Soekarno, Durian Kontra Revolusi dan Budaya Penilaian Dini

Soekarno, Durian Kontra Revolusi dan Budaya Penilaian Dini

ANTARA tahun 1957-1960, ada kejadian menarik mengenai Soekarno dan durian yang diabadikan Guntur dalam bukunya yang berjudul “Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku” (1977: 191-193).

Biasanya Bung Karno kalau anak-anak sedang liburan sekolah, suka mengajak mereka keliling Jakarta pada malam hari. Daerah-daerah seperti Glodok, Kebayoran Lama, Condet, Grogol pun tak luput dari destinasinya.

Pada suatu malam, diputuskanlah perjalanan menuju restoran tepi laut “Layar Terkembang” dekat Cilincing untuk makan sate. Sambil menunggu sate masak, rupanya Bung Karno keliling di sekitar warung untuk jalan-jalan santai.

Dalam jalan santai itu, beliau bertemu dengan abang penjual durian. Kemudian terjadi obrolan hangat dan transaksi antara keduanya. Di sela-sela itu, Guntur dipanggil Bung Karno. Beliau ingin mengajarinya memilih durian yang top.

Durian yang mantap kata Bung Karno memiliki beberapa ciri, di antaranya: tangkainya kering segar, bentuk ujungnya halus, ujung duri-durinya runcing berbentuk kerucut, ketika dicium baunya dari ujung pantat durian baunya segar tidak sengak. Kalau ketiga ciri itu terpenuhi, kata Bung Karno, “Itu tandanya durennya jempolan.”

Durian yang sudah dipilih tidak langsung dimakan di tempat tapi dibawa ke rumah. Sesampainya di rumah, Soekarno memanggil Pak Tamin untuk membelah durian-durian tadi yang dipilih berdasarkan teori Bung Karno.

“Ya Pak!” kata Pak Tamin, “Kok durennya bosooook” (artinya: busuk). Yang satu dibuka rasanya hambar. Ternyata, durennya butut semua dan penilaian Bung Karno seketika keliru. “Teori Bapak ga laku kalau gitu!” timpalnya.

Dengan penuh humor Bung Karno berkata pada Pak Tamin, “Ini duren barangkali jenis baru..” “Emangnya jenis apa Pak?” tanya Pak Tamin penasaran. “Jenis duren….Kontra Revolusi. Hehehehe.”

***

Kisah ini meski terbaca sederhana dan lucu, namun di dalamnya mengandung pelajaran yang cukup penting untuk diambil. Bayangkan, Bung Karno yang sudah punya banyak pengalaman memilih durian, ternyata tak selamanya kriteria berdasarkan pengalamannya itu mesti benar dan bisa digunakan untuk mengeneralisir semua durian.

Perhatikan! Orang yang berpengalaman saja bisa salah dalam menilai kulit durian, apalagi yang tidak berpengalaman. Maka perlu lebih berhati-hati dalam menilainya. Apalagi jika yang kita nilai adalah manusia, maka perlu lebih super hati-hati lagi karena banyak sekali orang salah nilai hanya melihat orang dari kulitnya saja.

Bila diperhatikan dalam fakta sosial, melihat orang hanya dari kulit, chasing, penampilan luar ternyata sudah menjadi budaya. Terlebih di era digital seperti saat ini, gampang sekali menilai orang hanya dari penampilan luaranya kemudian menyebarkan penilaiannya di media sosial. Padahal, bisa jadi penilaiannya itu sama sekali jauh dari kebenaran aslinya.

Ini bukan berarti menafikan pengalaman. Seluas dan sebanyak apapun pengalaman, perlu tetap diiringi dengan kehati-hatian dalam menilai seseorang. Buah durian saja –sebagaimana pengalaman Bung Karno tadi– bisa salah tebak, apalagi kalau yang kita nilai itu adalah manusia yang sangat dinamis. Dalam hal ini, ada kata bijak Inggris yang menarik untuk direnungi: “Don’t judge a book by its Cover!” (Jangan menilai buku dari sampulnya) Maksudnya, jangan menilai bobot sesuatu hanya dari penampilan luarnya saja.

Dalam khazanah Islam, hadits Nabi berikut juga berkaitan dengan kata bijak tersebut:

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kalian, akan tetapi melihat pada hati kalian dan amal kalian.” (HR. Muslim)

Dengan kata lain, dalam Islam orang tidak sekadar dinilai dari ukuran wadak kekayaan, kedudukan, kerupawanan dan berbagai macam standar duniawi lainnya, tapi yang dilihat adalah hati (ketakwaan) dan kinerja atau kontribusinya. Maka dari itu, sebelum menilai seseorang, perlu hati-hati dan tida gegabah dengan penilaian sederhana, agar tidak terjerumus pada penilaian salah yang justru malah merugikan orang lain.*/Mahmud Budi Setiawan

 

No comments: