nabi Muhammad tidur di depan pintu rumah karena pulang kemalaman adalah kisah teladan yang patut menjadi pelajaran bagi para suami. Rasulullah SAW tak ingin menjadi beban orang lain, termasuk keluarganya sendiri.

Kitab Durratun Nashihin merawikan kisah bagaimana Rasulullah SAW dan Aisyah berumah tangga. Tentang Nabi Muhammad tidur di depan pintu tersebut dikisahkan, suatu malam, Rasulullah SAW berjalan pulang ke rumah dari masjid.

Sesampainya di rumah, Aisyah RA rupanya sedang tertidur lelap. Beliau lantas berupaya agar istrinya itu tidak tersentak bangun. Dengan perlahan-lahan, Rasulullah SAW membuka pintu rumah, sehingga membiarkan istrinya beristirahat. Nabi SAW bahkan memutuskan untuk tidur di luar kamar.

Riwayat lain mengisahkan, suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang subuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya. Dengan gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.

"Mengapa Nabi tidur di sini?"

"Aku pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu," jawab Nabi.

Dihinggapi Setan
Kisah lainnya yang bisa dijadikan pelajaran adalah ketika Rasulullah SAW malam-malam meninggalkan kamarnya tanpa membangunkah istrinya, Aisyah.

Rasulullah SAW memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Di sisinya, Aisyah masih terbaring dalam lelap. Namun, suara ranjang yang berdenyit membuka mata Aisyah. Sang istri kaget mendapati suaminya tidak lagi berbaring di sampingnya. Karena heran, Aisyah lantas diam-diam keluar dari kamarnya.

Bahkan, malam-malam Aisyah kemudian mendatangi setiap rumah istri-istri Nabi SAW selain dirinya. Tiap mereka juga heran, bukankah malam itu jatahnya Aisyah. Tentu saja, Rasulullah SAW berada di rumah Aisyah.

Akhirnya, putri Abu Bakar ini menuju Masjid Nabawi, yang letaknya bersebelahan dengan rumah. Ternyata, dia mendapati sang suami sedang ada di dalam masjid itu. Tampak beliau sehabis menunaikan sholat sunah.

Rasulullah SAW pun mengetahui, istrinya itu sedang mencari-carinya. Sebab, nafas Aisyah terengah-engah. Ketika Aisyah sampai di hadapannya, dengan perlahan Rasulullah SAW menegur, “Engkau habis dari mana, wahai Aisyah?”

Yang ditanya pun tampak malu-malu. Aisyah berupaya menutupi kecurigaannya. Rasulullah SAW pun dapat menebak perasaan istrinya itu. Dengan tersipu, Aisyah pun berkata, “Bagaimana mungkin tidak curiga, wahai suamiku, engkau pergi dari kamar kita tanpa permisi.”

Rasulullah SAW menasihati istrinya itu. “Itu berarti engkau telah dihinggapi setan. Padahal, tujuanku (pergi tanpa suara) agar engkau bisa beristirahat dengan tenang. Sebab, aku mendapatkan giliran ronda berjaga malam ini,” kata Rasulullah SAW menjelaskan alasannya. Beliau juga menuturkan, dia ingin sholat malam kala itu.

Aisyah cukup tersentak, “Apakah mungkin seorang isteri utusan Allah juga dihinggapi setan?”

Rasulullah menjawab, “'Sesungguhnya setan itu mengalir dalam diri manusia mengikuti urat darahnya. Dijadikannya dada manusia itu sebagai tempatnya. Kecuali orang-orang yang dilindungi Allah.”

Aisyah bertanya lagi, siapa sajakah yang termasuk mendapatkan perlindungan Allah. Rasulullah SAW menerangkan, mereka adalah orang beriman yang memohon perlindungan-Nya dari jebakan setan.

Terlalu Asin
Hidup dalam suasana keluarga memberinya kenangan indah yang kaya dari sikap keseharian utusan Allah itu. Nabi diketahui tak pernah mengeluh meski keadaan kurang mendukung. Hatinya sangat lapang. Pernah Nabi tak medapati makanan apapun untuk sarapan di meja dapurnya. Seketika Nabi berniat puasa untuk hari itu.

Rasulullah SAW adalah suami dan pribadi yang sangat sabar dan tidak banyak protes terhadap istrinya. Beliau juga sangat sopan dan tidak pernah satu kali pun mencela istrinya.

Sebuah riwayat menceritakan dari 'Aisyah, suatu hari masakan Aisyah rasanya terlalu asin. Namun, Rasulullah SAW tetap menyanjung makanan itu tanpa berkomentar apa pun. Sajian tersebut juga habis dilahapnya.

Belakangan, Aisyah mencicipi masakannya sendiri dan sadar akan rasa yang terlampau asing.

Sebagai istri, wajar bila kecemburuan datang ketika suami menyebut-nyebut nama perempuan lain. Aisyah ra pernah suatu ketika terbakar api cemburu karena merasa dirinya dibanding-bandingkan dengan Khadijah ra, istri pertama Rasulullah SAW.

Di sinilah peran Rasulullah SAW membimbing istrinya itu agar rasa cemburu tidak meningkat ke emosi yang tak perlu. Sanjungan terhadap Khadijah ra tidak berarti menafikkan peran satu istrinya yang lain. Rasulullah SAW sebagai seorang suami mampu mengubah kecemburuan istrinya menjadi cinta kasih.

Aisyah ra merupakan wanita cerdas dan beruntung. Kebersamaan dengan Rasulullah SAW merupakan upaya belajar sepanjang hayat. Saat salah seorang sahabat bertanya, seperti apakah akhlak Rasulullah SAW. ‘Aisyah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah Al-Qur'an “berjalan”. Maknanya, kehidupan Nabi Muhammad SAW selalu sesuai dengan perintah Alquran.

Suatu malam, Aisyah RA begitu heran mendapati suaminya sholat sunnah berpuluh rakaat. Bahkan, kaki Rasulullah tampak bengkak-bengkak karena itu. Aisyah pun bertanya, “Mengapa engkau melakukan ini, ya Rasulullah? Bukankah engkau sudah dijamin masuk surga kelak oleh Allah?”

Apa jawab beliau? Rasulullah SAW dengan nada haru berkata, ibadah sholat ini sebagai upayanya memanjatkan rasa syukur kepada Allah.

Akhlak Al-Quran
Setelah Nabi Muhammad wafat, seorang arab badui menemui Siti Aisyah dan berkata: "Ceritakan padaku akhlak Muhammad”.

Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan.

Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “Ah, semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri.

“Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, "Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu."

Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: