Kisah Sufi Ajaran Guru Hamadani: Minuman Surgawi Bernama Teh


Kisah Sufi Ajaran Guru Hamadani: Minuman Surgawi Bernama Teh
Kisah yang berasal dari ajaran-ajaran Guru Hamadani (wafat tahun 1140), guru dari Yasawi yang Agung dari Turkistan. (Foto/Ilustrasi : Ist)
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menukil kisah yang berasal dari ajaran-ajaran Guru Hamadani (wafat tahun 1140), guru dari Yasawi yang Agung dari Turkistan. Berikut kisahnya:

Pada zaman dahulu, teh hanya dikenal di Cina. Hanya desas-desus tentang teh terdengar oleh orang bijak dan awam di berbagai negara. Lalu, setiap orang berusaha mencari tahu seperti apa teh itu sesuai dengan keinginan atau pikirannya tentang teh.

Raja negeri Inja ('sini') menyuruh utusan ke Cina, dan mereka pun disuguhi teh oleh Kaisar Cina. Namun, para utusan itu menganggap suguhan tersebut kurang pantas sebab dilihat oleh mereka bahwa para petani pun meminum teh yang sama. Para suruhan itu menyimpulkan bahwa Kaisar Cina mencoba memperdaya mereka, membuat minuman surgawi tidak dengan bahan terbaik.

Filsuf agung negeri Anja ('sana') mengumpulkan semua berita tentang teh. Disimpulkannya bahwa teh itu ada tetapi langka, dan merupakan jenis minuman yang belum pernah dikenal sebelumnya. Bukankah kata orang, teh itu jamu, air, hijau, hitam, kadang pahit, kadang manis?

Di negeri Koshish dan Bebinem, sepanjang berabad-abad orang mencari tahu khasiat semua tumbuhan yang bisa mereka temukan. Banyak yang beracun, semuanya mengecewakan. Tentu saja orang-orang itu tidak menemukannya sebab memang di negeri mereka tak ada tanaman teh. Di samping itu, mereka juga meminum semua zat cair yang bisa diperoleh, tetapi tetap saja sia-sia.

Di daerah Tarekat ('Pikiran Picik') sekantong kecil teh dibawa dalam arak-arakan meriah upacara keagamaan. Tak ada yang berpikir untuk mencicipinya sebab tak ada yang tahu caranya. Semua yakin bahwa teh itu punya kuasa gaib.

Seorang yang bijaksana pernah berkata, "Tuangkan air panas pada teh itu, orang-orang bodoh!"

Orang bijaksana itu pun mereka gantung dan dipaku pada sebuah tiang. Menurut kepercayaan mereka, mencampur teh dengan bahan lain akan merusak teh tersebut. Dengan demikian, nasihatnya menunjukkan bahwa orang bijaksana itu merupakan musuh.

Sebelum mati, orang bijaksana itu meneruskan rahasianya kepada beberapa orang, dan mereka ini mencari-cari teh untuk kemudian diminum secara sembunyi-sembunyi.

Ketika ditanya, "Apa pula yang kalian lakukan?"

Mereka menjawab, "Teh ini untuk mengobati penyakit tertentu."

Dan begitulah yang terjadi di seluruh dunia. Beberapa orang sebenarnya menanam teh, tetapi tak mengenalinya. Banyak orang pernah mencicipinya, tetapi dikiranya minuman biasa. Orang lain lagi memiliki daun teh dan memujanya. Di luar Cina, hanya sedikit orang yang minum teh, dan mereka ini melakukannya secara tersembunyi.

Kemudian, tampilah seorang manusia bijaksana, yang berkata kepada pedagang dan peminum teh, serta yang lainnya, "Siapa yang minum, ia akan tahu. Siapa yang tak minum, ia tak akan tahu. Dari pada kalian berandai-andai tentang minuman surgawi, hidangkanlah teh itu dalam pesta."

"Mereka yang menyukainya akan muncul masa ingin tahu. Yang tidak, berarti mereka bukanlah penggemar teh. Hentikan adu mulut dan tebak-tebakan. Bukalah kedai teh agar orang singgah dan meminumnya."

Teh tersebut dibawa sepanjang Jalur Sutra, dan pedagang yang membawa permata, mutiara, atau sutra, yang beristirahat sejenak, akan membuat teh untuk diminum. Pedagang itu memberikan teh itu kepada orang-orang yang berbagi tenda istirahat dengannya, entah mereka tahu tentang teh atau tidak. Inilah awal mula Chaikhanas, kedai-kedai teh sepanjang Peking hingga Bokhara dan Samarkand. Dan mereka yang meminumnya, tahu.

Pada awalnya, ingatlah bahwa hanya orang yang berlagak bijaksana dan agung yang mencari-cari minuman surgawi tetapi juga berseru, "Tetapi teh ini tak lebih dari sekadar daun kering!", atau "Hoi, orang asing, mengapa kau rebus air ketika yang kuminta adalah minuman surgawi?", atau lagi "Bagaimana saya tahu apa ini?" Katakan padaku, "Di samping warna cairan ini bukan emas, tetapi kuning tua!"

Ketika kebenaran itu nyata, dan saat orang-orang telah mengecap teh tersebut, situasinya berbalik; orang yang mengatakan hal-hal layaknya orang agung dan berpengetahuan ternyata tolol. Dan, kenyataan serupa berlangsung pula pada masa kini.

Idries Shah mengatakan, berbagai macam minuman sering digunakan oleh para bijaksana sebagai alegori untuk pencarian atas pengetahuan yang lebih agung.

Kopi, minuman yang belum lama memasyarakat, ditemukan oleh darwis Syeh Abu Al-Hasan Shadhili, di Mocha, Arab.

Meskipun para Sufi kerap menyatakan dengan jelas bahwa 'minuman ajaib' (anggur, air hidup) merupakan analogi dari suatu pengalaman tertentu, para peneliti yang berpikiran harafiah cenderung meyakini bahwa asal muasal mitos tersebut bersumber dari penemuan pengaruh halusinatif dan memabukkan dalam beberapa jenis minuman.

Menurut para darwis, pemikiran semacam itu merupakan cermin ketidakmampuan para peneliti untuk memahami bahwa mereka berbicara mengenai hal yang sama.

Kisah ini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.

mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: