Ketika Umat Islam Dipaksa Pindah Agama Kristen Seusai Granada Spanyol Jatuh

 Taman di Alhambra Granada Spanyol. Umat Islam Spanyol mengalami kemunduran pascajatuhnya Granada ke tangan Kristen

Taman di Alhambra Granada Spanyol. Umat Islam Spanyol mengalami kemunduran pascajatuhnya Granada ke tangan Kristen

Foto: muslimheritage.com
Umat Islam Spanyol mengalami kemunduran pascajatuhnya Granada ke tangan Kristen
— Jatuhnya emirat atau taifa Granada pada 1492 membuka babak baru bagi sejarah Islam di Spanyol atau Benua Eropa pada umumnya. Sayangnya, fase itu adalah kedukaan yang menimbulkan trauma. 
Sebelum Granada, sejumlah negeri Islam di Andalusia telah runtuh: Toledo (1085), Kordoba (1236), dan Sevilla (1248).
Ironisnya, kejatuhan setiap taifa itu selalu didahului dengan adanya konflik internal di tataran elite Muslim setempat. Motifnya adalah perebutan kekuasaan yang membuka peluang bagi masuknya pengaruh musuh. 

Masa 1492 sering kali ditandai sebagai mulanya penguasaan kembali Kristen atas tanah Hispania (Reconquista). Bagaimanapun, intimidasi yang dilakukan Salibis sudah dilakukan jauh sebelum itu. Sesu dah menaklukkan taifa-taifa, semua kerajaan Nasrani memaksa kaum Muslimin setempat dengan kekerasan.

Mereka dipaksa untuk murtad dan memeluk agama Kristen. Yang tidak mau akan diusir ke seberang lautan, semisal Afrika Utara, Sisilia, atau Anatolia. Kebebasan mereka sebagai warga yang merdeka benar-benar dibatasi sejak negerinya dikuasai Salibis.

Ya, Reconquista tidak sekadar berarti direbutnya kembali tanah Hispania dari tangan kaum Muslimin oleh kelompok Kristen.

Dengan sistematis, segala be ntuk pengaruh Islam hendak dihapuskan. Jejak-jejak pencapaian kaum Muslimin di bidang politik, sosial, dan kultur masyarakat Semenanjung Iberia terus digerus.

Reconquista pun tidak hanya sebatas perang dan penaklukan, tetapi juga repopulasi secara besar-besaran.

Berbagai wilayah taifa yang direbut dari tangan raja-raja Muslim lantas ditempati umat Nasrani. Raja-raja Kristen di Eropa meng ambil orang-orang mereka sendiri untuk ditempatkan di berbagai lokasi di Iberia sejak abad kesembilan.

Dengan demikian, wajah demografis Andalusia perlahan-lahan berubah sama sekali. Para penguasa Kristen bervisi menjadikan Iberia sebagai negeri satu agama. Homogenisasi seperti itu sangat bertolak belakang dengan corak budaya dan sosial setempat ketika masih dikuasai Islam.

Sejak dikuasai Bani Umayyah, Andalusia menerima dengan tangan terbuka komunitas-komunitas non-Muslim. Bahkan, kaum Yahudi, misalnya, mencapai puncak peradaban saat menjadi warga Andalusia. 

Bersama-sama, unsur Islam, Kristen, dan Yahudi membangun kemajuan Iberia di bawah bendera kekhalifahan. Hal itu dengan catatan, orangorang non-Islam mesti membayar pajak (jizyah). 

Jika mereka tidak bersedia membayar pajak, hukumannya adalah dipenjara. Kebijakan pajak sesungguhnya diteruskan kerajaan-kerajaan Kristen begitu mereka menguasai Andalusia.   

Akan tetapi, polanya begitu serampangan dan jelas sekali didasari dendam, alih-alih keadilan. Orang-orang non-Nasrani dibebani kewajiban pajak yang sangat besar. Kalau tidak mau ataupun tidak mampu membayarnya, warga tersebut akan diusir dari daerah tempat tinggalnya.

Praktis, pemerintahan Salibis ini tidak ubahnya teror bagi komunitas Muslim dan Yahudi. Reconquista menyebabkan mereka tercerabut dari kebebasan dan hak-hak sipil. 

Banyak kasus pengusiran terjadi. Ambil contoh, pada 30 Juli 1492, sekitar 200 ribu umat Yahudi diusir secara paksa oleh Raja Ferdinand Aragon. Pada tahun berikutnya, Uskup Agung Hernando de Talavera memaksa penduduk Muslim Granada untuk memeluk Katolik. Jika tidak mau berpindah keyakinan, mereka akan diusir dari Iberia.

Ignacio Tofino-Quesada dalam karyanya, Censorship and Book Production in Spain During the Age of the Incunabula menjelaskan, baik Ferdinand maupun Isabella bertanggung jawab dalam fenomena Reconquista. 

Pada 1502, ratu tersebut menetapkan aturan bahwa seluruh umat non- Kristiani yang berada di wilayah Kerajaan Kastilia wajib mengganti agamanya menjadi Katolik.

Kebijakan serupa juga diterapkan Raja Charles V terhadap umat Islam yang bermukim di wilayah Kerajaan Aragon pada 1526, ujar Ignacio. 

Menurut catatan sejarah, Raja Philip III dari Spanyol mengusir 300 ribu Muslim Andalusia antara 1610 dan 1614 lewat titah yang ia keluarkan pada 22 September 1609. 

Melalui praktik tersebut, rezim Salibis berusaha melenyapkan semua jejak peradaban Islam yang nyata-nyata telah banyak memberikan kontribusi dalam proses pencerahan Eropa.

Waktu menjadi tidak lagi sama bagi kaum Muslimin Andalusia. Sejak Reconquista diberlakukan, yang sangat efektif semenjak jatuhnya Granada, perayaan hari-hari besar Islam dihapuskan dari kalender nasional. 

Tidak ada lagi keramaian Idul Fitri atau Idul Adha di pusat-pusat kota. Sebaliknya, tanggal tumbangnya Emirat Granada, yakni 2 Januari diperingati secara besar-besaran. 

Bahkan, hingga kini perayaan tahunan itu masih digelar secara rutin dalam bentuk Dia d ela Toma de Granada. Pawai dan arak-arakan diadakan dengan meriah, seolah-olah itulah momen gembira yang patut dikenang.

Tentu saja, Dia de la Toma hanya akan melukai hati kaum Muslimin Spanyol, khususnya di Granada. Pasalnya, perayaan tersebut seolah-olah menyiratkan Islam sebagai makhluk yang tidak boleh lagi muncul di daratan Hispania, bahkan dalam bentuk apa pun.

 

Dewan Islam Granada berusaha melobi otoritas kota setempat untuk menghentikan perayaan Dia de la Toma. Namun, hingga saat ini perminta an tersebut belum lagi dikabulkan, ujar Craig S Smith dalam artikelnya, Granada Journal: Where the Moors Held Sway, Allah Is Praised Again. sumber : Harian Republika

No comments: