Cara Kematian Tokoh Sekuler di 83 Tahun Yang Lalu
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ berkisah, ada seorang pemuda yang tinggal di sekitar rumah Malik, dia sangat bejat dan berakhlak rendah. Malik bin Dinar terus-menerus merasa sedih karena perilakunya yang buruk, tetapi dia bertahan dengan sabar menunggu orang lain berbicara terlebih dahulu.
Singkat cerita, pada suatu waktu ada seseorang yang datang, mengeluh tentang pemuda itu. Malik kemudian bangkit dan pergi kepadanya, meminta dia untuk memperbaiki akhlaknya. Pemuda itu bereaksi dengan begitu keras kepala dan sombong.
“Aku adalah kesayangan sang Sultan,” katanya kepada Malik. “Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk mengawasi atau melarangku untuk melakukan apapun yang kusukai.”
“Aku akan berbicara dengan Sultan,” Malik mengancam.
“Sultan tidak akan pernah berubah pikiran atas izinnya untukku,” balas pemuda itu. “Apa pun yang aku lakukan, dia akan menyetujuinya.”
“Baiklah, jika Sultan tidak bisa berbuat apa-apa,” Malik melanjutkan, “Aku akan memberi tahu Yang Maha Penyayang.”
Dan dia menunjuk ke atas.
“Ha!” jawab pemuda itu. “Dia terlalu Murah Hati untuk mengurusiku.”
Kali ini Malik menyerah, dan dia meninggalkannya. Beberapa hari berlalu, dan keburukan pemuda ini terus berlanjut hingga melampaui semua batas. Orang-orang datang lagi untuk mengeluh. Malik bangkit untuk menegurnya; tetapi dalam perjalanan dia mendengar suara.
“Jauhkan tanganmu dari sahabat-Ku!” terkejut, Malik bergegas menemui pemuda itu.
“Apa yang telah terjadi,” pemuda itu bertanya-tanya ketika melihatnya. “Bahwa engkau telah datang untuk yang kedua kalinya?”
“Aku datang bukan untuk menegurmu,” jawab Malik. “Aku datang hanya untuk memberitahumu bahwa aku mendengar suara yang seperti itu.”
“Ah,” seru pemuda itu. “Karena semuanya berjalan dengan seperti itu, aku menyerahkan semua harta bendaku sepenuhnya untuk mengabdi kepada-Nya. Aku tidak peduli lagi dengan semua milikku.”
Sambil berkata demikian, dia menyingkirkan segalanya dan pergi untuk menjelajahi dunia.
Malik menceritakan, bahwa setelah sekian waktu, dia melihat pemuda itu di Makkah, dengan kondisi yang benar-benar melarat dan pada nafas terakhirnya.
“Dia adalah Sahabatku,” dia megap-megap. “Aku pergi menemui Sahabatku.” Dan bersamaan dengan itu dia menghembuskan nafas terakhirnya.
Miftah H. Yusufpati
Singkat cerita, pada suatu waktu ada seseorang yang datang, mengeluh tentang pemuda itu. Malik kemudian bangkit dan pergi kepadanya, meminta dia untuk memperbaiki akhlaknya. Pemuda itu bereaksi dengan begitu keras kepala dan sombong.
“Aku adalah kesayangan sang Sultan,” katanya kepada Malik. “Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk mengawasi atau melarangku untuk melakukan apapun yang kusukai.”
“Aku akan berbicara dengan Sultan,” Malik mengancam.
“Sultan tidak akan pernah berubah pikiran atas izinnya untukku,” balas pemuda itu. “Apa pun yang aku lakukan, dia akan menyetujuinya.”
“Baiklah, jika Sultan tidak bisa berbuat apa-apa,” Malik melanjutkan, “Aku akan memberi tahu Yang Maha Penyayang.”
Dan dia menunjuk ke atas.
“Ha!” jawab pemuda itu. “Dia terlalu Murah Hati untuk mengurusiku.”
Kali ini Malik menyerah, dan dia meninggalkannya. Beberapa hari berlalu, dan keburukan pemuda ini terus berlanjut hingga melampaui semua batas. Orang-orang datang lagi untuk mengeluh. Malik bangkit untuk menegurnya; tetapi dalam perjalanan dia mendengar suara.
“Jauhkan tanganmu dari sahabat-Ku!” terkejut, Malik bergegas menemui pemuda itu.
“Apa yang telah terjadi,” pemuda itu bertanya-tanya ketika melihatnya. “Bahwa engkau telah datang untuk yang kedua kalinya?”
“Aku datang bukan untuk menegurmu,” jawab Malik. “Aku datang hanya untuk memberitahumu bahwa aku mendengar suara yang seperti itu.”
“Ah,” seru pemuda itu. “Karena semuanya berjalan dengan seperti itu, aku menyerahkan semua harta bendaku sepenuhnya untuk mengabdi kepada-Nya. Aku tidak peduli lagi dengan semua milikku.”
Sambil berkata demikian, dia menyingkirkan segalanya dan pergi untuk menjelajahi dunia.
Malik menceritakan, bahwa setelah sekian waktu, dia melihat pemuda itu di Makkah, dengan kondisi yang benar-benar melarat dan pada nafas terakhirnya.
“Dia adalah Sahabatku,” dia megap-megap. “Aku pergi menemui Sahabatku.” Dan bersamaan dengan itu dia menghembuskan nafas terakhirnya.
(mhy)
No comments:
Post a Comment