Mamalik Bahriyah, “Pasukan Elit” yang Pelajari Al Qur`an dan Fiqih

Mamalik Bahriyah, “Pasukan Elit” yang Pelajari Al Qur`an dan Fiqih
Formasi berkuda: Salah satu isi halaman dari kitab Nihayatu As Sul wa Al Umniyyah fi Ta'allum wa Al 'Amal Al Furusiyah, yang ditulis di masa Mamalik.

SETELAH pasukan Salib berhasil menguasai Dimyath dan mengalahkan pasukan Muslim, Sulthan Shalih Najmuddin Al Ayyubi wafat. Sebelumnya, Sulthan datang dari Kairo dalam kondisi sakit keras untuk tinggal di istana Manshurah yang merupakan kota pertahanan umat Islam yang berdekatan dengan Dimyath. (As Suluk li Ma’rifah Duwal Al Muluk, 1/110, 111)
Meski wafatnya Sulthan Shalih dirahasiakan, namun akhirnya pihak Salib mengetahui akan hal itu. Mereka pun bergerak menuju Farskur, setelah itu menuju Manshurah. Pihak militer segera mengirim merpati ke Kairo untuk menyampaikan pesan, bahwasannya umat Islam harus mempersiapakan diri untuk berjihad. Pesan itu di sampaikan di mimbar-mimbar masjid Kairo. (As Suluk li Ma’rifah Duwal Al Muluk, 1/113)
Sampai akhirnya, pasukan Salib berhasil menyusup ke kamp militer Manshurah, mereka berhasil membunuh Amir Fakhruddin. Setelah berhasil membunuh salah satu pemimpin pasukan Muslim itu, pasukan salib dengan dipimpin oleh saudara Raja Louis IX, Ridafarns telah tiba di depan gerbang istana Manshurah. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan berketurunan Turki, yang dikenal sebagai Mamalik Bahriyah, di antara mereka Ruknuddin Baibars Bundakdari. Pasukan yang jumlahnya terbatas ini berhasil menyelamatkan istana dan menghalau para penyerang, bahkan mereka berhasil membunuh sekitar 1500 dari pasukan penyerang. Pertempuran antara pasukan Muslim dan pasukan Salib pun terus berkecamuk di Manshurah, hingga terdengar kabar tentang kemenangan pasukan Muslim. (As Suluk li Ma’rifah Duwal Al Muluk, 1/114)
Sejak peristiwa Manshurah itu, kekuatan Mamalik Bahriyah tidak bisa dianggap remeh, dimana akhirnya merekalah yang mendominasi kekuatan dalam pemerintahan di Mesir pasca berakhirnya dinasti Al Ayyubiyah.
Sulthan Shalih Najmuddin Al Ayyubi sendiri mulai mengandalkan mamalik (para budak) sebagai pasukan setelah melihat kesetian mereka di saat ia berhadapan dengan rivalnya dalam kekuasaan yang tidak lain adalah pamannya sendiri Shalih Ismail ketika di Syam. Saat itu seluruh pasukan meninggalkannya, kecuali mamaliknya yang hanya berjumlah 70 orang. (Mufarrij Al Kurub, 5/234)
Mengenai budak-budak itu, Al Maqrizi menyampaikan,”Ia (Sulthan Shalih) menjadikan mereka sebagai pejabat di negaranya, sebagai orang-orang khusus, pelindung, yang selalu berada di sekeliling keretanya ketika ia melakukan perjalanan, dan ia pun memberikan tempat tinggal bagi mereka bersamanya di benteng Raudhah, ia menjuluki mereka Mamalik Bahriyah.” (Al Khuthath, 2/236)
Disebut Mamalik Bahriyah, karena mereka tinggal di benteng besar yang di bangun di atas bahr (perairan) sungai Nil. (As Suluk, 1/111)
Sulthan Shalih Najmuddin Al Ayyubi membangun bentengnya di pulau Raudhah yang berada di tengah sungai Nil dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Benteng itu sendiri cukup besar hingga memiliki 60 menara. Di masa pemerintahan Sulthan Shalih di Kairo, benteng Raudhah merupakan pusat pemerintahan. Sulthan Shalih tinggal di benteng itu bersama sekitar seribu mamaliknya. (Muffarrij Al Kurub, 5/278)
Sulthan Shalih membeli banyak budak dan mendidik mereka sejak kecil. Di masa kanak-kanak para budak diajar untuk menghafal ayat-ayat Al Qur`an, tata-cara shalat, dzikir-dzikir. Setiap dari kelompok budak ada pengajar yang disebut sebagai faqih. Kebanyakan budak-budak itu bukan berasal dari wilayah Arab, hingga akhirnya perlu diajarkan kepada mereka baca tulis bahasa Arab. Ketika mereka beranjak remaja, maka diajarkan kepada mereka ilmu fiqih. (Al Ibar, 5/803)
Ketika mulai dewasa, mulai diajarkan pada para mamalik keterampilan bertempur, seperti melempar tombak, memanah dan menunggang kuda. Melalui kemampuan yang mereka miliki, para mamalik akan menaiki tangga-tangga peringkat, hingga akhirnya mereka menjadi umara’. Para mamalik pun tinggal di tempat khusus, dan tidak hidup bersama masyarakat pada umumnya. Hal itu dilakukan demi menjaga kebiasaan yang ditetapkan kepada mereka hingga karakter mereka tidak berubah. Selama masa pendidikan, para mamalik diawasi secara ketat oleh para pendidiknya. Ketika ada dari para memalik itu melanggar peraturan yang ditetapkan, adab atau agama, maka mereka akan memperoleh hukuman. (Al Khuthath, 2/213, 214)
Para memalik disamping dididik, mereka juga mendapat perhatian khusus mengenai makanan mereka, dimana dibelanjakan harta cukup banyak untuk buah-buahan, daging, makanan serta pakaian, serta atribut-atribut yang terbuat dari emas dan perak untuk mereka. (Al Ibar, 5/803)
Daulah Al Ayyubiyah bukanlah pihak yang pertama menggunakan para mamalik Turki dalam militer. Di masa Khalifah Al Ma’mun dari Bani Abbas, penggunaan mamalik Turki sebagai pengawal khusus khalifah sudah dilakukan. (Husn Al Muhadharah, 1/594)
Tradisi itu berlanjut hingga Shalahuddin Al Ayyubi menguasai Mesir dan Syam, dimana ia membangun militernya dari mamalik Turki dan Kurdi, hingga ia memilki kekuatan militer yang sangat diperhitungkan. Hal itu dilakukan Shalahuddin dengan membelanjakan harta yang didapati dari jatuhnya Daulah Al Fathimiyah di Mesir. (Ar Raudhatain, 1/219)
Munculnya Daulah Mamalik dan Hancurnya Mongol di Ain Jalut
Di masa kritis, di saat pasukan Mongol hendak menyerang Mesir sedangkan saat itu kekuasaan berada di tangan Ali Al Manshur yang baru berumur 15 tahun, Mamalik Bahriyah lah yang mengambil tindakan cepat. Saifuddin Quthuz segera mengambil alih kepemipinan. Kemudian lahirlah pemerintahan baru yang dikenali sebagai Daulah Mamalik. Mereka inilah yang menghacurkan pasukan Mongol di Ain Jalut dan kelak mengakhiri kekuasaan Salib di Syam.

No comments: