Mengapa Syi’ah Fathimiyah Bisa Berkuasa di Bumi Kinanah?

Propaganda Syi’ah mulai Mengapa Syi’ah Fathimiyah Bisa Berkuasa di Bumi Kinanah?
Bab al-Futuh (1087) dibangun di bawah perintah wali Badr al-Jamali (berkuasa 1074–1094), yang klaim sisa arsitektur Fatimiyah
SEBELUM Dinasti Syi’ah Fathimiyah berkuasa (297-567 H), Mesir berada dalam kekuasaan Ikhsyidiyah, 324-358 Hijriah (Didin, 2009: 146). Pertanyaannya, mengapa negara di Bumi Kinanah yang berideologi Sunni ini bisa ditaklukkan dengan mudah oleh dinasti Syi’ah yang awalnya berkembang di Maroko ini? Untuk mengetahuinya, perlu dipaparkan secara ringkas kondisi Mesir secara khusus, dan dunia Islam secara umum.
Saat penguasa terakhir Ikhsidiyah di Mesir –yaitu Kafur- wafat (357 H), kondisi Mesir sedemikian goncang dan ekonomi merosot. Lebih dari itu, wabah penyakit dan peceklik akibat surutnya Sungai Nil merebak sehingga menimbulkan dampak serius di tubuh pemerintahan. Salah satu akibat paling nyata adalah ketidakmampuan pemerintah menggaji tentara. Situasi pelik ini memaksa pemangku kebijakan Mesir mengundang Al-Mu’iz Lidinillah [Penguasa Syi’ah Ubaidinyah Maroko] untuk bertandang ke Mesir (Tim Riset Studi Sejarah Mesir, 2013: 416)
Jadi, sebelum Syi’ah Fathimiyah berkuasa di Mesir, kondisi sosial dan negara Ikhsidiyah di Bumi Kinanah mengalami krisis. Mereka sudah tidak memiliki pemimpin brilian dan kuat, ditambah krisis ekonomi yang sudah tidak bisa ditahan. Di samping itu, propaganda Syi’ah gencar dilancarkan. Padahal, sebelum krisis mendera, beberapa kali upaya penaklukan Mesir oleh Ubaidillah Al-Mahdi sejak 301, 321, 333 Hijriah mampu dipatahkan.
Selain mendapat serangan dari Syi’ah Fathimiyah dari arah Timur dalam rentang 355-357 H, pemerintahan Ikhsidiyah (yang dipimpin Kafur) juga mendapat serangan Syi’ah Qaramthah dari arah timur, sekaligus Raja Naubah dari arah selatan. Serangaan-serangan ini juga turut melemahkan Daulah Iskhsidiyah (Ensiklopedi Sejarah Islam, 2013: 355).
Di luar itu, kondisi dunia Islam kala itu –khususnya yang berbasis Ahlus Sunnah Wal Jama’ah- kondisinya tidak ideal. Dinasti Abbasiyah misalnya, menurut catatan Shallabi dalam buku “‘Ashru al-Daulataini al-Umawiyah wa al-‘Abbasiyah” (1998: 97-103) daulah Islamiyah besar yang berideologi Ahli Sunnah ini pasca era keemasannya (terutama sejak masa ketiga), kondisinya begitu memprihatinkan, di antaranya: penguasaan keluarga Syi’ah Buwaihi dalam tubuh pemerintahan, kekuasaan Syi’ah di wilayah-wilayah Abbasiyah semakin massif (seperti: Buwaihi, Ubaidiyah, Qaramithah, dan al-Hamdaniyun), banyak wilayah yang memisahkan diri darinya. Ikhsidiyah pun adalah salah satu negara yang memerdekakan diri dari Dinasti Abbasiyah.
Ketika Dinasti Abbasiyah masih berada pada masa keemasan, orang-orang Syi’ah tidak bisa melakukan apa-apa. Namun ketika mulai lemah, Bani Buwaih (penganut ideologi Syi`ah) melakukan infiltrasi pada Daulah Abbasiyah (334-447 H) dan disusul dengan infiltrasi Syiah yang lain. Penduduk Baghdad yang sebelumnya bermadzhab Ahli Sunnah, mulai di-syi`ah-kan. Kelemahan-kelamahan Dinasti Abbasiyah inilah dalam dunia Islam, turut berpengaruh besar pada geliat perkembangan Syi’ah di berbagai wilayah Sunni.
Dari kondisi internal dan eksternal ini, paling tidak ada beberapa poin yang bisa menjelaskan keberhasilan Syi’ah Fathimiyah (Ubaidiyah) menguasai Mesir: Pertama, lemahnya kepemimpinan. Saat Kafur meninggal, anaknya (Ahmad) masih kecil sehingga tidak layak dijadikan pemimpin. Kedua, kondisi krisis yang tak bisa dipecahkan solusinya sehingga memaksa mereka kerja sama dengan Syi’ah. Ketiga, infiltrasi dan propaganda Syi’ah yang dilancarkan begitu massif. Keempat, perpecahan politik umat Islam yang berideologi Ahlus Sunnah. Kelima, serangan militer baik dari syi’ah maupun selainnya yang begitu gencar. Inilah beberapa poin yang paling tidak bisa menggambarkan sebab-sebab berkuasanya Dinasti Syi’ah Fathimiyah di Mesir.
Sebagai penutup, catatan Prof. Dr. Didin Saefuddin Bukhari dalam buku “Sejarah Politik Islam” (2009: 154-155) ini menarik untuk diketengahkan terkait Dinasti Fathimiyah di Mesir. Dinasti ini awal mulanya tampak arif, toleran, dan membebaskan penduduk menganut kepercayaan. Namun, seiring berjalannya waktu, watak aslinya mulai terlihat.
Propaganda Syi’ah mulai ditonjolkan. Pada masa al-Aziz (372 H), ia pernah membatalkan shalat tarawih di seluruh masjid. Sedangkan pada masa al-Hakim, ia pernah menyuruh algojonya untuk mengeksekusi siapa saja yang tidak mengakui keistimewaan Ali radhiyallahu ‘anhu. Yang lebih memprihatinkan, al-Hakim (salah satu penguasa Daulah Syi’ah Fathimiyah) pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Beberapa sebab dan pengalaman pahit sejarah ini seyogianya menjadi pemantik kesadaran umat, agar peristiwa itu tidak kembali terulang. Meminjim istilah al-Qur`an:
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ} [الحشر: 2]
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. AL-Hasyr [59]: 2).*/Mahmud Budi Setiawan
ditonjolkan. Pada masa al-Aziz (372 H), ia pernah membatalkan shalat tarawih di seluruh masjid.

No comments: