Perkebunan Teh Pribumi di Jawa Barat di Akhir Era Kolonial

Perkebunan Teh Pribumi di Jawa Barat di Akhir Era Kolonial
LEIDEN UNIVERSITY LIBRARIES (KITLV 12204)
[Ilustrasi] Petani teh di zaman kolonial

: Alwi Alatas

KEHIDUPAN ekonomi masyarakat pribumi di Jawa pada era kolonial dapat dikatakan sangat sulit, terutama sejak era Tanam Paksa pada abad ke-19. Di Jawa Barat, keadaan sedikit lebih baik karena adanya kebijakan yang agak berbeda dan karena tanaman ekspor yang diupayakan pemerintah kolonial di daerah ini, di antaranya kopi dan teh, relatif tidak mengganggu lahan pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk.

Ini berbeda halnya dengan tanaman ekspor seperti tebu yang penanamannya perlu dirotasi dengan sawah dan banyak diimplementasikan di daerah Jawa lainnya, sehingga memberi dampak pada mata pencaharian penduduk yang umumnya bersumber pada padi (Zakaria, 2010: 104-5; Geertz, 1970: 54).

Tanaman teh berkembang di Hindia Belanda pada abad ke-19, terutama karena adanya permintaan yang tinggi di pasaran Eropa. Yang semula mengembangkan tanaman ini adalah pemerintah Hindia Belanda, tetapi sejak tahun 1866 diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta dan juga masyarakat pribumi (Spillane, 1992: 33-34). Yang awalnya dikembangkan adalah benih teh dari Cina, tetapi bermula sejak perempat terakhir abad ke-19, benih teh dari Assam, India, menggantikan posisi teh Cina, disebabkan hasil yang lebih baik dan permintaan pasar yang lebih tinggi (Setiawati & Nasikun, 1991: 19). Jawa Barat, terutama Priangan, menjadi penghasil utama teh di Hindia Belanda.

Berkembangnya perkebunan dan pabrik teh di kawasan ini menarik banyak warga lokal, bahkan juga dari luar Jawa Barat, untuk bekerja di dalamnya. Bagaimanapun, keterlibatan masyarakat lokal bukan hanya dengan menjadi buruh di lahan perkebunan dan pabrik Eropa, tetapi juga dengan menjadi pekebun teh.

Perkebunan teh pribumi di Jawa Barat bermula kurang lebih pada tahun 1875. Ketika itu dua perusahaan teh Belanda, Sinagar dan Parakan Salak, membagikan benih teh secara gratis kepada masyarakat sekitar, sehingga mereka dapat ikut menanam teh di pekarangan rumah mereka dan nantinya dapat menjual daun-daun teh kepada perusahaan-perusahaan teh yang ada (Setiawati & Nasikun, 1991: 11). Belakangan hal ini dilakukan juga oleh perusahaan-perusahaan yang lain, di samping pemerintah juga ikut memberikan bantuan.

Perkebunan teh masyarakat pribumi terus berkembang sejak saat itu karena menguntungkan secara ekonomi. Daun-daun teh yang dihasilkan oleh masyarakat pribumi dikenal sebagai teh kampung (kampongthee) (Lekkerkerker, 1924: 1). Kualitasnya memang di bawah teh perusahaan karena masyarakat pribumi ketika itu tentu saja belum memiliki standar panen dan kemampuan produksi seperti yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar.

Bagaimanapun, hasil produksi mereka menjadi salah satu sumber penting bagi perusahaan-perusahaan teh yang ada. Perkebunan teh pribumi berkembang seiring dengan tumbuhnya ekspor teh. Antara tahun 1925 dan 1930, teh kampung menyumbang sekitar 20%, kadang lebih, dari seluruh hasil produksi teh di Hindia Belanda. Namun pada tahun-tahun berikutnya menurun hingga 15% disebabkan terjadinya resesi ekonomi dan karena adanya kebijakan pembatasan produksi teh untuk menstabilkan harga teh di pasaran.

Di samping para pekebun teh pribumi yang bersifat perseorangan, muncul juga beberapa perusahaan teh pribumi. Jumlahnya memang tidak banyak dan tampaknya hanya satu yang terus bertahan hingga akhir era kolonial Belanda. Bagaimanapun, ini menjadi satu prestasi tersendiri.

Perusahaan teh pribumi yang bertahan, bahkan berkembang, hingga akhir zaman Belanda adalah perusahaan dengan nama Madoe Tawon di Sukabumi, Jawa Barat. Perusahaan ini berdiri pada tahun 1911 dengan modal patungan para pendirinya sebesar f3000 serta lahan senilai f2000.

Pada tahun 1918, Madoe Tawon berhasil mendapatkan kontrak pembelian daun teh dari perusahaan Sinagar, yang secara otomatis diperpanjang setiap tahun selama tidak ada keluhan dari masing-masing pihak. Ini berbeda dengan para pekebun teh pribumi yang biasanya menjual daun-daun teh mereka tidak secara langsung, melainkan melalui para pedagang perantara. Pada tahun 1923, nilai modal Madoe Tawon berkembang empat kali lipat menjadi f20.570 dan total dividen yang dibagikan kepada para anggotanya pada tahun itu saja sebesar f25.887.82 (Lekkerkerker, 1924: 1-9).

Ketika terjadi krisis ekonomi pada awal tahun 1930-an, Madoe Tawon mengalami kesulitan keuangan yang cukup serius dan nyaris bubar (Hamid, 5 Juli, 1939). Namun perusahaan ini dapat diselamatkan lewat perubahan manajemen. Pada masa-masa berikutnya, Madoe Tawon bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang dengan pesat. Pada tahun 1939, Madoe Tawon bukan hanya memiliki perkebunan teh hingga seluas 50 bau, tetapi juga memiliki 100 hektar perkebunan serai, dan berencana untuk merambah ke perkebunan karet (Hamid, 8 Juli 1939).

Pada pertengahan tahun 1939, perusahaan itu berencana untuk membangun pabrik teh dengan modal sebesar f8.000 (Asia Baroe, 23 Agustus 1939) dan pada akhir tahun itu mulai membangun pondasinya (Asia Baroe, 6 Desember 1939). Beberapa Koran Belanda pada tahun 1941 menganggap kualitas produksi teh dari perusahaan ini setara dengan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan Belanda (Bataviaasch Nieuwsblad, 22 Juli 1941; De Indische Courant, 3 April 1941).

Realitas ini, walaupun masih terbatas, sangat berbeda dari apa yang diproyeksikan oleh alam pikiran kolonial yang cenderung merendahkan kemampuan masyarakat pribumi, terutama dalam hal ekonomi. Alam pikiran kolonial ini, seperti yang direpresentasikan antara lain oleh J.H. Boeke (1942: 4), membayangkan ekonomi masyarakat pribumi secara pesimistik sebagai bersifat komunal, tidak berorientasi pasar, dan lebih memiliki motif sosial ketimbang ekonomi. Alam pikiran kolonial mengasihani masyarakat pribumi sebagai tidak memiliki kapasitas untuk berubah dan karenanya cara ekonomi mereka perlu dilindungi dari ancaman ekonomi Eropa yang kapitalistik.

Ini terdengar simpatik dan mulia, tetapi sebenarnya justru bisa menjadi pembenaran ideologis untuk melindungi kepentingan ekonomi penjajah dan menghalangi masyarakat pribumi untuk dapat benar-benar berkembang dan bersaing dengan orang-orang Eropa dan Timur Asing (Alexander & Alexander, 1991: 372-373).

Pada kasus di Jawa Barat, termasuk dalam perkebunan teh, memang terjadi peningkatan ekonomi di tengah masyarakat pribumi lewat kebijakan pemerintah di bagian akhir era kolonial. Namun dapat dikatakan sama sekali tidak terjadi perubahan pada struktur sosial dan ekonomi yang ada. Masyarakat pibumi pada umumnya tetap berada di strata sosial-ekonomi yang paling bawah. Selain itu, saat terjadi krisis ekonomi, biasanya yang menjadi korban utama adalah masyarakat pribumi.

Ini juga dirasakan dalam konteks perkebunan teh. Saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1930-an, pemerintah Hindia Belanda, dan juga negara-negara produsen teh lainnya, mengeluarkan kebijakan yang membatasi produksi teh untuk menghentikan jatuhnya harga teh di pasaran.

Sebagian perusahaan teh Belanda diberi lisensi khusus untuk menyuplai teh ke pasaran serta untuk membeli daun-daun teh dari perusahaan lain dan juga dari masyarakat lokal. Lisensi itu mensyaratkan persentase tertentu pengadaan daun teh dari sumber lokal (teh kampung). Bagaimanapun, lisensi ini rawan untuk dimanipulasi. Tidak ada perusahaan atau asosiasi pekebun teh pribumi yang memiliki lisensi, termasuk Madoe Tawon, sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada perusahaan-perusahaan Belanda yang biasanya membeli daun-daun teh mereka dengan harga rendah, bahkan ketika harga di pasaran mulai bergerak naik.

Ini menimbulkan kekecewaan para pekebun teh pribumi. Mereka membentuk asosiasi dan menyuarakan protes mereka melalui surat kabar. Mereka merasa menjadi pihak yang paling dirugikan karena harga teh kampung tetap stagnan walaupun situasi ekonomi dan harga daun teh mulai bergerak membaik (Karim, 18 Augustus 1933; Djawa Barat, 10 November 1933). Mereka menuntut ditetapkannya harga minimum daun teh yang disesuaikan dari waktu ke waktu dengan perubahan harga di pasaran demi menghindari permainan harga oleh para pemilik lisensi (Karim, 25 Oktober 1933). Secara umum mereka mengeluh bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial hanya bagus secara teori, tetapi pada praktiknya merugikan kelompok yang lemah, dalam hal ini para pekebun teh pribumi (Karim, 10 November 1933).

Sebenarnya hal semacam inilah yang menimbulkan kekecewaan masyarakat sehingga mereka berkeinginan kuat untuk melepaskan diri dari penjajahan. Masyarakat Jawa Barat sebetulnya relatif meningkat ekonominya pada akhir era kolonial. Namun mereka tetap merasakan adanya diskriminasi di dalam kebijakan pemerintah, termasuk pada kasus perkebunan teh pribumi di atas. Hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara umum di bawah pemerintahan kolonial.

Kebijakan pemerintah kolonial memang selalunya bersifat diskriminatif dan menjadikan masyarakat terjajah sebagai sumber daya yang dapat diperah demi kepentingan ekonomi mereka. Masyarakat yang menjadi korban diskriminasi tentu saja merasa sangat dirugikan dan menjadi resisten serta berusaha untuk menumbangkan penjajah yang telah merugikan mereka.

Pemerintah colonial pada akhirnya berhasil. Indonesia merdeka sejak tahun 1945 dan para penjajah hengkang dari negeri ini. Tentunya lewat kemerdekaan masyarakat mengharapkan tidak ada lagi diskriminasi yang merugikan mereka dan pemerintah seharusnya melindungi kepentingan seluruh warganya. Jika tidak demikian, terlebih jika kebijakan yang dibuat dirasa sangat menekan masyarakat bawah yang sudah susah hidupnya, gejolak sosial yang serius tentu dapat terjadi sewaktu-waktu. */Kuala Lumpur, 20 Safar 1442/ 8 Oktober 2020

Penulis seorang sejarawan dan pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Daftar Pustaka
Alexander, Jennifer & Paul Alexander. 1991. “Protecting Peasants from Capitalism: The Subordination of Javanese Traders by the Colonial State”. Comparative Studies in Society and History, Vol. 33, no. 2, April.
Asia Baroe. 23 August 1939. Madoe Tawon. Asia Baroe. 6 December 1939. Madoe Tawon.
Bataviaasch Nieuwsblad. 22 July 1941. Huidige omvang. Dirujuk pada 23 February 2019 dari http://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=Madoe+Tawon&coll=ddd&identifier=ddd%3A011221912%3Ampeg21%3Aa0159&resultsidentifier=ddd%3A011221912%3Ampeg21%3Aa0159
Boeke, J. H. 1942. The Structure of Netherlands Indian Economy. New York: International Secretariat Institute of Pacific Relations.
Djawa Barat. 10 November 1933. Thee restrictie.
De Indische Courant. 3 April 1941. Van onderling-hulpbetoon. Dirujuk pada 23 February 2019 dari http://www.delpher.nl/nl/kranten/view?query=madoe+tawon&coll=ddd&page=1&facets[periode][]=1|20e_eeuw|1940-1949|&identifier=ddd%3A011176553%3Ampeg21%3Aa0069&resultsidentifier=ddd%3A011176553%3Ampeg21%3Aa0069.
Karim, J.A. 18 August 1933. Thee-restrictie terhadap peroesahaan thee boemipoetra dan pertanian ketjil. Djawa Barat.
Geertz, Clifford. 1970. Agricultural involution: The processes of ecological change in Indonesia. Berkeley: University of California Press. Hamid, A. 5 July 1939. “Madoe Tawon”, satoe coooperatie dari theeplanters bangsa Indonesia di daerah Soekaboemi, 1. Asia Baroe. Hamid, A. 8 July 1939. ”Madoe Tawon”, satoe coooperatie dari theeplanters bangsa Indonesia di daerah Soekaboemi 2. Asia Baroe.
Zakaria, Mumuh Muhsin. 2010. Priangan abad ke-19 dalam arus dinamika sosial ekonomi. Disertasi PhD, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Karim, J.A. 25 October 1933. Theerestrictie. Djawa Barat. Karim, J.A. 10 November 1933. Theerestrictie. Djawa Barat. Lekkerkerker, T.J. 1924. Twee inlandsche thee-planters-associaties in de Preanger Regenschappen. Weltevreden: G Kolff & Co. Setiawati, I. dan Nasikun. 1991. Teh: Kajian sosial-ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media. Spillane, J.J. 1992. Komoditi Teh: Peranannya dalam perekonomian Indonesia. Jakarta: Kanisius.

No comments: