“Bau Amis” Teror Komunis (4): Lubang Pembantaian di Magetan

 PKI 

  Wikipedia

Foto Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya | Wikipedia
Sejumlah sumur tua di Magetan menjadi saksi sejarah kebiadaban Partai Komunis Indonesia atau PKI.

SABTU, 18 September 1948, pukul 03.00 dini hari. Tiga letusan pistol ditandai sebagai isyarat dimulainya pemberontakan bersenjata Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan Madiun Affair. Cerita ini dituturkan budayawan Taufiq Ismail dalam bukunya, Katastrofi Mendunia, Marxisma Leninisma Stalinisma Maioisma Narkoba.

Inilah kudeta terang-terangan terhadap Indonesia yang saat itu baru berusia tiga tahun merdeka dan baru juga menderita gara-gara agresi militer Belanda. Betapa lemahnya Indonesia kala itu.

“Kejadian itu terasa begitu mengerikan … beribu-ribu manusia dengan kelewang dan berbagai senjata memekik-mekik bagai serigala haus darah … mereka berduyun-duyun tak ada habisnya sambil terus memekik dan memaki-maki … kemudian menerjang dengan beringas dan penuh kebencian …”

Begitu gambaran dari orang-orang yang mengalami detik-detik peristiwa 18 September 1948, saat kudeta PKI diproklamasikan di Madiun. Hal ini diceritakan dalam buku Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, tulisan Agus Sunyoto, A Zainuddin, dan Maksum.

Musuh utama PKI adalah umat Islam, khususnya para kiai dan santri. Sebab Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang sangat menentang PKI. Selain itu, para kiai merasa berkewajiban menjaga dan membela agamanya.

Setelah itu, tutur Taufiq Ismail, perlawanan pun terjadi. Bantuan dari luar berdatangan. Umat Islam yang menjadi sasaran PKI tidak tinggal diam ketika agamanya diberangus.

Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri pada tahun 1947 di Yogyakarta, membentuk Brigade yang aktif dalam revolusi. Surjosugito, murid Madrasah Menengah Tinggi Djamsaren, Solo, sebagai komandan Brigade PII gugur bersama delapan orang anggotanya yang berasal dari berbagai sekolah dan pesantren, dalam pertempuran melawan pemberontak PKI di Madiun.

Sejarah pun mencatat praktik-praktik mengerikan yang dilakukan oleh PKI, tak kalah biadabnya dari aksi Khmer Merah di Kamboja.

Guru dari Mesir Dibantai, Dibuang ke Sumur

Di antara sekian daerah yang menjadi korban keganasan Komunis adalah masyarakat di kawasan Magetan. Jumlah korbannya tak dapat diketahui secara pasti. Namun sumur-sumur tua dan lubang-lubang pembantaian yang dipakai anggota Komunis untuk menghabisi lawan, yang tersebar di berbagai tempat di Magetan, menjadi saksi sejarah kebiadaban PKI kala itu.

Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya.

Sumur tua Cigrok ini terletak di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI. Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala Desanya.

Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang menjadi saksi kebiadaban pembantaian di sumur tua itu. Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan PKI yang berasal dari Desa Petungredjo.

Dia juga mendengar suara orang menjerit histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam. Muslim bisa mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam sumur. Menurutnya itu suara KH Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari.

Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan PKI, menyaksikan penjagalan biadab dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia sangat mengenal suara adzan KH Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian KH Imam Sofwan.

Menurut Idris, pembantaian di sumur Cigrok itu tak dilakukan dengan senapan atau kelewang, tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang setiap tawanan.

Saat itu, kenang Idris, ada tawanan yang setelah dihantam langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka menggapai-gapai mencari pegangan.

Melihat para korban merangkak seperti itu, orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup ke dalam sumur.

KH Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak langsung meninggal setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh dari sumur Cigrok.

Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas menimbuni sumur tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Artinya, para korban sebenarnya dikubur hidup-hidup.

Pada pagi hari seusai pembantaian, Muslim mengaku mendapati lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang diancam oleh PKI agar tutup mulut.

Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antara para korban itu, ada KH Imam Sofwan, Hadi Addaba’, dan Imam Faham.

Hadi Addaba’ merupakan guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santri KH Imam Mursjid yang ikut mengiringi KH Imam Mursjid saat dibawa mobil PKI.

Rupanya di tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok. Kisah ini diceritakan pada buku karya Agus Sunyoto, A Zainuddin, dan Maksum.* (tamat)

Sumber: Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2020.

Rep: Rofi' Munawwar
Editor: -

No comments: