Ketika Raja-Raja Kristen Eropa Bersuka Cita Pasca-Runtuhnya Islam di Andalusia

 Istana Al Hambra Andalusia Spanyol. Kekuatan Islam di Andalusia Spanyol runtuh karena persoalan internal umat

Istana Al Hambra Andalusia Spanyol. Kekuatan Islam di Andalusia Spanyol runtuh karena persoalan internal umat

Foto: wikipedia
Kekuatan Islam di Andalusia Spanyol runtuh karena persoalan internal umat

Andalusia merupakan sebutan bagi wilayah kedaulatan Islam di Semenanjung Iberia. Sejak abad kedelapan, sebagian besar daerah di ujung barat Eropa itu berada dalam kendali Bani Umayyah.

Bahkan, pada 929 M Abdurrahman III memproklamasikan berdirinya kekhalifahan baru di sana, guna menyaingi Abbasiyah di Asia dan Fatimiyah di Afrika Utara. Kota Kordoba kemudian ditetapkannya sebagai pusat pemerintahan. 
Memasuki abad ke-11 M, Kekhalifahan Kordoba kian bersengkarut akibat berbagai prahara politik. Akhirnya, negara Umayyah di Andalusia itu pun run tuh. 

Dalam dua dekade, yakni 1010-1030 M, anta relite Muslim setempat hanyut dalam persaingan demi mempertahankan kekuasaan. Mereka berambisi melemahkan lawan-lawan politiknya yang sesungguhnya saudara seiman walaupun harus bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Kristen di perbatasan. 

Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013) menuturkan, sejumlah ulama dan bangsawan berkumpul di Kordoba pada 1031 M/422 H.

Pertemuan yang dipimpin qadi agung Kordoba Abu al-Hazm bin Jahur itu sampai pada kesimpulan yaitu tidak ada lagi kalangan Bani Umayyah yang layak untuk mengatur urusan negeri. Hadirin kemudian setuju untuk membentuk sebuah dewan syura yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan negara. 

Bagaimanapun, pengaruh para elite Kordoba sesungguhnya hanya menjangkau kota tersebut. Adapun bagian-bagian lainnya dari keseluruhan Andalusia tidak memedulikan (bekas) jantung kekuasaan Umayyah itu. Setiap dari mereka menganggap diri merdeka sepenuhnya. 

Dengan perkataan lain, Andalusia benar-benar sudah terpecah. Yang dahulunya bersatu di bawah bendera yang sama, kini memaklumkan kedaulatan. 

As-Sirjani mengatakan, itulah awal dari masa Duwailat ath-Thawa`if atau Muluk ath-Thawa`if. Menurut Morony dalam The Encyclopaedia of Islam (1993), secara kebahasaan muluk ath-thawa`if berarti 'raja-raja yang menguasai bagian-bagian teritorial.' 

Istilah itu mulanya merujuk pada si tuasi di bumi Iran pada masa antara penaklukan Is kandar yang Agung (336-323 SM) dan terbentuknya Imperium Persia (224 M). 

Dalam kurun waktu tersebut, kawasan itu terbagi-bagi menjadi kerajaankerajaan kecil yang saling bertempur, alih-alih bersatu.

Sejarawan Muslim dari abad ke-11, Said al- Andalusiy, kemudian mengadopsi terminologi itu untuk menjelaskan keadaan Andalusia pascajatuhnya Daulah Umayyah. 

Wilayah Muslimin di Iberia kala itu mencakup sekira 450 ribu km persegi. Region seluas itu mewujud sebagai negeri-negeri kecil yang independen. Jumlahnya puluhan, tetapi yang terkuat di antaranya adalah 22 negara. 

Masing-masing dipimpin dinasti yang berlainan serta menerapkan struktur pemerintahan yang lengkap: mulai dari pemimpin, kementerian, pasukan militer, hingga duta-duta besar. Mereka telah kehilangan unsur paling utama dalam kekuatan, yaitu persatuan, tulis as-Sirjani. 

Munculnya thawa`if (tunggal: tha`ifah) itu tentunya membuat suka cita raja-raja Kristen Eropa. Sebab, mereka sudah lama menghendaki kemunduran Islam di Iberia. Secara geografis, kerajaan- kerajaan, seperti Leon, Kastila, Navarra, dan Aragon berbatasan dengan sisi utara Andalusia. 

Sejak bubarnya Dinasti Umayyah, mereka kian berani mengganggu daerah-daerah perbatasan. Bahkan, taifa-taifa yang lemah secara militer atau ekonomi dipaksanya untuk menyerahkan upeti. 

Sering kali kaum Salibis memprovokasi terjadinya perang saudara antarsesama Muslimin yang berbeda taifah. Berikut ini adalah sejumlah dinasti yang terbentuk pada masa itu.Rol

No comments: