Evil of Liberalism

Liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 jelas kesamaannya dengan saat ini. Sama-sama menggugat al-Qur’an dan mendukung paham relativisme Evil of Liberalism
Ilustrasi


Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

 Dalam sebuah situs Katholik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism, ditulis oleh Judson Taylor, tokoh besar Misionaris. Artikel itu ditulis pada awal abad ke 19 (1850an), dalam sebuah buku kumpulan essai berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan editor Elder Taylor.

Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis bahwa misi yang disampaikan artikel itu lebih cocok untuk kita pada hari ini. Sebab perkembangan liberalisme keagamaan, akhir-akhir ini benar-benar menakjubkan orang tapi seluruhnya destruktif bagi kitab suci Kristen.

Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas “Liberalisme telah menggantikan Persecutiton”. Persecutiton artinya penganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan penganiayaan.

Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam artian liberalisme  memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran Tuhan.

Memang dalam sejarah agama Katholik, Persecution atau yang lebih hebat lagi inquisition merupakan alat pembela kebenaran agama. Cara ini, kata Judson Taylor, lebih disukai daripada kompromi Kebenaran versi liberal.

Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi relativisme yang mengakui semua benar meskipun salah satunya salah. Itu pun tidak konsisten, dalam banyak kasus, orang liberal yakin bahwa Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah tidak masalah.

Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau pluralisme pemikir liberal. Sebab memang, ketika artikel ini ditulis, pemikiran Nietzsche masih sedang mencari bentuknya, dan Paham pluralisme agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson, kaum liberal lebih cenderung permisif alias bersahabat dengan semua sekte dan kemungkaran.

Blunder yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang mendukung kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan kesalahan) yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selain itu, cara berpikir liberal yang konon netral dan rasional itu ternyata memihak juga.

Akhirnya, Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam: Pertama: Banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua: Mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga: Mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat: Tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima: Mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam: Mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang populer.

Orang yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol. Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).

Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama: Muslim liberal menggugat al-Qur’an. Kedua: Muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga: Muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat: Muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima: Muslim liberal mempromosikan paham skeptisisme.

Ketika kami ceramah pemikiran di Surabaya, seorang audien yang kebetulan muallaf tiba-tiba menyalami kami. Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam Islam tidak jauh beda dari pengalamannya dalam Katholik.

Ucapan muallaf tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang mahasiswa liberal yaitu bahwa ‘Agar Islam maju, maka tirulah Protestan’. Itulah, liberalisme yang nama dan substansinya merupakan hasil adopsi total konsep-konsep Liberal Barat. Jika, dijustifikasi menjadi Islam Liberal maka itu berarti Islam yang mem-Barat.*

Pimpinan Redaksi jurnal ISLAMIA dan penulis buku “Misykat: Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi” (2012)

No comments: