Kezuhudan Istri Khalifah

Kezuhudan Istri Khalifah
Ketika suaminya diangkat sebagai khalifah, Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, memilih meninggalkan semua kemewahan dunia. Foto ilustrasi/ist
Dia adalah putri seorang khalifah, memiliki saudara para khalifah, dan dipersunting oleh seorang laki-laki saleh yang juga menjadi khalifah. Anugerah terindah dan jugaimpian mayoritas kaum perempuan. Selain memiliki eksistensi, prestise, dan status sosial yang luar biasa, ia pasti mendapatkan fasilitasyang tak terhingga.

Tapi benarkah seperti itu kehidupannya? Jelas tidak untuk Fatiman binti Abdul Malik bin Marwan. Sosok perempuan yang nyaris sempurna. Cantik, cerdas, keturunan terpandang, kaya raya, serta taat beribadah. Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan Al Umawiyyah Al Quraisyiah. 

Dirangkum dari beragam sumber, dijelaskan bahwa dua belas orang pria yang menjadi mahramnya Fatmah binti Abdul Malik ini, yakni mulai dari sang Khalifah Umar bin Khattab, ayahnya, kakeknya, saudaranya, keponakannya, bahkan suaminya adalah khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Dari lahir hingga tumbuh dewasa, Fatimah dikelilingi oleh kemuliaan dan kenikmatan dunia. Perhiasan permata yang tiada duanya, baju mewah dari kain sutra, serta istana nan indah dan megah.

Tapi Fatimah adalah sosok putri yang berbeda. Sejarah mencatat kezuhudannya akan gemerlap dunia, melihat dunia dengan apa adanya padahal ia memiliki segalanya. Perempuan mulia, baik agama, akhlak, maupun status sosialnya, akan tetapi tidak terpengaruh dengan materi dan kekuasaan sejenak.

Padahal sejak kecil Fatimah memang hidup dengan gelimang harta dunia, juga dengan status sosial yang tinggi. Dikelilingi oleh para khalifah, tapi itu tak menjadikannya sombong dan angkuh.

Ketika beranjak dewasa, Fatimah dipersunting oleh seorang laki-laki saleh, ahli fiqih, terkenal dengan sifat wara’ nya. Dan ia juga sangat terpandang, ia adalah anak dari pamannya Abdul Aziz bin Marwan. yaitu Umar bin Abdul Aziz bin Marwan, sekaligus cicit Umar bin Khatab. Pesta pernikahan pun digelar dengan mewah. Lampu-lampu gantung dengan minyak beraroma harum menghiasi, menambah semarak suasana.

Dalam kehidupan rumah tangga ini kebahagiaan Fatimah semakin bertambah dengan lahirnya dua putra mereka yakni Ishaq dan Ya’kub. Umar bin Abdul Aziz, seorang suami yang sangat baik, mendidik istri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Ia juga suka memanjakan istrinya, memenuhi semua keinginannya, dan menyayanginya dengan tulus. Sungguh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan romantis.

Kezuhudan Ibu Negara

Namun, kehidupannya berubah setelah sang suami menjadi Khalifah. Kehidupan dunia ini amatlah singkat. Segala kemewahan dan kenikmatan pun tidak abadi. Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, kini memilih meninggalkan semua kemewahan dunia. Ini terjadi saat suaminya, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, yang dilantik pada Jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.

Fatimah sangat lapang dada hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak mempunyai harta apa pun. Padahal, ketika itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.

Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah sehabis salat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara menyerupai masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.

Selama menjadi khalifah, honor Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia lapang dada dan selalu mendukung suaminya. Kesederhanaan dan kebijakan Umar menciptakan banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.

Umar bin Abdul Aziz memilih untuk menjadi sosok sederhana, zuhud, dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik. Ia menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara. Istana yang dilengkapi dengan perabot yang serba lux, gelas-gelas kristal, ranjang bagus, kasur empuk, bantal-bantal sandaran yang tersusun rapi, juga permadani yang luas dan lembut. Ia memilih tinggal di rumah sempit yang dibangun dari tanah liat yang ada di sebelah masjid.

Fatimah merasa suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Kini raut muka suaminya tampak letih, tubuhnya yang kokoh gemetaran karena menanggung beban yang teramat berat.

Ketika sampai di rumah, Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada istrinya, Fatimah, untuk memilih masa depannya sendiri, karena Umar merasa mendapat tanggung jawab besar yang membuatnya tidak bisa lagi menjaga dan memenuhi keinginan istrinya yang cantik jelita ini.

Dengan suara lembut Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada Fatimah, “Fatimah, istriku… Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat berat dipikulkan ke pundakku, menjadi nakhoda bahtera yang ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas ini sungguh menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan.”

Di sinilah terlihat bahwa sosok Fatimah adalah perempuan yang berhias diri dengan akal sehat dan keimanan yang kuat. Ia memilih untuk bersama suami, setia mendampingi, dan turut memikul tanggung jawab.

Lembar sejarah mencatat, sosok Fatimah binti Abdul Malik adalah perempuan salihah yang hebat dengan jiwa ikhlas dan sabar. Pendukung pertama gerakan perubahan yang dilakukan suaminya, yakni gerakan kesederhanaan para pemimpin dalam kehidupan.

Fatimah juga menunjukkan sebagai istri yang berbakti. Demi keridhaan sang suami tercinta, ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat dengan semata mengharapkan keridhaan dan surganya Allah.

Tanda keridhaan pertama adalah berpindah dari istana ke rumah yang sempit yang dibangun dari tanah liat. Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan, menjahit sendiri pakaian yang dikenakan, memasak makanan yang disantap, semuanya serba sederhana tanpa ada kemewahan, semua sama dengan rakyat biasa. Bahkan, Fatimah pun membantu suaminya memperbaiki rumah jika diperlukan. Padahal status mereka adalah kepala negara dan ibu negara.

Suatu hari Umar bertanya kepada Fatimah, “Dari mana perhiasan ini sampai ke tanganmu?” “Dari ayahku,” jawab Fatimah. (Saat memberikan perhiasan tersebut, ayah Fatimah adalah khalifah). Maka Umar bin Abdul Aziz meminta Fatimah untuk menyerahkan perhiasan tersebut ke baitulmal. Fatimah pun mematuhi perintah suaminya, diserahkan semua perhiasannya ke baitulmal kaum muslimin dengan ikhlas.
Istri yang Istiqamah

Sayangnya, kepemimpinan khalifah yang saleh, adil dan sederhana ini tidak berlangsung lama. Kurang dari tiga tahun memimpin Bani Umayah, sang khalifah meninggal dunia dibunuh melalui racun yang diberikan pembantunya. Ketika Umar bin Abdul Azis meninggal, ia tidak meninggalkan harta apa pun untuk Fatimah dan anaknya.

Sepeninggal Umar, estafet Dinasti Ummayah dilanjutkan oleh saudara Fatimah berjulukan Yazid bin Abdul Malik. Saat itu, Yazid menemui Fatimah untuk mengembalikan harta-harta yang disimpan di Baitul Mal.

“Umar telah zalim pada hartamu, kini saya kembalikan kepadamu. Ambillah!” kata Yazid kepada adiknya.

Bendahara Baitul Mal pun pernah menemui Fatimah, menjelaskan bahwa harta milik Fatimah masih utuh tersimpan. “Kami menganggap perhiasan-perhiasan itu sebagai barang titipan yang harus dijaga, dan akan kami kembalikan bila tuan membutuhkan.”

Bendahara Baitul Mal itu akan segera membawa harta suplemen milik Fatimah, bila pemiliknya ingin mendapatkan kembali hartanya. Nilai perhiasaan milik Fatimah ketika itu mencapai jutaan dirham. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran-tawaran itu? Apalagi suaminya meninggal tanpa warisan yang mencukupi. Bukankah harta yang dititipkan ke Baitul Mal yaitu suplemen milik Fatimah dari ayahnya, maupun pinjaman suaminya.

Namun Fatimah menolak semua anjuran itu. “Demi Allah, saya tidak akan mengambilnya kembali. Karena saya patuh kepada suami untuk selamanya. Bukan ketika ia masih hidup saya patuh, kemudian sehabis meninggal berkhianat,” ujar Fatimah.

Yazid takjub dengan sikap saudara perempuannya itu. Lalu ia mengambil kembali harta-harta Fatimah dan membagikan kepada orang-orang yang berhak.

Sikap Fatimah yang kaya berinfak ini menempatkan namanya sebagai wanita salehah yang taat kepada suami. Dia juga dicatat sebagai istri pemimpin yang sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan umat. Andaikan istri para pemimpin dan pejabat mempunyai sifat sederhana menyerupai Fatimah, pasti sikap korup dan hidup bermewahan sanggup diminimalkan.

Siapa yang tak jatuh hati setelah mendengar kemulian Fatimah binti Abdul Malik. Pertanyaannya, apakah kita berhenti setelah mendengar kisahnya, tanpa bercermin pada akhlaknya yang seharusnya menjadi panutan bagi setiap perempuan? 

Wallahu A'lam
(wid) Widaningsih

No comments: