Buku Biografi Tokoh Masyumi dan Analisis AM Fatwa dari Jeruji Besi

 

Buku biografi tokoh Masyumi dinilai sebagai pertanggung jawaban pada generasi yang akan datang terkait kontribusi tokoh terhadap agama, dan bangsa

PENULISAN biografi tokoh Masyumi biasanya dimulai dari usia 70 tahun. Ini sudah menjadi “sunnah” di kalangan mereka. Hal ini saya dapati dari pengantar buku “Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan; Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H.” (Lukman Hakiem, 1993: XIII).

Simak catatan Lukman Hakiem berikut; “Lebih dari dua tahun yang lalu, penulis bertemu Pak Yunan Nasution. Dalam pertemuan di kantor Dewan Dakwah itu, Pak Yunan bercerita tentang tradisi yang telah dikembangkan di kalangan tokoh-tokoh bekas partai Masyumi. Jika ada salah seorang dari mereka yang mencapai usia 70 tahun, dituliskan sebuah buku kenang-kenangan perjuangan dan kehidupan.”

Tujuannya, ada beberapa poin: Pertama, memperkaya khazanah bacaan. Kedua, sebagai pertanggung jawaban kepada generasi yang akan datang terkait kontribusi tokoh yang ditulis terhadap agama, umat, bangsa dan negara.

Pada praktiknya, penulisan biografi ini bukan hanya pada usia 70 tahun, tapi ada juga yang 75 dan 80. Bisa jadi, kalau ada yang usianya sampai 90 hingga 100 dan seterusnya, maka akan dibuatkan buku juga. Setidaknya, 70 tahun sebagai umur standar untuk penulisan biografi.

Di antara tokoh yang menganalisa buku-buku biografi ini –terutama terkait tokoh Masyumi– adalah almarhum AM. Fatwa (1939-2017). Untuk hal ini, bisa dibaca dalam buku “Surat-Surat Politik AM. Fatwa; Menggugat dari Balik Penjara” (1999: 76-81). Analisis ini adalah mayoritas isi suratnya yang diberi judul “Tokoh Islam Sulit Diterima?” yang ditujukan kepada H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais.

Adapun buku biorafi atau kenangan yang disinggung dalam surat AM. Fatwa adalah: 70 Tahun Natsir, 70 Tahun Moh. Roem, 70 Tahun Rasjidi, 70 Tahun Jusuf Wibisono, Jejak Langkah Prawoto Mangkusasmito, 70 Tahun KH. Masjkur, 75 Tahun Syafruddin Prawiranegara, 75 Tahun Kasman Singodimedjo, Pak Natsir 80 Tahun.

Sebelum lebih jauh mengemukakan analisis AM. Fatwa, perlu dijelaskan bahwa latar belakang beliau menulis surat ini adalalah sebagai respon terhadap tulisam M. Thajib (dosen UII) di Kompas dengan judul “Pak Natsir 80 Tahun dalam Timbangan Sejarah”. Di situ dikesankan bahwa dalam penulisan buku 80 Tahun Natsir ada maksud mengkultuskan Natsir. Meski Fatwa tak setuju dengan M. Thajib, hanya saja katanya, “Kita tidak sengaja menimbulkan kesan yang demikian.”

Selanjutnya, kita mulai dari komentar AM. Fatwa mengenai biografi yang telah disebutkan tadi. Buku 70 Tahun Moh. Natsir (anggitan Pak Yusuf Abdullah Puar), menurut data yang didapat Pak Fatwa –meski laku keras di pasaran– namun tak dicetak ulang.

Alasannya, Pak Natsir tidak nyaman dengan cara penulisan Pak Abdullah Puar karena di dalamnya terlalu banyak kesan pujian dan sanjungan. Untuk itulah, Buya Natsir sampai mengirim surat ke Pustaka Antara untuk tidak melanjutkan penerbitannya. Pak Joesoef Ahmad pun sempat kecewa atas penghentian penerbitan ini, karena banyak peminat buku ini.

Adapun buku 70 Tahun Mohammad Roem yang disunting oleh S. Soemarsono, disebut A. M. Fatwa sebagai berikut, “Tidak terlalu tebal, kalimat-kalimatnya datar, tapi hangat dan padat.” Buku ini begitu mengesankan bagi Fatwa sebab dikirim langsung oleh Mohammad Roem untuknya saat ditahan di Laksus 1978.

Sedangkan buku 70 Tahun Rasjidi, dinilai Fatwa berkualitas baik. Hanya saja, menimbulkan kesan tidak enak. Seolah ditinggalkannya teman-teman lamanya. “Kalau saya baca, memang dalam buku ini amat jarang tulisan dari rekan-rekan lamanya.”

Malah –meminjam penjelasan Ustadz Lukman Hakiem dalam dialog di Channel Youtube Pesantren Budi Mulia—tokoh yang pernah dikritik Rasjidi menulis catatan di buku ini.

Kalau buku 70 Tahun Jusuf  Wibisono, dianggap Fatwa sudah baik. Bahkan, sudah mencerminkan pribadi dan sikap politiknya.

Buku ini dikerjakan oleh Subagio IN. Akan tetapi, menurut Fatwa, yang lebih dokumentaif dan sarat akan pikiran-pikiran bersama sikap partainya adalah buku Jejak Langkah Prawoto Mangkusasmito.

Di dalam surat ini juga, AM. Fatwa menyayangkan belum ditulisnya biografi tokoh Masyumi lain seperti Dokter Sukiman secara lengkap sebagai penyempurna buku anggitan Amir Hamzah Wirjosukarto. Buku lain yang juga disorot Fatwa adalah 70 Tahun KH. Masjkur.

Buku ini dinilai sedikit menyoal kegiatan intern Yai Masjkur tapi yang lebih banyak ditonjolkan adalah peranan perjuangan politik ke luar.Tak luput pula dari sorotannya buku 75 Tahun Kasman Singodimedjo.

Buku ini ia nilai agak kedodoran, terlalu tebal dan sistematikanya kurang teratur dan lebih banyak bersifat intern. Meski Fatwa turut menulis dalam buku ini, tampaknya ia kurang puas.

Alasan ketidakteraturan buku ini adalah karena berpindah-pindah dari tangan orang yang mengerjakannya. Disebut pula buku 75 Tahun Pak Sjafruddin Prawiwanegara

Adapun buku 80 Tahun Natsir, kebanyakan ditulis orang yang dilingkaran Pak Natsir dan amat jarang –kalau tidak boleh dikatakan tidak ada– yang ditulis oleh tokoh luar. Maka tidak mengherankan jika tulis M. Thajid ada kesan pengkultusan, yang tentu saja oleh Pak Natsir tidak disukai cara semacam ini.

Kata Fatwa, “Orang lain ataupun orang dalam akan lebih tertarik lagi membaca kalau yang menceritakan itu adalah orang luar yang representative, bukan anak-anak Pak Natsir sendiri yang setiap hari di sekitarnya. Semacam kenangan untuk Pak Burhanudin Harahap ditulis oleh Chris Key di Kompas temp hari, efeknya jauh lebih besar daripada kita yang menulis.”

Akan lebih baik juga, menurut Fatwa, jika menulis Natsir dari sisi peran politik keegaraan yang diakui oleh orang luar, yang mana disediakan forum agar orang luar ikut bicara dan menulis. Jika yang membiacarakan Natsir adalah berbagai tokoh, maka akan menjadi lebih menarik.

Di akhir suratnya AM. Fatwa mencatat, “Mengapa saya terlalu cenderung menganggap lebih penting peran politik ke luar dari tokoh-tokoh Islam ditonjolkan? Karena dari segi inilah kita umat Islam sangat terpukul dan nyaris sudah tenggelam. Kita harus berupaya menegakkan moral politik agung umat Islam dan perjuangan demokrasi pada umumnya, antara lain dengan menonjolkan peran politik dari tokoh-tokoh Islam yang dikenal memiliki kepribadian dan moral politik yang tinggi, semacam Sukima, Natsir, Prawoto, dll.”

Inilah beberapa analisis AM. Fatwa mengenai buku biografi tokoh-tokoh Masyumi. Semoga ke depan segera lahir buku biograi Pak Sukiman dan tokoh Islam lainnya, dan saran dari Pak Fatwa agar penulisannya tidak melulu menyangkut internal dan lingkar dalam tokoh, sangat layak untuk diperhatikan, supaya manfaatnya bisa menjadi lebih luas.Rahimahullah rahmatan waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: