Keteladanan Dakwah Pak Natsir di Tengah Tekanan Politik

Keteladanan Dakwah Pak Natsir di Tengah Tekanan Politik
Dr. Adian Husaini 

DALAM disertasinya berjudul “Pendidikan Kader Da’i Mohammad Natsir” di Universitas Ibn Khaldun Bogor, Dr. Ujang Habibie mengungkapkan, bahwa: Pada 26 Februari 1967, para ulama dan tokoh umat Islam yang berkumpul di Masjid a-Munawarah Tanah Abang, Jakarta, memutuskan sejumlah hal penting:

(1) Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah.

(2) Memandang perlu untuk lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi, sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.

Untuk menindaklanjuti dua itu, musyawarah para ulama dan zu’ama menyoroti berbagai persoalan, antara lain:

(1). Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi. Lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya usaha menghadapi tantangan dari kegiatan yang dilancarkan oleh penganut agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain.

(2). Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.

Untuk melaksanakan berbagai program dakwah, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu untuk membentuk suatu wadah yang kemudian diberi nama “Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia”.

Pada kesempatan tersebut, Pak Natsir mengatakan: “Politik dan dakwah itu tidak terpisah. Kalau kita berdakwah, membaca al-Qur’an dan hadits, itu semuanya politik. Jadi kalau dulu kita berdakwah lewat jalur politik dan sekarang kita berpolitik melalui jalur dakwah. Ya mengaji politik begitulah. Saya merasa bahwa DDII itu tidak lebih rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah itu hancur. Lebih dari itu, bagi saya untuk diam itu tidak bisa.”

Dr. Ujang Habibie memberikan ulasan terhadap keputusan Pak Natsir dan para ulama serta tokoh masyarakat tersebut:

“Dari penjelasan ringkas di atas maka dapat terlihat bahwa sebagai pemimpin bangsa, pahlawan nasional dan negarawan panutan, beliau mengedepankan kepentingan ummat dan bangsa dalam sikap dan tindakannya. Juga dapat dipetik pelajaran bahwa perilakunya baik sebagai politisi maupun sebagai da’i, sesungguhnya beliau mencerminkan dirinya sebagai seorang pendidik. Atau sebaliknya bahwa perannanya sebagai politisi maupun sebagai seorang pendidik, sesunggunhnya dia mencerminkan dirinya sebagai seorang da’i, yang berarti mampu memberikan nasehat dan pelajaran baik dengan lisannya, tangannya ataupun sikap serta tindakannya, sehingga beliau dirasakan oleh ummat dan bangsa sebagai sosok panutan. Pendidik dan da’i adalah bagaikan dua sisi mata uang yang juga tidak dapat dipisahkan dari sosok Pak Natsir, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya antara politik dan da’wah yang melekat pada diri beliau.”

*****

Awal kemunculan rezim Orde Baru, umat Islam menghadapi situasi yang pelik. Harapan “bulan madu” antara umat Islam dan Orde Baru segera pupus, meskipun umat Islam dan ABRI baru saja bersama-sama menumpas komunis.

Pemerintah Orde Baru kemudian melancarkan program de-ideologisasi Islam, depolitisisasi Islam, dan sekulerisasi. Bahkan, program Kristenisasi dilakukan secara besar-besaran, membonceng program sekulerisasi. Selain partai Masyumi tidak boleh dihidupkan, ribuan tokoh Masyumi juga tidak boleh dicalonkan sebagai anggpta legislatif.

Di tengah situasi seperti itulah, Pak Natsir mengubah wajah dan pola dakwah menjadi gerakan yang komprehensif. Dakwah bukan sekedar aktivitas tabligh yang berbentuk ceramah-ceramah keagamaan, tetapi seluruh aktivitas untuk mewujudkan tegaknya misi kenabian.

Pak Natsir sendiri memainkan peranannya sebagai seorang dai ideal. Beliau berperan sebagai negarawan, guru, penulis, aktivis sosial-kemasyarakatan, dan sekaligus pemimpin gerakan dakwah, nasional maupun internasional.

Tiga pilar dakwah dicanangkan Pak Natsir, yaitu: kampus, masjid, dan pesantren. Di dunia internasional, Pak Natsir aktif dalam sejumlah lembaga Islam internasional, memperkuat solidaritas dunia Islam. Di dalam negeri, beliau mendirikan dan membantu aktivitas sejumlah universitas Islam.

Ke daerah-daerah pelosok dan pulau terpencil, Pak Natsir mengirimkan dai-dai, untuk membina masyarakat suku-suku terpencil dan membendung arus Kristenisasi. Perkembangan pemikiran sekulerisasi dan liberalisasi Islam pun tak lepas dari kepedulian Pak Natsir. Namun, perkembangan politik dan kebijakan pemerintah juga senantiasa tak lepas dari pengamatan dan kepeduliannya.

Maka, selama sekitar 20 tahun (1967-1987), di masa hubungan antagonis antara Islam dan Orde Baru, Pak Natsir dan para ulama terus mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan aspirasi umat Islam. Berbagai saluran dipakai untuk menyampaikan aspirasi umat Islam.

Maka, pada akhir 1980-an, ketika rezim Orde Baru mulai berubah dan menjalankan politik akomodatif terhadap umat Islam, Pak Natsir pun mendukung perkembangan tersebut. Pak Natsir menyetujui para kadernya aktif di ICMI, yang dipimpin BJ Habibie.

Sikap kritis, mandiri, kesungguhan, keikhlasan dan kecerdasan dalam dakwah itulah yang perlu kita teladani dari sosok Mohammad Natsir. Dalam situasi politik yang represif sekalipun, Pak Natsir tidak kehilangan arah dakwah. Semoga sikap dan kebijakan dakwah semacam ini bisa kita teladani. Amin. (Jakarta, 12 Desember 2020).*

Penulis ada Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

No comments: