PKI dan Persekusi Ulama

Bahkan tokoh sekaliber Hamka dan kawan-kawan Masyumi lain seperti M. Natsir pernah merasakan persekusi mereka dengan fitnah keji yang menjebloskan mereka ke jeruji besi

PKI dan Persekusi Ulama
| DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi berarti: pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sedangkan kata ‘memersekusi’ bermakana: pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Pada rentang sejarah Indonesia, memang hubungan antara PKI dan umat Islam, khususnya ulama dan santri tidak harmonis. Dr. Tiar Anwar Bachtiar dalam pendahuluan buku “Dari Kata Menjadi Senjata” (2017: XII) menukil buku “Benturan NU dan PKI 1948-1965” menyebutkan bahwa sejak awal kemunculan PKI selalu dijadikan musuh paling utama.

Lawan politik PKI, oleh mereka biasa disebut dengan “Tujuh Setan Desa”. Maksudnya, adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, bandit desa, pemungut zakat dan kapitalis birokrat desa (Hersri Setiawan, Kamus Gestok, 2003: 263) Tentu saja, dengan menyebut “pemungut zakat” maka otomatis umat Islam –khususnya ulama dan kiai—menjadi musuh sengit mereka.

Karenanya tidak mengherankan jika ketegangan antara PKI dan ulama (sebagai representasi utama umat Islam kala itu) sering terjadi sejak berdirinya PKI sampai meletusnya G30S-PKI. Terutama bisa dibaca pada peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Sebelum menyebutkan beberapa persekusi mereka terhadap ulama, ada dua hal yang biasa dilakukan mereka untuk meluapkan kebencian pada Islam dan pemeluknya; yaitu dengan membuat penistaan agama –baik secara verbal maupun tertulis di media cetak– atau dengan mempersekusi ulama dan santri.

Sebagai contoh penistaan agama seperti yang terjadi di Desa Pucang pada tahun 1960-an. Pak Alip bercerita, enambulan sebelum meletusnya G30S-PKI, terjadi konflik antara Anshor dan PKI. Pemicunya, pada rapat terbuka, ada anggota PKI yang mengutip ayat al-Qur`an surah 28 ayat 88 yang intinya segala sesuatu yang ada akan lenyap kecuali wajah-Nya (Allah).

Ayat itu tafsirnya dibelokkan oleh orang PKI. Segala sesuatu bakal hancur termasuk surge karena yang kekal adalah Allah. Karenanya dia mengatakan, “Jangan pernah percaya kepada orang yang menjanjikan surge karena mereka adalah pemimpin palsu yang membuat rakyat hancur.” (Pranowo, 2011:321) Karenanya mereka mengajak berjuang bersama PKI demi surga nyata di dunia.

Karuan aja, mendengar hal itu, orang Anshor tidak terima, Pembicara pun dilempari sesuatu kemudian terjadilah konflik fisik yang akhirnya dilerai polisi. Belum lagi, penistaan-penistaan lain yang begitu membuat umat Islam geram seperti menginjak al-Quran, mengejek syariat dan lain sebagainya.

Adapun contoh persekusi terhadap ulama (kiai) bisa dibaca pada kisah berikut: Pertama, dalam buku “Lubang-lubang pembantaian: Petualangan PKI di Madiun” (Maksum dkk, 1990: 17) diceritakan bahwa pada Tanggal 17 September 1948, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun –asal Tulungagung dan Tegal Rejo– berpamitan kepada Kiai Imam Mursjidi Muttaqien (Pemimpin Pondok Sabilil Muttaqien Takeran) untuk mengajar di Pesantren Burikan di Desa Banjarejo.

Esok hari, pada Sabtu Wage (18/09/1948) Pesantren Burikan diserbu FDR/PKI. Kiai Hamzah dan Nurun bersama para santri diseret ke Desa Batokan. Di daerah itu kemudian semuanya dibantai PKI.

Kedua, KH. Imam Sofyan dipukul tengkuknya dan dimasukkan sumur Cigrok. Saat itu beliau mengumandangkan azan. Korban yang dimasukkan di lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22 orang. Di antaranya adalah Adabba’ adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di Takeran (Maksum dkk, 1990: 57-58).

Ketiga, pada 18 Oktober 1965 orang-orang PKI yang menyamar sebagai anggota GP Anshor; sementara anggota Gerwani menyamar jadi Fatayat NU di Desa Karangasem (sekarang: Yosomulyo), Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Saat itu mereka mengundang pengajian anggota Anshor yang tinggal di Desa Muncar. Tanpa curiga sedikit pun, undangan itu dipenuhi.

Naasnya, pada acara itu, orang Anshor yang diundang, disuguhi makanan beracun. Akibatnya, 62 orang menjadi korban. Hanya sebagian kecil yang selamat dari kematian. Korban kemudian dimasukkan ke dalam lubang Dusun Cementhuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring, Banyuwangi (Majalah Asy-Syariah Edisi Khusus: “Awas! Komunisme Bangkit Kembali”, 2016:37,38)

Keempat, pada suatu malam pada bulan September 1948, setelah PKI melakukan pemberontakan Madiun, rumah Kiai Raqib –di daerah Bangsri (masih wilayah Magetan)– didatangi orang PKI. Terjadilah dialog antara mereka, “Apa tidak salah menahan saya? Saya cuma guru ngaji,” kata Kiai Raqib.

Salah seorang yang lain menyahut, “Justru karena kamu guru ngaji. Kamu yang menghalangi tujuan PKI”. Akhirnya para korban dibantai di sumur tua Soco, termasuk Kiai Raqib. (Majalah Asy-Syariah Edisi Khusus: “Awas! Komunisme Bangkit Kembali”, 2016: 31-32)

Kelima, pada awal Oktober 1965, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, sekonyong-konyong gaduh. Kial Makhrus Aly, pengasuh pondok pesantren terbesar di Kediri itu, mengatakan massa PKI dalam jurnlah besar akan menyerang Kediri. Kiai Makhrus mendapat informasi rencana penyerangan PKI dan Komando Daerah Militer Brawijaya. (Majalah Tempo Edisi 7 Oktober 2012: “Pengakuan algojo 1965: Lubang Pembantaian PKI di Kediri” hal. 57) Akhirnya, mereka pun bersiap-siap menghadapi serangan PKI.

Masih banyak lagi contoh yang menunjukkan persekusi PKI terhadap ulama, bahkan tokoh sekaliber Hamka dan kawan-kawan Masyumi lain seperti M. Natsir pernah merasakan persekusi mereka dengan fitnah keji yang menjebloskan mereka ke jeruji besi.

Namun, jika diteliti secara saksama, pola yang mereka lakukan sama: benci kepada agama dengan cara menistakannya dan mempersekusi ulama. Maka jangan salahkan umat Islam ketika persekusi yang terjadi dewasa ini kepada ulama dan kiai yang notabene hanif (lurus), diangap sebagai perpanjangan tangan PKI. Terlebih, pemerintah juga tidak bertindak cepat untuk mengatasinya./*Mahmud Budi Setiawan

No comments: