Empat Keunikan Konsep Ilmu dalam Islam

Empat Keunikan Konsep Ilmu dalam Islam
Aljazeera
Ilustrasi: Kegiatan keilmuan di sudut Masjid Al-Azhar

Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA hari Ahad (13/9/2020), saya mengisi acara Kajian Ilmu – via Zoom — di Komunitas Islam Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Ketika itu, saya menyampaikan empat keunikan konsep ilmu dalam Islam. Ada baiknya kita telaah keempat keunikan itu.

Pertama, mencari ilmu – dalam Islam – adalah sebuah kewajiban dan kemuliaan. Nabi Muhammad ﷺ sudah menegaskan: mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.

Mencari ilmu bukan sekedar “hak” tetapi “wajib”. Apa pun kondisi seseorang, apakah cerdas atau kurang cerdas, kaya atau miskin, ada listrik atau tidak ada listrik, setiap muslim wajib mencari ilmu. Siapa pun presidennya, siapa pun gubernurnya, maka kewajiban mencari ilmu tidak hilang.

Seorang wartawan pernah bertanya, bagaimana dengan kondisi sejumlah madrasah di Indonesia yang belum teraliri listrik. Saya jawab, dari sisi pemerintah, perlu mengevalusasi distribusi anggaran negara. Jangan sampai anggaran digunakan secara tidak adil. Mencari ilmu adalah kewawjiban. Maka negara wajib menyediakan berbagai sarana agar kewajiban itu bisa terlaksana.

Tetapi, dari sisi murid madrasah, ketiadaan listrik tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak mencari ilmu. Mereka bisa belajar di mana saja dan kapan saja atau dengan alat penerangan apa saja, yang memungkinkan mereka mencari ilmu.

Dalam Islam, mencari ilmu juga sebuah kemuliaan. Karena itu, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, pasti akan bergairah mencari ilmu. Rasulullah saw bersabda bahwa siapa saja yang keluar rumah untuk mencari ilmu, maka ia sedang berjihad di jalan Allah.

*****

Kedua, Epistemologi keilmuan Islam bersifat integral, memadukan tiga sumber ilmu: panca indera, akal, dan khabar shadiq. Konsep ilmu dalam Islam ini berbeda dengan konsep ilmu sekuler, yang berhenti pada panca indera dan akal. Jadi, Islam mengakui ilmu empiris (empirical knowledge), ilmu rasional (rational knowledge), dan ilmu wahyu (revealed knowledge).

Sebagai contoh, seorang ilmuwan muslim memiliki cara pandang yang khas terhadap Covid-19, yang berbeda dengan ilmuwan sekuler. Disamping menerima data faktual tentang realitas Covid-19 dari ilmuwan atau lembaga yang otoritatif, ilmuwan muslim meyakini bahwa virus itu tidak punya KEHENDAK untuk menyerang manusia.

Covid-19 adalah makhluk Allah yang tunduk pada kehendak Allah. Virus itu datang kepada kita bukan atas kehendak sendiri, tetapi dikirimkan oleh Allah. Karena itu, ilmuwan muslim yakin, bahwa Allah bisa saja menarik kembali serangan virus itu, dengan kondisi-kondisi tertentu. Misalnya, dengan doa dan berbagai amal kebaikan.

Allah SWT mengirimkan virus ini tentu ada maksud-Nya. Tujuan utama adalah agar manusia kembali kepada tujuan penciptaannya di dunia, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT. Sehat secara fisik itu sangat penting. Tetapi, menjadi manusia beruman dan bertaqwa, itu lebih penting.

Sebagai aplikasi konsep ilmu dalam Islam, maka di pesantren at-Taqwa Depok, dipampang satu poster besar: LIMA LANGKAH MENANGKAL VIRUS CORONA: (1) Mintalah perlindungan dan pertolongan kepada Allah, (2) Cuci tangan dengan sabun (3) Jaga jarak interaksi (4) Pakai masker (5) Tingkatkan imunitas.

*****

Ketiga, dalam Islam ada “maraatibul ilmi” atau derajat ilmu. Artinya, ilmu tidak sama kedudukannya. Ada ilmu yang fardhu ain, fardhu kifayah, ilmu yang sunnah, mubah, dan ada juga ilmu yang haram dipelajari.

Memahami kedudukan ilmu ini merupakan salah satu adab yang penting dalam Islam. Sebab, seorang muslim wajib menguasai ilmu-ilmu yang fardhu ain, sebelum ilmu-ilmu lainnya. Jangan sampai seorang menguasai ilmu komputer dan pengobatan yang canggih, sementara ia belum bisa melaksanakan shalat dengan benar dan tidak paham bagaimana beradab kepada orang tua dan guru.

Saat ini tidak sedikit pelajar muslim yang dipaksa untuk mengejar ilmu-ilmu yang fardhu kifayah atau ilmu-ilmu yang mubah, tetapi tidak memahami bagaimana cara mensucikan jiwanya. Contoh yang keliru, misalnya, para mahasiswa bidang psikologi mempelajari berbagai ilmu psikologi modern, tetapi tidak mempelajari konsep tazkiyyatun nafs dalam Islam. Padahal, membersihkan jiwa adalah kewajiban setiap muslim, sehingga ia wajib menguasai ilmunya.

*****

Keempat, adab atau akhlak mulia didahulukan sebelum ilmu-ilmu yang tinggi. Contoh aplikasi konsep ini, misalnya, para mahasiswa sepatutnya tidak diijinkan mengkaji ilmu-ilmu yang tinggi di fakultasnya, jika ia belum baik ibadah, adab atau akhlaknya.

Sebelum menguasai ilmu hukum, ilmu akuntansi, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu komunikasi, dan sebagainya, seorang mahasiswa harus dipastikan telah baik ibadahnya, baik adab atau akhlaknya. Jangan sampai ilmu-ilmu yang tinggi diberikan kepada seorang yang tidak beradab atau berakhlak mulia. Hal ini untuk menghindari lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang jahat, yang akan merusak diri dan masyarakat.

Karena itu, sesuai dengan amanah pasal 31 ayat 3 UUD 1945, sepatutnya, tes masuk Perguruan Tinggi yang terpenting adalah tes keimanan, tes ketaqwaan, dan tes akhlak mulia. Setelah itu, barulah dilaksanakan tes potensi akademik, sesuai dengan kebutuhan kesuksesan pendidikan di bidang keilmuan tertentu.

Demikianlah empat keunikan konsep ilmu dalam Islam yang saya susun dan jabarkan berdasarkan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Semoga kita semua meraih ilmu yang bermanfaat sehingga menjadi orang-orang yang semakin dekat dengan Allah SWT! (Depok, 15 September 2020).*

Penulis adalah pendiri At-Taqwa College Depok (ATCO).

No comments: